Era Matinya Kepakaran, Diganti Kedunguan

Menjelang tutup tahun 2018, terbit buku terjemahan menarik, Matinya Kepakaran - The Death of Expertise: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya karya Tom Nichols. Buku aslinya berjudul: The Death of Expertise: The Campaign against Established Knowledge and Why it Matters.

Di buku The Death of Expertise ini, Tom Nichols menyampaikan keresahannya pada publik Amerika Serikat. Namun, kondisi matinya kepakaran yang sama ternyata dialami oleh masyarakat secara global. Kondisi itu tampaknya kini dialami masyarakat di berbagai belahan mendunia, termasuk Indonesia. 

Menurut Nichols, pengetahuan dasar rata-rata orang Amerika saat ini sangat rendah. Bahkan, mereka sampai menembus dari tingkatan "tak dapat informasi" meluncur ke arah "salah informasi," dan sekarang terempas ke "ngawur secara agresif."

Era informasi sekarang ini justru banyak melahirkan apa yang dia sebut 'ignorance' atau kedunguan di kalangan publik di AS, sebuah istilah yang di Indonesia belakangan ini disebarkan secara luas oleh Rocky Gerung. Kegandrungan pada literasi instan tersebut menggejala demikian masif, sehingga kepakaran terancam mati. Orang hanya memerlukan informasi tambahan untuk menguatkan keyakinannya ketimbang kebenaran itu sendiri. 

"Saya khawatir kita sedang menyaksikan 'matinya ide-ide kepakaran itu sendiri': kehancuran pembagian antara kelompok profesional dan orang awam, murid dengan guru, dan orang yang tahu dengan yang merasa tahu gara-gara Google, Wikipedia, dan blog – dengan kata lain, antara mereka yang memiliki pencapaian di sebuah bidang dan mereka yang tidak memiliki pencapaian sama sekali." (hal 3) 

Dia mencontohkan, pada 2014 Washington Post melakukan jajak pendapat dengan bertanya kepada warga, apakah AS harus terlibat dalam intervensi militer, setelah Rusia melakukan invasi ke Ukrania. Mayoritas warga AS menyetujui intervensi tersebut. Namun, setelah disurvei lebih lanjut, hanya satu dari enam dari warga AS yang tahu di mana lokasi Ukrania berada. 

Teknologi dan meningkatnya tingkat pendidikan memang telah membuat orang lebih banyak mendapat informasi ketimbang sebelumnya. Namun, keuntungan sosial ini juga telah membantu mendorong peningkatan egaliterisme intelektual salah arah dan narsis yang telah melumpuhkan debat berdasarkan data tentang sejumlah masalah.

Hari ini, semua orang tahu segalanya: hanya dengan penelusuran singkat melalui WebMD atau Wikipedia, rata-rata warga negara meyakini diri mereka memiliki kedudukan intelektual yang setara dengan dokter dan diplomat. Semua suara, bahkan yang paling konyol, menuntut dianggap sama seriusnya, dan segala klaim yang bertentangan ditolak sebagai elitisme yang tidak demokratis.

The Death of Expertise karya Tom Nichols menunjukkan bagaimana penolakan para ahli ini terjadi. Alasannya, antara lain: keterbukaan internet, munculnya model kepuasan pelanggan dalam pendidikan tinggi, dan transformasi industri berita menjadi mesin hiburan 24 jam. 

Secara paradoks, penyebaran informasi yang semakin demokratis, alih-alih menghasilkan masyarakat yang berpendidikan, malah menciptakan kelompok warga yang kurang informasi dan marah yang mengecam pencapaian intelektual. Ketika warga negara biasa percaya bahwa tidak ada yang tahu lebih dari orang lain, lembaga-lembaga demokrasi sendiri berada dalam bahaya jatuh ke populisme atau ke teknokrasi atau, dalam kasus terburuk, kombinasi keduanya.

The Death of Expertise di edisi paperbacknya memberi kata pengantar baru untuk menutupi kekhawatirn berlebihannya tren ini setelah pemilihan Donald Trump. Dilihat dari peristiwa di lapangan sejak pertama kali diterbitkan, The Death of Expertise mengeluarkan peringatan tentang stabilitas dan kelangsungan hidup demokrasi modern di Era Informasi yang bahkan lebih penting saat ini. (AT)
Share: