Leluhur Gontor, Kemuliaan Dzuriyat Rasulullah & Kearifan Bangsa Kita

ERDY NASRUL

Pada 2016, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor KH Hasan Abdullah Sahal pernah berkata kepada saya, "Kita ini mewarisi perjuangan para pendahulu. Kita ini membawa darah (gen,-red) perjuangan kakek dan nenek moyang kita."

Perkataan itu tak muncul begitu saja. Sangat mungkin terinspirasi para pendiri Pondok Modern Gontor yang pernah membawa keluarganya ke Kompleks Pemakaman Gontor. Di sana mereka berpesan, "Kita ini keturunan orang baik-baik."

Para leluhur pesantren Gontor adalah orang-orang saleh yang mewarisi tirakat dan amal saleh kepada penerusnya. Ada yang berupa zikir sederhana yang dilazimkan setiap hari atau pada momentum tertentu. Ada pula berupa akhlak mulia dan strategi menjalani hidup. Semua itu merefleksikan budi pekerti luhur dan tutur kata penuh kearifan yang menyentuh hati ribuan hingga jutaan orang sehingga mereka terwarnai dengan keislaman yang penuh kearifan.

SIAPA LELUHUR GONTOR?

Berbagai literatur dan artikel mengungkapkan bahwa genealogi Gontor adalah Tegalsari sebagai 'ibu' yang melahirkan Gontor lama. Lebih jauh lagi adalah Kesultanan Cirebon. Lalu siapa dan apa sebelum itu? Jawaban pertanyaan ini adalah kearifan dan kekhasan Gontor yang luar biasa.

Dari pihak perempuan, yaitu anak Kiai Kholifah atau istri Kiai Raden Sulaiman Jamaludin, ada Kiai Anom Besari (abad ke-17 M) atau Kiai Nggrabahan di Kuncen Caruban. Dia adalah keturunan bangsawan Kerajaan Demak dan Majapahit yang silsilahnya juga bersambung kepada Raden Rahmatullah (Sunan Ampel/abad ke-15). Jika ditelusuri ke atas lagi, maka akan sampai kepada Rasulullah SAW.

Sedangkan dari sisi lelaki, yaitu Kiai Raden Sulaiman Jamaludin, adalah bangsawan kesultanan Cirebon. Kiai Sulaiman adalah anak keturunan penghulu keraton kasepuhan bernama Jamaludin. Bapaknya, kakeknya, buyutnya, dan terus dari sisi lelaki bersambung kepada Hidayatullah yang sering dipanggil Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (1448-1568). Penyebutan Hidayatullah merujuk kepada kitab Syamsuzh Zhahirah halaman 529 karangan mufti Hadhramaut abad ke-20 Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husein al-Masyhur. Dan salah seorang anak Kiai Imam Zarkasyi (1910-1985) bernama Ahmad Hidayatullah, mirip dengan nama Sunan Gunung Jati.

Pendahulu Sunan Gunung Jati adalah bangsawan kerajaan Champa bernama Abdullah Umdatuddin, anak dari Ali Nurul Alam, saudara Syekh Ibrahim as-Samarqandy. Sering disebut Ibrahim Asmoro. Ali Nurul Alam adalah anak dari Sayid Jamaluddin al-Husaini. Sedangkan Jamaluddin adalah putra dari diplomat Kerajaan Mughal bernama Ahmad, sering disebut Ahmad Syah Jalaluddin. Diplomat ini adalah anak dari Abdullah. Sedangkan Abdullah adalah anak dari seorang alim yang sering disebut //al-muhajir ilallah//, yaitu Abdul Malik Azmatkhan, yang menikahi putri bangsawan Mughal di India dan menyebarluaskan Islam di sana.

SIAPA ITU ABDUL MALIK?
Setelah menikahi putri bangsawan di sana, dia diberi gelar khan, seperti bangsawan Mughal lainnya. Gelar ini mengikuti gelar bangsawan Mongol yang terkenal dengan penakluknya, yaitu Genghis Khan.

Namun, Abdul Malik tak mau sekadar diberi gelar khan. Dia menyebut dirinya Azmatkhan. Artinya bangsawan yang mulia. Bangsawan mulia dengan membawa kearifan Islam yang memancarkan cahaya tauhid.

Abdul Malik adalah putra Alawi yang bergelar //'aammul faqih//, paman guru besar (ustaz a'zham) ahli fiqih lahir dan batin yang diutamakan (//faqih muqaddam//) Muhammad (abad ke-13 M). Alawi bersaudara dengan Ali Ba'alawi, anak dari Muhammad Shahibul Mirbath. Ke atasnya lagi adalah Ali Khali Qassam, putra Alawi (yang kedua), putra Muhammad, putra Alawi. Nama Alawi adalah rujukan nama golongan besar Alawiyyun atau Alawiyyin. Mereka adalah keturunan Alawi, yaitu habaib di berbagai belahan dunia.

Ayah dari Alawi adalah Ubaidillah. Biasanya orang menamakan Abdullah. Artinya hamba Allah. Tapi ini Ubaidillah. Artinya hamba Allah yang kecil. Para habaib, seperti Ketua Umum Rabithah Alawiyah Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf menjelaskan bahwa nama Ubaidillah ini menunjukkan tawadhu, kerendahan hati. Imam Ubaidillah sangat berhati-hati dan menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari takabur. Dan itu dilakukan dari nama terlebih dahulu. 

Rendah hati tak menjadikannya pesimis, apalagi hina. Sama sekali tidak. Justru itu menjadikannya mulia di mata Allah. 

Ubaidillah mengelola perkebunan kurma yang luas. Hasil panennya banyak dibagikan kepada banyak orang di Hadhramaut. Dia adalah orang yang gemar bersedekah dan membantu kaum dhuafa.

Ubaidillah adalah anak seorang imam besar yang pertama kali bergelar //al-muhajir ila Allah// yaitu Ahmad. Dia adalah seorang alim yang menghindari fitnah kekuasaan di Bashrah. Dia membawa serta banyak orang dalam rombongannya berhijrah ke Hadhramaut. Dialah kebanggaan para dzuriyat Rasulullah.

Ahmad adalah putra Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi putra bungsu Ja'far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin si ahli sujud bin Husain as-Syahid bin Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra binti Rasulillah SAW.

Jika ditelusuri lebih jauh lagi, maka akan sampai kepada pembesar bangsa Arab, Nabi Ismail bin Nabi Ibrahim, dan seterusnya.

Ketua Rabithah Alawiyah selama 3 periode, Habib Zen bin Umar bin Sumaith menegaskan, bahwa gelar Azmatkhan yang bermula dari Abdul Malik, kemudian turun kepada wali songo dan keturunannya, adalah dzuriyat Rasulullah. "Dzuriyat Rasulullah itu mewarisi dan meneruskan tradisi akhlak mulia dan dakwah datuk Rasulullah SAW," ujar dia.

Dari silsilah tersebut kita mengetahui bahwa leluhur Gontor adalah ulama, kekasih Allah, bangsawan dari berbagai kerajaan hebat, simpul-simpul kenabian yang mendakwahkan tauhid di berbagai kawasan. Dari Hijaz ke Hadhramaut, lanjut ke India, Champa, sampai ke Jawa. Kesalehan dan kearifan mereka diwariskan secara turun temurun sampai ke berbagai generasi, sampai ke Sultan Sepuh II Jamaluddin, kemudian turun ke Penghulu Jamaluddin yang merupakan saudara Sultan Sepuh III. Kemudian berlanjut ke Raden Sulaiman Jamaludin, lalu ke anaknya Kiai Archam Anom Besari. 

Turun lagi ke Kiai Santoso Anom Besari. Kemudian turun lagi ke anak-anaknya, termasuk Trimurti pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, yaitu KH Ahmad Sahal (1901 - 1977), KH Zainuddin Fananie (1905 - 1967), KH Imam Zarkasyi (1910 - 1985), dan keturunan-keturunannya yang mulia.

Allah berjanji menjaga kesalehan hamba dan keturunannya. Bahwa perjuangan dan kebaikan mereka itu turun kepada generasi setelahnya (al-Kahfi: 82). Hal ini juga dibenarkan oleh Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya.

Karena itu, para pendiri, pimpinan dan penerus Pondok Modern Gontor membawa darah para orang saleh di atas dan meneruskan perjuangan mereka menyebarluaskan kearifan dan keislaman kepada bangsa ini. Para pendiri Gontor mengajarkan ilmu dan menggerakkan pahlawan nasional Idham Chalid (1921-2010), Brigjen Hasan Basri di Kalimantan, dan banyak ulama dan tokoh masyarakat, untuk memerdekakan bangsa ini dari penjajahan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diamanahkan dalam UUD 1945.

Pimpinan Gontor dan para pembantunya saat ini mendidik dan mentransmisikan ilmu Allah kepada banyak orang, mencerahkan bangsa ini, dan banyak orang di berbagai negara, dengan akhlak mulia, hikmah, dan tauhid, sebagaimana dilakukan para pendahulu mereka.

Bersyukurlah orang-orang yang pernah belajar di Gontor. Bersyukurlah para orang tua santri yang mengutus anaknya belajar di Gontor dan dengan sepenuh hati yang tulus memberikan amanah kepada para pimpinan. 

Bersyukurlah bangsa ini yang menjaga dan merawat Gontor, karena Gontor mewarisi darah pejuang dan orang-orang hebat, keturunan orang baik-baik seperti yang dikatakan KH Hasan Abdullah Sahal, dan para mbah trimurti, sebagaimana dijelaskan di awal.

(Artikel Rubrik Tuntunan Dialog Jumat Republika)
Share: