Akar Teologis Kapitalisme by Yudi Latif

Saudaraku, keyakinan dan konsepsi keagamaan sangat besar pengaruhnya pada perkembangan kehidupan. Bahkan pada kebangkitan ekonomi modern yg tampak sbg fenomena sekular, spt kapitalisme, pasar bebas dan negara kesejahteraan, sesungguhnya bisa dilacak akar-akar teologisnya.

Hal itu tersimpul dlm buku "Religion and the Rise of Capitalism", karya Benjamin M. Friedman (2021). Bertentangan dgn pandangan sejarah konvensional yg menganggap ekonomi sbg produk sekuler pada masa pencerahan, Friedman menunjukkan bahwa agama memberikan pengaruh yg kuat sejak awal. Friedman memperjelas bagaimana transisi mendasar dlm pemikiran ttg apa yg sekarang kita sebut ekonomi, yg dimulai pada abad ke-18, scr kuat dibentuk oleh garis-garis pemikiran keagamaan yg saling bertentangan dlm dunia Protestan berbahasa Inggris.

Hingga abad ke-18, dunia pemikiran di Eropa Barat sangat kuat dipengaruhi lingkungan epistemik Protestantisme, terlebih institusi universitas saat itu umumnya merupakan perpanjangan dari institusi gereja. Dan hingga awal abad itu, teologi Calvinis Ortodoks menjadi arus utama pemikiran keagamaan yg berkembang. 

Teologi Calvin sering diringkas dgn akronim TULIP. T mengingatkan bahwa kita Totally depraved (sepenuhnya bobrok). U mewakili fakta bahwa keselamatan itu Unconditional (tak bersyarat); Tuhan dan hanya Tuhan yang memilih orang-orang pilihan dan kita tidak dapat memengaruhi pilihan-Nya. Terlebih lagi, penebusan itu bersifat Limited (terbatas); Tuhan hanya menyelamatkan mereka yang terpilih. Selain itu, kasih karunia Tuhan itu Irresistible (tak dapat ditolak); jika dia menelepon, kami tidak punya pilihan selain merespons. Yang terakhir, doktrin Preservation (penjagaan) orang-orang kudus mengingatkan kita bahwa Allah tidak pernah berubah-ubah; begitu Dia memberikan keselamatan, Dia memberikannya selamanya.

Pandangan Calvin yg deterministik dan sangat pesimistis mengenai sifat manusia, kurang sejalan dgn dinamika ekonomi pasar baru dan gairah individu utk berburu kemakmuran yg dipacu oleh merkantilisme. Negeri Belanda akibat kemakmuran yg diperoleh sbg penguasa perdagangan antarbenua (terutama dari Hindia Belanda) sejak pertengahan abad-17, menjadi tempat persemaian komunitas epistemik yg lebih liberal. 

Dari lingkungan Universitas Leiden, muncullah seorang profesor teologi Protestan pembaharu, bernama Jacobus Arminius (1560-1609). Arminius menganggap Calvinisme yg ketat menghina Tuhan. Bahwa kemuliaan Tuhan tidak dapat dihargai sepenuhnya jika orang yg menyembah-Nya tak memiliki kebebasan untuk memilih-Nya. Jika manusia mempunyai kehendak bebas, maka konsep predestinasi hrs diubah dan gagasan tentang orang-orang pilihan yang terbatas harus diperluas. 

Pemikiran Arminian menegaskan "kebaikan alami manusia berbeda dgn kebobrokan bawaan, peran sentral dari kebebasan memilih dan bertindak berbeda dgn predestinasi dan rancangan alam semesta tidak semata-mata untuk memuliakan Tuhan tetapi juga untuk meningkatkan kebahagiaan manusia."

Perdebatan yg diprakarsai oleh kaum Arminian pada awalnya hanya terbatas di Belanda, namun tak lama kemudian merembet ke Inggris dan Skotlandia. Lantas memengaruhi pemikiran para teolog dan ilmuwan di kawasan tersebut, termasuk lingkaran komunitas epistemik di Universitas Edinburg dan Glasgow, termasuk Adam Smith dan David Hume. 

Smith sendiri tak terlalu peduli pada agama, bahkan Hume secara aktif bersikap bermusuhan. Meski begitu, kuatnya pengaruh lingkungan epistemik keagamaan berdampak pada tulisan mereka. Bahkan Smith sendiri bukan seorang profesor ekonomi--krn saat itu ekonomi belum menjadi disiplin ilmu tersendiri--melainkan profesor teologi "natural" (teologi yg memahami Tuhan tidak berdasarkan kitab suci, melainkan berbasis hukum alam). Di tangan para sarjana semacam Smith inilah, ilmu ekonomi baru muncul dgn mensekulerkan gagasan-gagasan Arminian, yg menggambarkan sebuah dunia di mana pasar dan lembaga-lembaga sekuler lainnya akan mengambil alih tugas Tuhan utk meningkatkan prospek manusia.

Teologi Arminian mempunyai pengaruh yg paling bertahan lama di Amerika Serikat. Kaum Puritan, penganut jenis Calvinisme yg lebih ketat, tidak mempunyai pandangan optimis tentang sifat manusia. Mungkin karena alasan itulah, teologi mereka semakin terasa ketinggalan zaman di negara baru yg penuh semangat ini. Ketika Amerika berkembang, Arminianisme juga berkembang, berbentuk Metodisme dan semua varian yg muncul setelahnya. Pada pertengahan abad ke-19, Calvinisme yg ketat hanya tinggal kenangan.

Kecuali di kalangan mereka yg menyebut dirinya fundamentalis. Fundamentalisme diasosiasikan dgn apa yg oleh para teolog disebut sbg eskatologi premilenial (eskatologi berkaitan dengan akhir zaman), dimana Yesus akan memulai Kedatangan Kedua. Sebagian besar umat Protestan setuju, namun kapan dan bagaimana masih menjadi bahan perdebatan. Penganut paham premilenialisme menganut keyakinan bahwa sifat bawaan kita yg penuh dosa akan membawa kita ke masa yg penuh gejolak, dan baru setelah itu Yesus akan menampakkan diri dan mengambil sisa-sisa org yg sungguh-sungguh benar (the righteous).

Kaum postmillennialis menantang gagasan semacam itu sepanjang abad ke-19 dan ke-20. Mereka mengajarkan bahwa umat manusia dapat memenangkan hati Yesus dgn melakukan reformasi sosial spt penghapusan perbudakan atau perbaikan kondisi kerja. Terinspirasi oleh kebaikan mereka, Yesus akan menunda kedatangannya sampai dunia yang menyerupai ajaran sosialnya tercipta.

Protestantisme Liberal muncul dari postmillennialisme dan mempunyai tumpang tindih dengan ekonomi; Richard T. Ely (1854-1943), salah satu pendiri American Economics Association, merupakan contoh utama. Kecenderungan reformis Ely memainkan peran utama dalam membangun gerakan Social Gospel, yg akhirnya membuahkan hasil pada masa New Deal. Friedman berargumentasi, kendati ilmu ekonomi Social Gospel melontarkan pertanyaan serius tentang kemanjuran laissez-faire, namun hal itu sangat sejalan dengan konsepsi kemajuan manusia yang ditemukan dalam Smith dan Hume.

Lewat buku ini, Friedman mengambil jalur yang berbeda dgn Max Weber dalam mencari hubungan antara agama dan kapitalisme. Weber menjangkarkan tolakan ke arah kapitalisme itu pada keyakinan dan etos Protestan secara keseluruhan, terutama pada teologi Calvinis. Sedangkan Friedman cenderung menarik akarnya pada teologi protestan yg lebih liberal.

Namun, lepas dari perbedaan perspektif, keduanya memberi insight tentang pentingnya menyiapkan kerangka teologi utk tujuan transformasi sosial, terutama bagi masyarakat bangsa dgn pengaruh agama yang masih menghunjam dalam di jantung kehidupan warga. (Edulatif No. 30)
Share:

Mendirikan Universitas Islam Al-Amien

Suatu saat kelak, entah kapan, Al-Amien yang tertetak di desa kacil di ujung timur Pulau Madura ini membuka lokasi baru puluhan hektar berdampingan dengan lokasi lama. Di dalamnya berdiri deretan bangunan super modern lengkap dengan peralatannya yang angat canggih, menyembul di tengah-tengah pepohonan yang rindang menyejukkan. Di pintu gerbangnya ada papan nama bertuliskan ...
UNIVERSITAS ISLAM AL-AMIEN

Di depan beberapa gedung terpampang tulisan Fakultas Ilmu-ilmu Tanzili, Fakultas Kedokteran, Teknik, Pertanian, Ekonomi, IImu-ilmu Politik, IImu-ilmu Sosial, dsb ...

Mahasiswanya berjumlah ribuan, yang disaring dari ribuan pendaftar sebagai calon mahasiswa baru setiap tahun. Mereka berdatangan dari seluruh penjuru Tanah Air dan mancanegara, terdiri dari berbagai etnis dan suku bangsa yang beraneka ragam.

Banyak orang tertarik kepada universitas ini, karena ia memang memiliki daya tarik tersendiri. Ia mampu memadukan tradisi-tradisi kepesantrenan yang Islami dengan tradisi-tradisi keilmuan modern.



Masjid Jami' Al-Amien yang masih nampak megah, kokoh, dan tidak kalah dengan bangunan-bangunan lain itu, menjadi pusat kegiatan keseharian seluruh penghuni kampus: sholat, berdzikir, belajar, berdiskusi, membaca Al-Quran, dsb. Di sudut-sudut tertentu dan di gazibo-gazibo nampak beberapa ustadz yang juga dosen sedang membimbing para mahasiswa mengkaji kitab kuning.

Perpustakaan yang terletak di bagian belakang masjid tidak pernah sepi dari pengunjung sepanjang hari. Semua kebutuhan mereka dilayani serba otomatis lewat komputer, internet, dan peralatan canggih lainnya.

Di sana-sini di berbagai sudut kampus nampak para mahasiswa berbaur menjadi satu dengan santri-santri cilik TMİ dan MTA, tanpa rasa risih dan rikuh sedikitpun, karena mereka juga merasa dirinya adalah santri. Semuanya menyatu dalam dekapan Ukhuwah Islamiyah yang kokoh dan harmonis, tetapi tetap bergerak aktif dan dinamis dalam suasana kompetetif yang sehat untuk meraih prestasi setinggi-tingginya.

Begitu adzan berkumandang, seluruh aktivitas dihentikan. Semuanya menuju masjid untuk sholat jama'ah, beraudiensi dengan Sang Kholiq dengan penuh khisyu' dan tawadu'.

Alumnimya menjadi pelopor-pelopor yang profesional dan gagah berami dalam bidangnya, memiliki prestasi yang tinggi dan mampu melahirkan karya-karya baru yang bermanfa'at bagi manusia dan kemanusiaan. Tetapi hatinya tetap tunduk di hadapan Sang Kholig, dan tawadlu' terhadap sesama. Tak ada kesan sombong, tak pernah meremehkan siapa pun. Mereka dikenal sebagai "fursaan" di siang hari dan "ruhbaan" di malam hari. Mereka adalah "tokoh-tokoh" di bidangnya yang sangat disegani dan dihormati, tetapi mereka tetap menjadi "bagian" dari masyarakat lingkungannya.

Demikianlah obsesi dan cita-cita para Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien. Sebuah khayalan atau utopia? Mungkin memang ada orang pesimis atau bahkan tersenyum sinis mendengar obsesi ini. Suatu reaksi yang, bagi kita, wajar-wajar saja.

Dulu, di awal abad ke-19, ketika Kyai Idris Patapan yang 'ndeso dan kampungan' itu berobsesi anak cucunya menjndi Ulama' dan Tokoh-tokoh masyarakat, banyak tetangganya yang tersenyum sinis. Ketika Kyai Chothib yang berada di bawah garis kemiskinanitu, berobseai seluruh anaknya blsa nailk haji dan belajar di Makkah, orang-orang pun tersenyum sinis. Begitu pula ketika Kyai Djauhari di awal tahun 50-an, hanya dengan modal sebidang tanah kering yang sempit, berobsesi untuk membangun pesantren besar bertarap nasional yang representatif, banyak orang tersenyum sinis.

Maka tak heran, jika obsesi Al-Amien untuk memiliki universitas bertarap intermasional ini, juga mendapat tanggapan dan reaksi yang sinis. Apalagi memang sudah berkembang suatu asumsi di kalangan para ahli, tentang "kemustahilan" lahirnya universitas yang kualifaid dari lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren. Mereka secara dikhotomis menggambarkan keduanya sebagai dua lembaga pendidikan yang memiliki prototipe yang bertolak belakang. Kepatuhan santri kepada kiai dilawankan dengan keterbukaan dan kebebasan akademik. Keikhlasan dan kesederhanaan yang menjiwai aktivitas pesantren dianggap sebagai penghalang kemajuan. Dan masih banyak asumsi-asumsi negatif lainnya yang bersumber dari "ketidaktahuan" atau bahkan dari "ketidakmautahuan".

Padahal, tradisi-traisi kepesantrenan yang ada dan berkembang sekarang ini, sebenarnya lahir dan diilhami oleh tradisi keilmuan dalam Islam yang dipadukan dengan tradisi-tradisi budaya bangsa. Yang pertama, telah membuktikan kemampuannya menjadi pelopor sekaligus memberikan arah yang tepat bagi upaya penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan yang kedua telah mampu mewarnai para santri dengan watak-watak yang positif, terutama dalam mengadaptasikan nilai-nilai universal dengan nilai-nilai setempat.

Selain itu sejarah perkempangan universitas-universitas di Eropa dan Amerika mengajarkan kepada kita, bahwa banyak universitas besar dan terkenal bermula dari kampus-kampus yang bernuansa keagamaan. Bahkan universitas-universitas Islam pada masa kejayaannya juga lahir dari semangat dan ruh keagamaan yang kuat, yang berawal dan berpusat di masjid. Istilah "universitas" yang dalam bahasa Arab disebut "Jami'ah" tidak bisa lepas dari istilah "Al-Jami" yang berarti masjid yang dipakai untuk melaksanakan Sholat Jum'at. Nah, masihkan kita ragu?

Lebih dari itu, modal dasar yang dimiliki Al-Amien saat ini sudah berkembang sebegitu rupa dan diakui memiliki kualitas unggulan yang kompetitif dan patut dibanggakan.
  • TMI dan TMaI Al-Amien, sebagai lembaga pendidikan keagamaan tingkat menengah telah memiliki reputasi nasional dan bahkan internasional. Beberapa universitas di luar negeri seperti Universitas Ummul Quro di Makkah, Islamic University di Madinah, Kuala Lumpur dan Islalabad, Universitas Al-Azhar di Kairo, Universitas Zaituna di Tunisia, telah memberi "Mu'adalah", atau persamaan ijazah bagi kedua lembaga tersebut. Keduanya diharapkan bisa mendroping calon mahasiswa pada Fakultas Ilmi-ilnu Tanzili.
  • Ma'had Tahfidzil Quran dengan SMP dan SMUnya dan sistim pesantrennya, telah diakui oleh berbagai kalangan sebagai salah satu Sekolah Unggulan di negeri kita. Dari lembaga ini diharapkan lahir Fakultas-fakultas Eksakta.
  • Al-Amien I dengan MTs dan MA plusnya juga telah menunjukkan reputasi dan prestasi yang patut dibanggakan, terutama dilihat dari NEM yang dicapai oleh murid-muridnya. Dari lembaga ini diharapkan lahir Fakulfas-fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora.
Nah, masihkah ada orang yang tersenyum sinis? Kalau punn masih ada, kita maafkan saja. Bahkan kita berharap semoga hal tersebut justru menjadi cambuk untuk memicu kerja keras, usaha sistimatis, dan do'a-do'a kia, dalam meraih obsesi dan cita-cita yang agung, dan luhur ini.

Yang terpenting, kita harus sadar sepenuhnya bahwa untuk meraih obsesi ini dituntut adanya kualitas yang tinggi dari setiap individu kita dalam berbagai bidang menyangkut iman, ilmu dan amal; menyangkut moral, mental, ethos, wawasan intelektual, dan keahlian atau keterampílan tertentu. Kualitas individu tersebut kemudian digabung dalam "team work" yang solid, kompak dan padu antara kita. Akhirnya setelah "'azm" ini, marilah kita bertawakkal kepada Allah SWT. Semoga. Amien.

Dikutip dari buku:
Pondok Pesanten Al-Amien dalam Lintasan Sejarah, halaman 92-94.
Share:

Mengatasi Korupsi Melalui Bahasa Kasar

Korupsi di Indonesia sudah begitu merajalela dan sulit diatasi, bahkan oleh lembaga antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Muncul ide, mungkin satu-satunya cara menghilangkan korupsi adalah mengganti istilah yang sudah kehilangan makna ini dengan kata lain yang lebih menohok.

"Ganti korupsi dengan kata yg sudah lama ada dan masih dipakai di kalangan rakyat, seperti garong, rampok, begal," kata Farid Gaban, aktivis dan jurnalis yang bersama tiga rekannya baru balik dari Ekspedisi Indonesia Baru, berkeliling Indonesia lebih dari 400 hari menggunakan sepeda motor. 

Namun, diakuinya, kata-kata asli apa adanya yg berlaku di kalangan rakyat kebanyakan masih harus diperkenalkan kembali dalam kosakata politik sehari-hari, seperti jancuk, bajingan, tolol, dan kata-kata kasar lain serupa.

"Ini bisa dimulai dengan para wartawan dan media menolak eufemisme," tegasnya dalam percakapan di suatu grup medsos. Dia memberi contoh, bayangkan berita di televisi bunyinya begini:

"Para pemirsa, Kejaksaan hari ini telah menangkap Menteri X yang menggarong uang negara."

"Bajingan itu berasal dari partai anu yang reputasinya jancukan semua."

"Presiden negeri itu juga tolol karena tidak bisa mengendalikan kabinet. Bukan cuma satu, enam menterinya terlibat merampok duit rakyat. Asu semua!"

Meskipun gagasan ini dapat memicu perdebatan, penting mempertimbangkan pendekatan alternatif tadi untuk memberantas korupsi yang sudah membudaya. Sekali lagi, korupsi telah begitu merajalela dan sulit diatasi selama bertahun-tahun. 

Meskipun lembaga antikorupsi sudah berupaya keras mengatasinya, dan sering diintervensi pihak tertentu, perubahan signifikan masih sulit dicapai. Maka, usulan penggantian kata "korupsi" dengan istilah-istilah kasar yang sudah lama ada dalam bahasa sehari-hari dipastikan dapat memiliki efek psikologis yang kuat. 

Bahasa yang tegas dan jujur dapat membantu masyarakat memahami dampak negatif dari tindakan korupsi dan merasa lebih terhubung dengan masalah tersebut. Namun, bersamaan dengan itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Pertama, Perubahan Budaya: Penggantian kata tidak akan berhasil tanpa perubahan budaya yang mendalam. Peningkatan kesadaran tentang korupsi dan penolakan terhadapnya harus didorong secara aktif melalui pendidikan, kampanye, dan kebijakan pemerintah yang transparan dan adil.

Kedua, Media dan Wartawan: Media memiliki peran penting dalam membentuk opini publik. Jika media dan wartawan menggunakan bahasa yang tegas, menohok dan jujur dalam melaporkan kasus korupsi, hal ini dapat membantu mempengaruhi perubahan sikap masyarakat.

Ketiga, Kepemimpinan yang Teladan: Para pemimpin, terutama di tingkat politik, harus menjadi teladan dalam berjuang melawan korupsi. Mereka harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk memerangi korupsi dan tidak boleh terlibat dalam tindakan korupsi.

Keempat, Hukuman yang Tegas: Penting untuk memastikan bahwa hukuman bagi pelaku korupsi memadai dan efektif. Ini termasuk pengadilan yang adil dan penegakan hukum yang tanpa pandang bulu.

Kelima, Partisipasi Masyarakat: Masyarakat juga harus berperan aktif dalam memberantas korupsi. Mereka dapat melaporkan tindakan korupsi yang mereka saksikan dan mendukung upaya-upaya pemberantasan korupsi.

Meskipun mengganti nama korupsi dengan kata-kata kasar mungkin menjadi langkah yang kontroversial dan berdampak psikologis yang mendalam, penting juga diingat bahwa perubahan bahasa hanya merupakan bagian kecil dari solusi yang lebih besar. 

Yang tak kalah penting adalah menciptakan perubahan budaya yang mendasar dan berkelanjutan dalam masyarakat Indonesia untuk mengatasi masalah korupsi. Semua pihak, termasuk pemerintah, media, dan masyarakat, harus bekerjasama untuk mencapai tujuan ini memanfaatkan segala cara yang tersedia.

(Ahmadie Thaha, pengasuh Ma'had Tadabbur al-Qur'an)
Share:

Sukses Literasi Digital Melawan Misinformasi

Dua hari lalu, saya ditanya kawan, bagaimana cara efektif mengenali informasi hoaks. Saya agak kaget ditanya begitu, karena si kawan ini dulu sama-sama wartawan di harian Republika dan di tabloid mingguan politik Tekad yang saya pimpin. Tampaknya, usia mempengaruhi kemampuannya untuk mengenali berita hoaks yang banyak beredar dan viral secara online. Itulah problema kita.

Dalam dunia yang semakin bergantung pada media digital, mengatasi misinformasi yang dikenal dengan hoaks telah menjadi tantangan penting bagi kita semua. Namun, kita dapat belajar dari sebuah inisiatif revolusioner yang baru-baru ini coba dilaksanakan di Spanyol, yang telah berusaha mengatasi tantangan ini dengan memberdayakan generasi yang lebih tua untuk mengidentifikasi dan melawan misinformasi yang tersebar secara online. 

Dikembangkan oleh MediaWise, sebuah inisiatif berbasis di AS, dan Newtral, sebuah outlet berita Spanyol, kursus WhatsApp inovatif yang diselenggarakan baru-baru ini menjadi perhatian karena potensinya yang relatif berhasil menjembatani kesenjangan kepercayaan antar-generasi terhadap berita. Mereka membuat kursus literasi digital pada generasi yang lebih tua di Spanyol melalui platform WhatsApp.

Kursus yang Membuat Perbedaan

Dikirim melalui WhatsApp, platform yang banyak digunakan untuk konsumsi berita oleh 27% penduduk Spanyol, kursus tersebut bertujuan untuk meningkatkan literasi digital generasi yang lebih tua. Peneliti dari Universitas Navarra secara cermat mempelajari dampak kursus ini pada kelompok sampel orang berusia di atas 50 tahun di Spanyol. Hasilnya cukup menjanjikan, menunjukkan bahwa kursus ini memiliki efek positif dalam batas tertentu.

Kursus tadi dilaksanakan dalam sesi harian dengan mengirimkan pesan, pertanyaan, dan video, yang mencakup berbagai topik. Isinya beragam, mulai dari mendefinisikan misinformasi hingga mengidentifikasi saluran utama penyebaran hoaks. 

Peserta menerima pelatihan komprehensif yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Kursus ini diluncurkan pada April 2023, dan hingga sekarang masih berlanjut dengan terus membuka pendaftaran baru, mencerminkan relevansinya yang berkelanjutan.

Hasil yang Positif

Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Navarra dan Laboratorium Media Sosial Stanford membuahkan hasil yang menggembirakan. Kelompok orang dewasa yang mengikuti kursus tersebut menunjukkan peningkatan kemampuan untuk membedakan berita nyata dari berita palsu setelah menyelesaikannya. 

Penelitian membuktikan, peningkatan ini terutama mencolok dalam keberhasilan pengenalan judul berita yang benar. Demikian pula, melalui kursus yang dirancang dengan baik, kemampuan para lansia untuk mengidentifikasi judul berita palsu juga mengalami peningkatan.

Yang penting, penlitian membuktikan bahwa usia, jenis kelamin, dan latar belakang pendidikan tidak tampak secara signifikan memengaruhi kemampuan peserta dalam mendiskernir akurasi berita. Hal ini menunjukkan bahwa literasi digital dan kemampuan melawan misinformasi dapat ditanamkan dalam beragam kelompok demografis.

WhatsApp: Media yang Tepat

Pilihan WhatsApp sebagai platform pengiriman kursus terbukti pula merupakan opsi strategis. Di Spanyol, WhatsApp digunakan secara signifikan oleh 27% warga untuk konsumsi berita. Ini menjadikannya platform sosial terpopuler kedua untuk berita setelah Facebook. Daya tarik WhatsApp sebagai medium untuk kursus ini berasal dari popularitasnya dan perannya ini.

Meskipun kursus ini berhasil dalam banyak hal, peneliti mencatat tantangan terkait dengan mempertahankan peserta untuk terus mengikuti kursus. Tantangan ini mungkin disebabkan oleh kebaruan WhatsApp sebagai alat pembelajaran bagi individu yang lebih tua, yang sering menganggap platform ini sebagai piranti komunikasi pribadi ketimbang sebagai sarana media pembelajaran.

Misinformasi di Spanyol

Pentingnya kursus ini diperkuat oleh maraknya misinformasi di Spanyol, sama seperti yang terjadi banyak negara, termasuk Indonesia. Studi yang dilakukan oleh Universitas Navarra dan UTECA mengungkapkan bahwa 91% responden menganggap misinformasi sebagai ancaman terhadap demokrasi dan stabilitas nasional. 

Misinformasi, seringkali berasal dari media sosial dan disebarkan melalui platform seperti WhatsApp, dapat memengaruhi persepsi publik terhadap berita. Maraknya informasi hoaks, yang bercampur antara berita dan info asal-asalan, telah menggerus kepercayaan masyarakat terhadap media.

Baik Charo Sádaba, penulis utama penelitian, maupun Marilín Gonzalo, Kepala Kebijakan Publik di Newtral, menekankan peran organisasi media dalam membantu audiens yang lebih tua mengidentifikasi misinformasi. Mereka menganjurkan penyesuaian sederhana pada outlet berita, seperti huruf yang lebih besar di situs web dan video yang dibuat lebih singkat, untuk membuat konten lebih mudah diakses oleh individu yang lebih tua.

Upaya Bersama Melawan Misinformasi

Pada akhirnya, menurut kesimpulan penelitian, tanggung jawab untuk melawan misinformasi mesti dilakukan secara bersama oleh koalisi yang luas. Organisasi media, pemeriksa fakta, LSM, perusahaan teknologi besar, dan pemerintah semua memiliki peran penting dalam mengatasi masalah yang mendesak ini. 

Seperti yang disarankan oleh temuan dari kursus WhatsApp di Spanyol ini, bahkan upaya kecil pun dapat menciptakan dampak yang signifikan. Kunci kesuksesan terletak dalam kerjasama, pendidikan, dan memberdayakan semua generasi untuk menavigasi lanskap berita digital yang kompleks dengan percaya diri dan pemahaman yang baik. 

Penulis: Ahmadie Thaha, wartawan senior, pengasuh Ma'had Tadabbur al-Qur'an.
Share:

Langganan Digital Tulang Punggung Media Online

Pada tahun-tahun terakhir, media online telah mengalami perubahan drastis dalam mencari cara untuk bertahan hidup dan membiayai diri. Telegraph Media Group (TMG), salah satu contoh sukses dalam perjalanan ini.

Berdasarkan laporan terbaru, TMG telah berhasil mencapai targetnya untuk mencapai satu juta langganan sebelum akhir tahun 2023. Ini menunjukkan bahwa media online tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang dengan cara yang unik.

TMG, yang menerbitkan The Daily Telegraph dan Sunday Telegraph, menjadi perusahaan surat kabar nasional Inggris ketiga yang mencapai tonggak satu juta langganan online, setelah The Guardian dan Financial Times yang mencapai jumlah langganan tersebut pada Desember 2021 dan Maret 2022. Lebih dari 70% dari satu juta langganan tersebut bersifat digital, menandakan bahwa konsumen semakin mengadopsi model berlangganan digital.

Salah satu strategi sukses TMG, fokus pada keterlibatan pelanggan. Mereka mencatat bahwa sekitar 300.000 pelanggan menggunakan aplikasi mereka setiap hari, menunjukkan tingkat keterlibatan yang tinggi. Selain itu, akuisisi Chelsea Magazine Company pada Maret dan penawaran produk seperti Telegraph Wine Cellar atau Telegraph Puzzles pada Juni turut membantu mereka mencapai target tersebut.

Dalam persaingan dengan media online lainnya, TMG juga menggunakan harga berlangganan yang sangat diskon sebagai bagian dari strategi pemasarannya. Tanpa diskon, berlangganan digital Telegraph berharga £189 per tahun. Ini menunjukkan bahwa penawaran harga yang menarik dapat memikat lebih banyak pelanggan ke dalam model berlangganan digital.

Perubahan ini mencerminkan keadaan industri media saat ini, di mana berkurangnya sirkulasi cetak dan ketidakstabilan pasar iklan online telah mendorong banyak organisasi berita untuk mencari sumber pendapatan yang lebih konsisten. 

Contohnya, laporan tahunan News Corp yang menunjukkan bahwa The Wall Street Journal telah mencapai 3,4 juta pelanggan digital, Barron's mencapai satu juta pelanggan, dan The Times dan Sunday Times naik 11% year-on-year menjadi 565.000 pelanggan.

Di sisi lain, The Guardian yang berbasis pada model "free-to-read" berhasil mencapai satu juta pelanggan dengan kombinasi 419.541 pelanggan digital dan 580.494 kontribusi berulang.

Sementara itu, strategi berlangganan digital yang difokuskan pada "bundle" dari The New York Times telah membuat mereka mencapai lebih dari sepuluh juta pelanggan digital, jumlah terbanyak di antara penerbit di seluruh dunia.

Meskipun pencapaian TMG telah mengesankan, mereka belum mengungkapkan berapa banyak pelanggan individual yang mereka miliki. Selain itu, perusahaan ini berada dalam proses lelang setelah Lloyds Banking Group mengambil alih TMG dan The Spectator dari pemilik sebelumnya, keluarga Barclay, yang kesulitan membayar utang sebesar £1 miliar kepada bank.

Demikianlah, kisah sukses TMG menunjukkan bahwa media online tidak hanya bertahan tetapi juga dapat berkembang dengan baik melalui strategi berlangganan digital yang cerdas dan penawaran yang menarik bagi para pelanggan. Dalam era di mana informasi adalah aset berharga, langganan digital telah menjadi tulang punggung bagi banyak organisasi berita. (catatan Ahmadie Thaha, 7/9/2023)

Share: