Leluhur Gontor, Kemuliaan Dzuriyat Rasulullah & Kearifan Bangsa Kita

ERDY NASRUL

Pada 2016, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor KH Hasan Abdullah Sahal pernah berkata kepada saya, "Kita ini mewarisi perjuangan para pendahulu. Kita ini membawa darah (gen,-red) perjuangan kakek dan nenek moyang kita."

Perkataan itu tak muncul begitu saja. Sangat mungkin terinspirasi para pendiri Pondok Modern Gontor yang pernah membawa keluarganya ke Kompleks Pemakaman Gontor. Di sana mereka berpesan, "Kita ini keturunan orang baik-baik."

Para leluhur pesantren Gontor adalah orang-orang saleh yang mewarisi tirakat dan amal saleh kepada penerusnya. Ada yang berupa zikir sederhana yang dilazimkan setiap hari atau pada momentum tertentu. Ada pula berupa akhlak mulia dan strategi menjalani hidup. Semua itu merefleksikan budi pekerti luhur dan tutur kata penuh kearifan yang menyentuh hati ribuan hingga jutaan orang sehingga mereka terwarnai dengan keislaman yang penuh kearifan.

SIAPA LELUHUR GONTOR?

Berbagai literatur dan artikel mengungkapkan bahwa genealogi Gontor adalah Tegalsari sebagai 'ibu' yang melahirkan Gontor lama. Lebih jauh lagi adalah Kesultanan Cirebon. Lalu siapa dan apa sebelum itu? Jawaban pertanyaan ini adalah kearifan dan kekhasan Gontor yang luar biasa.

Dari pihak perempuan, yaitu anak Kiai Kholifah atau istri Kiai Raden Sulaiman Jamaludin, ada Kiai Anom Besari (abad ke-17 M) atau Kiai Nggrabahan di Kuncen Caruban. Dia adalah keturunan bangsawan Kerajaan Demak dan Majapahit yang silsilahnya juga bersambung kepada Raden Rahmatullah (Sunan Ampel/abad ke-15). Jika ditelusuri ke atas lagi, maka akan sampai kepada Rasulullah SAW.

Sedangkan dari sisi lelaki, yaitu Kiai Raden Sulaiman Jamaludin, adalah bangsawan kesultanan Cirebon. Kiai Sulaiman adalah anak keturunan penghulu keraton kasepuhan bernama Jamaludin. Bapaknya, kakeknya, buyutnya, dan terus dari sisi lelaki bersambung kepada Hidayatullah yang sering dipanggil Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (1448-1568). Penyebutan Hidayatullah merujuk kepada kitab Syamsuzh Zhahirah halaman 529 karangan mufti Hadhramaut abad ke-20 Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husein al-Masyhur. Dan salah seorang anak Kiai Imam Zarkasyi (1910-1985) bernama Ahmad Hidayatullah, mirip dengan nama Sunan Gunung Jati.

Pendahulu Sunan Gunung Jati adalah bangsawan kerajaan Champa bernama Abdullah Umdatuddin, anak dari Ali Nurul Alam, saudara Syekh Ibrahim as-Samarqandy. Sering disebut Ibrahim Asmoro. Ali Nurul Alam adalah anak dari Sayid Jamaluddin al-Husaini. Sedangkan Jamaluddin adalah putra dari diplomat Kerajaan Mughal bernama Ahmad, sering disebut Ahmad Syah Jalaluddin. Diplomat ini adalah anak dari Abdullah. Sedangkan Abdullah adalah anak dari seorang alim yang sering disebut //al-muhajir ilallah//, yaitu Abdul Malik Azmatkhan, yang menikahi putri bangsawan Mughal di India dan menyebarluaskan Islam di sana.

SIAPA ITU ABDUL MALIK?
Setelah menikahi putri bangsawan di sana, dia diberi gelar khan, seperti bangsawan Mughal lainnya. Gelar ini mengikuti gelar bangsawan Mongol yang terkenal dengan penakluknya, yaitu Genghis Khan.

Namun, Abdul Malik tak mau sekadar diberi gelar khan. Dia menyebut dirinya Azmatkhan. Artinya bangsawan yang mulia. Bangsawan mulia dengan membawa kearifan Islam yang memancarkan cahaya tauhid.

Abdul Malik adalah putra Alawi yang bergelar //'aammul faqih//, paman guru besar (ustaz a'zham) ahli fiqih lahir dan batin yang diutamakan (//faqih muqaddam//) Muhammad (abad ke-13 M). Alawi bersaudara dengan Ali Ba'alawi, anak dari Muhammad Shahibul Mirbath. Ke atasnya lagi adalah Ali Khali Qassam, putra Alawi (yang kedua), putra Muhammad, putra Alawi. Nama Alawi adalah rujukan nama golongan besar Alawiyyun atau Alawiyyin. Mereka adalah keturunan Alawi, yaitu habaib di berbagai belahan dunia.

Ayah dari Alawi adalah Ubaidillah. Biasanya orang menamakan Abdullah. Artinya hamba Allah. Tapi ini Ubaidillah. Artinya hamba Allah yang kecil. Para habaib, seperti Ketua Umum Rabithah Alawiyah Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf menjelaskan bahwa nama Ubaidillah ini menunjukkan tawadhu, kerendahan hati. Imam Ubaidillah sangat berhati-hati dan menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari takabur. Dan itu dilakukan dari nama terlebih dahulu. 

Rendah hati tak menjadikannya pesimis, apalagi hina. Sama sekali tidak. Justru itu menjadikannya mulia di mata Allah. 

Ubaidillah mengelola perkebunan kurma yang luas. Hasil panennya banyak dibagikan kepada banyak orang di Hadhramaut. Dia adalah orang yang gemar bersedekah dan membantu kaum dhuafa.

Ubaidillah adalah anak seorang imam besar yang pertama kali bergelar //al-muhajir ila Allah// yaitu Ahmad. Dia adalah seorang alim yang menghindari fitnah kekuasaan di Bashrah. Dia membawa serta banyak orang dalam rombongannya berhijrah ke Hadhramaut. Dialah kebanggaan para dzuriyat Rasulullah.

Ahmad adalah putra Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi putra bungsu Ja'far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin si ahli sujud bin Husain as-Syahid bin Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra binti Rasulillah SAW.

Jika ditelusuri lebih jauh lagi, maka akan sampai kepada pembesar bangsa Arab, Nabi Ismail bin Nabi Ibrahim, dan seterusnya.

Ketua Rabithah Alawiyah selama 3 periode, Habib Zen bin Umar bin Sumaith menegaskan, bahwa gelar Azmatkhan yang bermula dari Abdul Malik, kemudian turun kepada wali songo dan keturunannya, adalah dzuriyat Rasulullah. "Dzuriyat Rasulullah itu mewarisi dan meneruskan tradisi akhlak mulia dan dakwah datuk Rasulullah SAW," ujar dia.

Dari silsilah tersebut kita mengetahui bahwa leluhur Gontor adalah ulama, kekasih Allah, bangsawan dari berbagai kerajaan hebat, simpul-simpul kenabian yang mendakwahkan tauhid di berbagai kawasan. Dari Hijaz ke Hadhramaut, lanjut ke India, Champa, sampai ke Jawa. Kesalehan dan kearifan mereka diwariskan secara turun temurun sampai ke berbagai generasi, sampai ke Sultan Sepuh II Jamaluddin, kemudian turun ke Penghulu Jamaluddin yang merupakan saudara Sultan Sepuh III. Kemudian berlanjut ke Raden Sulaiman Jamaludin, lalu ke anaknya Kiai Archam Anom Besari. 

Turun lagi ke Kiai Santoso Anom Besari. Kemudian turun lagi ke anak-anaknya, termasuk Trimurti pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, yaitu KH Ahmad Sahal (1901 - 1977), KH Zainuddin Fananie (1905 - 1967), KH Imam Zarkasyi (1910 - 1985), dan keturunan-keturunannya yang mulia.

Allah berjanji menjaga kesalehan hamba dan keturunannya. Bahwa perjuangan dan kebaikan mereka itu turun kepada generasi setelahnya (al-Kahfi: 82). Hal ini juga dibenarkan oleh Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya.

Karena itu, para pendiri, pimpinan dan penerus Pondok Modern Gontor membawa darah para orang saleh di atas dan meneruskan perjuangan mereka menyebarluaskan kearifan dan keislaman kepada bangsa ini. Para pendiri Gontor mengajarkan ilmu dan menggerakkan pahlawan nasional Idham Chalid (1921-2010), Brigjen Hasan Basri di Kalimantan, dan banyak ulama dan tokoh masyarakat, untuk memerdekakan bangsa ini dari penjajahan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diamanahkan dalam UUD 1945.

Pimpinan Gontor dan para pembantunya saat ini mendidik dan mentransmisikan ilmu Allah kepada banyak orang, mencerahkan bangsa ini, dan banyak orang di berbagai negara, dengan akhlak mulia, hikmah, dan tauhid, sebagaimana dilakukan para pendahulu mereka.

Bersyukurlah orang-orang yang pernah belajar di Gontor. Bersyukurlah para orang tua santri yang mengutus anaknya belajar di Gontor dan dengan sepenuh hati yang tulus memberikan amanah kepada para pimpinan. 

Bersyukurlah bangsa ini yang menjaga dan merawat Gontor, karena Gontor mewarisi darah pejuang dan orang-orang hebat, keturunan orang baik-baik seperti yang dikatakan KH Hasan Abdullah Sahal, dan para mbah trimurti, sebagaimana dijelaskan di awal.

(Artikel Rubrik Tuntunan Dialog Jumat Republika)
Share:

Berkah Hafal al-Qur'an, Yusuf Qardhawi Produktif Menulis

Ada kisah unik. Suatu ketika seorang wartawan bertanya kepada Syekh Yusuf al-Qardhawi, "Syekh, bagaimana Anda bisa memanfaatkan waktu menulis produktif Anda, sedangkan Anda memiliki jadwal yang sangat sibuk? Kapan waktu Anda menulis?!"

Jawaban Syekh Yusuf Qardhawi mengejutkan, "Saya mulai menulis ketika pesawat mulai take off dalam setiap perjalanan saya ke mancanegara. Di sanalah saya mulai memikirkan berbagai permasalahan. Di tengah orang-orang sedang tertidur istirahat di pesawat, di saat orang-orang menikmati fasilitas penerbangan di sanalah saya mencurahkan ide-ide saya dalam tulisan."

Wartawan itu dibuat semakin keheranan.

"Jika begitu, lantas kapan tulisan itu bisa rampung menjadi satu karya buku?!"

"Alhamdulillah, dalam setiap kali perjalanan, saya merampungkan satu judul buku!"

Wartawan itu dibuat semakin tidak percaya.

"Para pembaca mengetahui bahwa setiap buah pikiran yang Anda tuliskan di buku-buku Anda sangat padat dengan analisa tajam, penuh dengan referensi dan sumber ilmiah. Darimana Anda bisa mendapatkan semua itu, jika Anda menyelesaikan di dalam pesawat?!"

Syekh Yusuf al-Qardhawi sembari tersenyum menunjuk ke kepalanya.

Ternyata, semua referensi bahan bacaan telah tersimpan dengan baik di kepalanya. Semua telah lengkap di otaknya. Semua ilmu telah terangkum di dadanya.

Ketika ditanya lagi, "Apa rahasia keilmuan Anda yang begitu kuatnya menulis dengan mengandalkan referensi yang terekam semua di kepalanya?"

Syekh Yusuf al-Qardhawi kembali menjawab, "Semua berkah hapalan al-Qur'an yang ada di kepalaku!"

Inilah keberkahan bagi para penghapal al-Qur'an. 

Masya Allah.

Share:

Tirakat Pak Zar dan Monumen Sejarah Unida yang Dikenang Ratusan Tahun

Oleh ERDY NASRUL

Pada tahun 1980-an, putra keempat KH Imam Zarkasyi (1910-1985), KH Amal Fathullah Zarkasyi, melanjutkan studi magister ke Al-Azhar Mesir. Saat mendaftarkan diri untuk belajar di sana, ternyata ada masalah. Ijazah sarjana muda yang diraihnya dari Institus Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya belum diakui pihak Al-Azhar. 

Tak tinggal diam, Amal mengurus persamaan (mu'adalah) ijazah sarjana muda IAIN Sunan Ampel dan Institut Pendidikan Darussalam (Sekarang Universitas Darussalam/Unida Gontor). Hasilnya, ijazah sarjana Fakultas Ushuluddin keduanya diakui. Sejak itu Amal diterima menjadi mahasiswa magister di dua perguruan tinggi tersebut. 

Pada tahun 1982, Amal dinyatakan lulus ujian tulis. Pihak Al-Azhar juga memperluas mu'adalah sarjana muda IPD. Selain di studi Filsafat Islam, sarjana muda IPD juga bisa melanjutkan studi magister jurusan tafsir-hadis, akidah-filsafat Islam pada tingkat magister Fakultas Ushuluddin.

Capaian itu dia laporkan kepada sang ayah. Kiai Imam Zarkasyi merespons laporan Amal dengan tulisan. "Sekarang banyak orang berkata bahwa Amal di Mesir itu bukan hanya sekolah, tetapi juga memperjuangkan IPD. Dan alhamdulillah, Amal bisa lulus dengan ijazah itu. Maka peristiwa ini merupakan monumen sejarah IPD yang akan dikenang ratusan tahun oleh generasi mendatang...," tulis Pak Zar.

Meski dipisah jarak 13 ribu kilometer, Pak Zar seperti merasa dekat dengan Amal. Trimurti pendiri Gontor yang termuda itu menyembelih dua ekor lembu sebagai tanda kesyukuran. Seekor untuk Amal yang lulus ujian tulis dan memu'adalahkan ijazah IPD. Lainnya untuk (alm) Nashrulloh Zainal Muttaqin yang berhasil masuk Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. "Tetapi Amal perlu mengetahui, bahwa kesyukuran kami yang sebenarnya bukan (hanya) itu, tetapi dengan shalat sunnah 400 rakaat," tulis Pak Zar.

Sungguh luar biasa tirakat tersebut. Seorang ayah melakukan mujahadah sebegitu keras untuk kebaikan anak, keluarga, dan pesantren yang dipimpinnya. Riyadhah yang tidak sekali atau dua kali dilakukan. Shalat sunnah 400 rakaat ini adalah kelanjutan dari membiasakan diri melaksanakan shalat sunnah sejak lama. 

Bagi orang awam, membiasakan shalat sunnah tidaklah mudah. Pasti ada pergolakan batin. Ada rasa jenuh yang muncul, sehingga tergoda untuk meninggalkan amalan sunnah ini, dan menggantinya dengan kebiasaan lain. 

Namun, kesungguhan dan kemantapan hati, seperti yang dialami Pak Zar, mematahkan godaan itu. Bisikan malas beribadah berganti menjadi optimisme dan kejernihan batin memandang masa depan kehidupan dunia dan akhirat yang cerah. Masa depan itu, dalam pandangan putra bungsu Kiai Santoso Anom Besari (abad ke 19-20) adalah kebermanfaatan anak-anaknya dan pesantren yang dia dan dua orang kakaknya: KH Ahmad Sahal (1905-1977) dan KH Zainuddin Fananie (1908-1967) wakafkan. 

Gontor terus tumbuh. Santrinya bertambah hingga kini lebih dari 30 ribu orang dari berbagai kawasan. IPD berkembang menjadi Institut, kemudian Universitas Darussalam (Unida) Gontor dengan ribuan mahasiswa di dalamnya. Alumnusnya beterbaran. Ada yang bergelar pahlawan nasional, kalangan birokrat, profesional, dan dunia usaha. Semua itu adalah jawaban Allah atas usaha dan doa yang banyak.

Buah perjuangan ini dibangun dari dasar optimisme kepada Allah, sebagaimana dicontohkan Nabi Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim untuk selalu yakin dengan kasih sayang Allah, meskipun dia 'dicoba' dengan anak kesayangannya, Nabi Yusuf, yang dizalimi para saudaranya (Yusuf: 87). Kalau yakin Allah menyayangi kita, maka kasih sayang itu benar-benar akan dilimpahkan kepada kita. Yang Mahakuasa juga akan meyakini kita akan sungguh-sungguh menyembah-Nya dan lebih banyak beribadah kepada-Nya, seperti yang dialami Nabi Ya'qub dan Pak Zar.

Tirakat Pak Zar dengan memperbanyak shalat sunnah adalah 'pecutan' untuk kita semua selaku orang tua yang diberikan amanah oleh Allah untuk mendidik anak. Orang tua dan guru wajib mengajarkan anak – anak dengan keteladanan akhlak mulia, menanamkan nilai dan ilmu ke dalam hati. Sejak dini mereka ditunjukkan bagaimana bersabar di tengah 'ujian' keterbatasan dan derita hidup, berdoa dan beribadah sebanyak mungkin meski ada banyak rintangan hidup, dan bertawakkal kepada Allah atas apa yang sudah diusahakan. Juga keteladanan dalam memuliakan orang tua, tamu, tetangga, dan melestarikan lingkungan. Dan keteladanan menuntut ilmu, yaitu dengan ketekunan membaca buku, menghormati guru dan mendengarkan penjelasannya, tadabbur alam, dan waktu yang panjang (thuluz zaman), seperti yang dijelaskan Az-Zarnuji (abad ke-12 M) dalam Ta'limul Muta'allim fi Thariqit Ta'allum, dan Hadhratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari (1871-1947) dalam Adabul 'Alim wal Muta'allim.

Tapi tak hanya itu. Orang tua dan guru sangat dianjurkan banyak mendoakan dan 'menirakati' mereka. Orang tua dan guru harus memperbanyak berpuasa, shalat, zikir sampai ribuan, bahkan puluhan ribu kali, dan berdoa kepada Allah. Semua itu ditujukan untuk anak dan murid yang sedang berjuang menuntut ilmu. Tanpa doa, anak atau murid akan seperti pengembara tersasar di hutan yang lebat. Berjalan tak terarah, dan bisa jadi, mati kehabisan bekal.

Mendoakan anak dan cucu adalah tradisi mulia. Rasulullah (570-632) mendoakan menantunya Ali bin Abi Thalib (599-623) dan anaknya Fatimah az-Zahra (605-632) agar diberkahi Allah dan mengumpulkan keduanya dalam kebaikan. Nabi Muhammad juga mendoakan kedua cucunya, Hasan (624-670) dan Husein (626-680) agar Allah melindungi mereka dari segala setan, hewan melata, dan berbagai pandangan jahat (HR Bukhari).

Dalam kisah Alawiyyin, Habib Ahmad bin Ja'far Assegaf (abad ke-19) selalu mendoakan cucunya, Habib Alwi bin Syekh Assegaf (1865-1949). "Semoga cucuku selamat dan diberi rezeki yang penuh barokah serta diberikan keturunan yang banyak," kata Habib Ahmad, sebagaimana ditulis Habib Zen bin Umar bin Sumaith (1950-2022) dalam bukunya //Rangkaian Mutiara 99 Tokoh Ulama Dzuriyat Rasulullah dari Masa ke Masa//. 

Doa itupun terkabul. Meski sempat hidup dalam keterbatasan, Habib Alwi kemudian membangun usaha yang memberikan sejuta manfaat kepada masyarakat. Legasinya yang sampai saat ini masih terlihat adalah Kompleks Assegaf di Sumatera Selatan. Dari situ dia memberikan banyak manfaat kepada masyarakat luas.

Masih banyak lagi doa-doa yang menyentuh hati, seperti dalam Ratib al-Idrus karangan Imam Habib Abdullah bin Abu Bakar al Idrus al-Akbar (1409-1461), Ratib al-Attas Imam Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas (1584-1661), dan Ratib al-Haddad Imam Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad (1634-1720). Juga kumpulan doa karangan Syekh Abdul Qadir al-Jailani (1077-1166), aneka hizib yang disusun Imam Abu Hasan as-Syadzili al-Hasani (1196-1258), dan doa-doa Pak Sahal, Pak Fananie, Pak Zar, serta guru-guru kita yang lain.

Doa selalu menjadi senjata orang beriman (shilahul mu'minin), sebagaimana disabdakan Rasulullah. Melalui doa, banyak malaikat akan tertegun mendengarkan rintihan kekasih Allah yang bersungguh-sungguh untuk dekat dengan Yang Mahamengabulkan doa (mujibud da'awat). Mari sama-sama kita doakan anak dan keturunan kita dengan segala harapan terbaik, seperti yang dilakukan Rasulullah dan para keturunannya di atas.
Share:

Omega-3 Makanan Otak

Satu fakta yang tidak dapat disangkal, di antara semua barang di toko kelontong, gula satu -satunya barang jualan yang secara independen terkait dengan depresi dan kecanduan serta sindrom metabolik. Dan, seperti telah kita catat, tak diragukan lagi bahwa itulah jalan termurah menuju kesenangan, namun sekaligus jalan paling pasti menuju ketidakbahagiaan.

Tapi jangan takut, tampaknya ada satu makanan yang bisa mengurangi kerusakan yang ditimbulkan oleh gula pada otak serta meningkatkan biokimia dan proses yang dapat mempengaruhi kita untuk kebahagiaan. Dan mungkin tidak mengherankan, kehadirannya dalam makanan berkorelasi positif dengan triptofan, namun berkorelasi negatif dengan gula. 

Apa bahan kimia ajaib ini? Itulah asam lemak omega-3, di antara semua yang ada. Memang ini satu jenis lemak, sesuatu yang diberitahu harus kita hindari empat puluh tahun yang lalu. Barang selain itu cukup sulit didapat dalam diet Barat. Mungkin inilah alasan lain mengapa kebahagiaan telah menjauhi begitu banyak dari kita.

Omega-3 hadir dalam dua rasa utama: asam eicosopentanoic (EPA) dan asam docosohexaenoic (DHA). Semua orang mengira kedua omega-3 ini ditemukan pada ikan. Ya, tetapi ada beberapa kualifikasi untuk pernyataan itu. Ikan tidak membuat omega-3; ikan makan omega-3. Sebaliknya, omega-3 dibuat oleh tanaman berdaun hijau baik di laut atau di darat. 

Alga merupakan sumber omega-3 terbaik. Ikan memakan alga. Kita makan ikannya. Jadi kita membeli omega-3 dari tangan kedua, dan dengan harga premium untuk manfaat tinggi. Tapi hanya ikan liar yang memakan alga. Sementara ikan budidaya memakan pelet. Terkadang peletnya dibuat dari ikan lain, yang meski memakan ganggang alga, namun cukup encer. Terkadang peletnya terbuat dari jagung. Karena ikan yang dibudidayakan lebih gemuk - lihat, itu juga terjadi padanya! - ia memiliki kandungan omega-3 sedikit lebih tinggi, tetapi kandungan omega-6nya (yang mendorong peradangan) sangat tinggi; jadi ikan liar merupakan pilihan yang lebih mahal tetapi lebih cerdas.54

Literatur pop seputar omega-3 telah ditulis dan disebarkan ke orang-orang yang mengeluarkan kapsul minyak ikan. Ungkapan penuhnya: Saya juga. Bahkan ada preparat omega-3 murni yang tersedia dengan resep (Eovaza), tetapi harganya sangat mahal dan biasanya tidak ditanggung oleh asuransi. Faktanya, saya merawat anak-anak dengan trigliserida darah sangat tinggi - cukup tinggi untuk menyebabkan pankreatitis akut spontan, yang merupakan bencana besar dengan komplikasi yang mengancam jiwa. Omega-3 yang dimurnikan merupakan pengobatan pilihan yang pasti - dan asuransi perusahaan tetap tidak akan mengotorisasi pembeliannya.

Jadi apa yang ada di balik makanan super ajaib ini yang melakukan begitu banyak hal? Omega-3 dimasukkan ke dalam membran sel di seluruh tubuh Anda. Ia meningkatkan fluiditas membran, yang berarti memungkinkan terjadinya deformasi sel dengan mudah, memungkinkannya menyehatkan kembali, bukannya memecah. Ia mencegah penuaan sel dan kematian sel dini. Ia juga memungkinkan nutrisi dan hormon melewati sel membran, dan memungkinkan racun meninggalkan sel dengan cepat. 

Tidak ada tempat di tubuh kita y ang memiliki fungsi khusus ini yang lebih penting dari di otak. Misalnya, omega-3 membantu memperbaiki kerusakan pada membran yang dihasilkan oleh glukosa, dan terutama fruktos. 55 Itu semua baik dan bagus , tapi apa hubungan omega -3 dengan serotonin , atau dengan promosi kebahagiaan , dalam hal ini? Ternyata omega -3 memberi dampak kesejahteraan mental pada kita dalam dua cara yang berbeda tetapi terkait.56

1. Omega-3 memiliki efek tidak langsung pada pelepasan serotonin dari saraf terminal di seluruh otak. Ketika area di sekitar saraf terminal melepaskan serotonin meradang, menghambat pelepasan serotonin (kunci) dan bahkan lebih sedikit yang mampu mencapai reseptor (key) di seberang sinapsis. Ini mungkin menjelaskan mengapa orang-orang yang tubuh dan otak mereka mengalami peradangan cenderung sangat mudah tersinggung,57 bahkan jika mereka menggunakan SSRI. Bahkan ada lebih sedikit serotonin untuk mereka tangani. Tapi omega-3 menghambat pembentukan sel inflamasi,58 yang mungkin memungkinkan transmisi serotonin yang lebih baik.59

2. DHA, salah satu omega-3, merupakan prekursor kelas molekul yang disebut endocannabinoids (ECs) - ganja versi otak dan tubuh.60 Seperti yang telah kita diskusikan mengenai rimonabant di Bab 2, kita memiliki reseptor spesifik untuk ganja, yang disebut reseptor CB1, yang ada di mana-mana di seluruh wilayah otak. Senyawa aktif dalam ganja yang dikenal sebagai tetrahydrocannabinol (THC) mengikat reseptor CB1 ini untuk meningkatkan suasana hati dengan mengurangi kecemasan, yang menjelaskan mengapa orang begitu pusing ketika dia merokok ganja. 

Ternyata neuron kita membuat neuromodulator mirip ganja yang disebut anandamide, yang mengikat reseptor CB1, yang dirancang untuk mengurangi tingkat kecemasan kita. Apa pun yang menghambat sintesis anandamide atau tindakannya akan meningkatkan tingkat kecemasan Anda beberapa kali lipat, sementara apa pun yang meningkatkan tindakan anandamide akan membuat Anda tetap dingin seperti mentimun.

Sebagian besar dari kita cenderung mengalami kecemasan dan stres; dorongan ekstra hunian reseptor CB1 Anda dengan merokok ganja mungkin menghilangkan sebagian dari kecemasan itu, jika Anda tidak rentan terhadap paranoia saat benar-benar mabuk. Dan, seperti yang Anda mungkin harapkan, karena tingkat stres dan kecemasan kolektif kita terus meningkat, tingkat kebahagiaan kita terus menurun. Peningkatan kecemasan merupakan salah satu alasan meningkatnya jumlah pothead secara nasional 61 dan memberikan penjelasan rasional mengapa legislasi ganja rekreasi menyebar ke seluruh Amerika Serikat. Anandamide kita sendiri jelas tidak cukup untuk menjinakkan binatang buas itu lagi. Kenapa tidak?

Omega-3 adalah bagian dari mesin pensinyalan endocannabinoid. Kekurangan omega-3 tidak memungkinkan endocannabinoid untuk bertindak seperti biasanya pada sistem yang ada, sehingga menyebabkan lebih banyak kecemasan dan depresi.62 Tetapi kebalikannya juga tampaknya benar: kita dapat memperbaiki masalah ini dengan suplementasi omega-3. 

Menurut salah satu penelitian, diet Mediterania memperbaiki gejala depresi.63 Apakah itu omega-3? Atau lebih sedikit makanan olahan yang sarat gula? Satu studi menunjukkan bahwa omega 3 setara dengan efek Prozac dalam mengobati depresi, dan kombinasi lebih efektif dari salah satunya saja.64 Dalam penelitian terkait, pemberian omega -3 pada pasien dengan tindakan melukai diri sendiri yang berulang (misalnya , memotong, mencungkil, menggaruk, membakar -ekspresi utama dari kecemasan) menunjukkan pengurangan bunuh diri, depresi, dan stres sehari-hari.65 

Percobaan baru-baru ini dilakukan dengan memberi omega-3 bersama dengan mineral untuk anak-anak berusia sebelas tahun yang mengalami gangguan perilaku atau gangguan penentangan oposisional (orang-orang yang secara rutin menemukan diri mereka harus menghadap ke kantor kepala sekolah), dalam tiga bulan agresi mereka berkurang, dan jauh lebih baik dari terapi bicara.66 

Terakhir, konsumsi omega-3 dapat membantu menangkal depresi pada anak-anak67 dan orang dewasa,68 serta dapat berfungsi sebagai tambahan untuk SSRI dalam penanganannya.69 Dan inilah hadiah yang terus diberikan-atau haruskah saya katakan itu hukuman yang terus mendera? Apa yang ibu Anda makan menentukan perbedaan dalam diri Anda.

Banyak ibu yang menyatakan bahwa kesehatan dan kebahagiaan anaknya merupakan yang terdepan dari tujuan hidup mereka. Apa yang Anda makan saat hamil memainkan peran besar dalam menentukan masa depan anak Anda. Kekurangan omega-3 selama kehamilan pada tikus mengubah otak anak dengan cara yang mengacaukan sinyal insulin dan tingkat faktor pertumbuhan otak, yang semuanya mengarah pada peningkatan perilaku kecemasan.70 Ini memiliki implikasi langsung bagi kita semua. Apa yang kita katakan pada wanita hamil untuk tidak dia makan? Seafood, makanan laut - karena kekhawatiran akan keracunan merkuri. Padahal, konsumsi makanan laut ibu-ibu di duga telah menghasil peningkatan perkembangan saraf pada anak-anak Inggris.71 

Apakah kita membuat lebih banyak masalah ketimbang menyelesaikannya? Nah, mungkin kita bisa mengatasi masalah ini dengan memberi ibu hamil beberapa kapsul omega-3; jika kita melakukannya, hasil perkembangan saraf anak-anak dan pencegahan risiko ibu untuk depresi dapat ditingkatkan.72 Penelitian baru menunjukkan bahwa kenari mungkin juga bermanfaat.73
Share:

Coca-Cola Ciptaan Pemabuk Berat

Tahukah Anda bahwa Coca-Cola diciptakan oleh seorang pemabuk berat yang ingin tobat? Kisahnya bermula dari John Pemberton. Dia seorang apoteker Atlanta, Amerika Serikat. Pada 1886 dia menemukan formula untuk minuman berkarbonasi yang sangat istimewa dan cukup unik. Pada tanggal 29 Mei, hanya tiga minggu kemudian, Pemberton memasang iklan pertama di Jurnal Atlanta untuk minuman ringannya (yang tidak begitu lembut pada masa itu), yang sejak hari itu akan dikenal sebagai Coca-Cola. 

Kisah Pemberton dan Coca-Cola dikenal luas, menjadi legenda urban. Saat itu, karbonasi merupakan masalah besar, membutuhkan jet bertekanan tinggi khusus untuk menekan karbon dioksida yang cukup sehingga menjadi solusi. Tidak ada metode untuk memperkuat botol kaca standar, jadi karbonasi harus dilakukan di apotek dengan peralatan khusus dan diminum di tempat. Ini kemudian dikenal sebagai air mancur soda. Dengan demikian, Coca-Cola awalnya hanya dijual di apotek. Tapi ada alasan lain juga.

Apa yang tidak diketahui secara luas adalah bahwa Pemberton adalah pecandu morfin, setelah terluka dalam Perang Saudara.18 Alasan dia mengembangkan formula sucinya karena upayanya yang lama untuk menyapih dirinya dari kecanduannya. Tapi kecanduannya merusak keuntungannya, bisnisnya, dan hidupnya. Dia menghabiskan dua puluh satu tahun berikutnya mencoba menemukan obat penghilang rasa sakit bebas opium. Dia melewati beberapa iterasi pengobatan, tanpa hasil. 

Pada akhirnya, dia mengembangkan ramuan yang terdiri dari kokain, alkohol, kafein, dan gula. Empat zat hedonis terpisah ini, empat obat dopamin/reward yang agak lebih lemah, menggantikan satu zat yang sangat kuat. Pemberton mencampurkan keempatnya dengan air berkarbonasi (diduga memiliki sifat hedonis tersendiri). 

Namun, karena adanya gerakan "kesederhanaan" yang mengambil alih wilayah Selatan Amerika pada akhir 1800-an dan karena banyak veteran Perang Sipil mengembangkan alkoholisme, dia mencampakkan alkohol, dan voila! 

Namun, pada tahun 1888, Pemberton menjual formulanya dan haknya kepada pengusaha Atlanta Asa Candler hanya dengan harga $2.500, dan Candler mengubah Coca-Cola itu menjadi merek paling terkenal di dunia. Mengapa begitu murah? Anda bertanya. Karena Pemberton membutuhkan uang - itu buruknya - dan Anda bisa menebak alasannya. Dia sakit, kecanduan, dan tidak punya uang. 

Dia tidak pernah mampu mengatasi kecanduan morfinnya, dan dia meninggal di tahun yang sama, pada usia lima puluh tujuh, dalam kondisi sakit yang parah. Tidak heran, jika Anda pergi ke Museum Coca-Cola di Atlanta, cerita jorok ini tidak akan ditemukan di mana pun.

Share:

Membaca dan Menulis: Sebuah Personal Account

Oleh : Azyumardi Azra
Cendekiawan Muslim, Sejarawan Islam Indonesia

Bagi saya, buku merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan saya, sejak kecil—ketika mulai bisa membaca—sampai sekarang ini dan seterusnya. Dan tidak ragu buku merupakan salah satu sumber terpenting dalam pembentukan pandangan dunia (world-view) cara berpikir, karakter dan tingkah laku sehari-hari.

Buku bagi saya teman setia, yang selalu mendampingi atau ikut bersama saya; di rumah, dan diperjalanan. Dan ketika di perjalanan baik di dalam maupun di luar negeri, mencari dan membeli buku selalu menjadi agenda penting, yang selalu diusahakan untuk memenuhinya. Waktu kembali ke rumah, koper dan tas hampir selalu dipenuhi buku-buku dan bisa dipastikan, koleksi buku saya selalu bertambah.

Saya tidak ingin mengibaratkan—apalagi menyamakan buku sebagai "istri kedua." Tentu saja cinta kepada istri berbeda dengan cinta kepada buku, tetapi cinta kedua-duanya sama-sama saya cintai pada level yang berbeda. Cinta kepada sang istri tidak bisa diganti cinta kepada buku; dan sebaliknya cinta kepada buku tidak bisa diganti cinta kepada istri. Namun saya takut kehilangan salah satunya, apalagi kedua-duanya.

Yang jelas saya sangat cinta kepada buku; selalu ingin buku koleksi saya tetap utuh, tidak ada satu pun yang hilang atau rusak dimakan rayap, terkena air dan sebagainya. Saya selalu wanti-wanti kepada kawan-kawan yang meminjam buku saya agar buku yang mereka pinjam tidak hilang. Bagi saya lebih baik kehilangan uang dari pada buku; uang bisa dicari, tetapi buku belum tentu dapat gantinya, apalagi yang diterbitkan bertahun-tahun silam. Buku terbitan Indonesia umumnya hanya sampai cetakan pertama, jarang ada cetakan kedua, dan seterusnya. Tidak banyak buku cetakan dan terbitan Indonesia yang tersimpan di perpustakaan; meski ada kewajiban penerbit untuk mengirim dan menyimpan buku-buku yang mereka terbitkan di Perpustakaan Nasional, tidak banyak penerbit yang melakukan kewajiban ini.

Sebaliknya, jika buku terbitan luar negeri hilang mencari gantinya juga tidak mudah. Kemungkinan besar, kopinya ada ditoko-toko buku "used books" atau "antique books" atau di perpustakaan. Tetapi, tentu saja selain harga buku itu mahal, juga tidak setiap waktu kita bisa pergi ke luar negeri. Kita atau setidaknya saya harus menunggu undangan untuk mengikuti acara tertentu di luar negeri. Kalaupun ada kesempatan ke luar negeri tidak menjamin bahwa kita dapat mencari ganti buku yang hilang itu, karena tidak ada atau sempitnya waktu untuk pergi ke toko buku dengan koleksi khusus, atau ke perpustakaan mungkin memiliki kopi buku yang kita cari.

Mengoleksi Buku

Koleksi buku di perpustakaan pribadi saya sekarang ini berkisar antara 12.000 sampai 15.000 judul. Saya sulit mengetahui jumlah pastinya, karena tidak ada catatan judul-judul buku itu, apa lagi katalog. Sekitar 1995 lalu sebuah badan riset Islam yang bercita-cita membangun library on line koleksi-koleksi pribadi pernah mencoba mencatat judul-judul buku itu hanya tahan beberapa hari. Saya tidak tahu apakah karena selain capek, ia atau lembaganya punya alasan tambahan untuk meninggalkan proyek library on line tersebut.

Jadi sampai sekarang selain tidak tahu pasti jumlah buku yang saya miliki, juga tidak ada katalognya. Buku-buku ini sebagian besar disimpan di rumah pribadi saya, yang cukup besar dan bertingkat dua, dan lorong pintu samping. Sekitar seperempat koleksi saya terletak di bagian ini; dan setengahnya adalah buku-buku yang paling sering digunakan untuk menulis makalah, artikel, kolom, dan sebagainya.

Sekitar dua perempat koleksi buku saya terdapat di lantai dua, memenuhi ruang tengah dan kamar besar lainnya. Buku-buku di ruang tengah umumnya buku-buku yang juga paling sering digunakan untuk rujukan sehari-hari, sedangkan di kamar besar sebagian besar adalah buku-buku klasik dalam berbagai bidang; dan juga kumpulan makalah dan sumber lain yang tidak diterbitkan.

Seperempat koleksi saya lainnya terletak di kantor rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagian besar koleksi ini adalah buku-buku kontemporer, yang saya gunakan untuk menulis di kantor, ketika tidak ada rapat dan tidak ada tamu. Saya memang biasa menulis di sela-sela berbagai kegiatan; interupsi-interupsi karena kegiatan-kegiatan tersebut; tidak membuat saya kehilangan jejak dalam memulai, melanjutkan, dan menyelesaikan sebuah tulisan.

Tidak adanya daftar buku, apalagi katalog, dan terpencar-pencarnya seluruh koleksi itu di tiga tempat, membuat saya sering sangat sulit menemukan buku-buku tertentu yang saya butuhkan pada waktu tertentu. Ingatan saja, tidak cukup membantu saya dalam topik atau subyek tertentu yang ada dalam koleksi saya; dan lebih jauh lagi; di mana persisnya lokasi buku-buku itu. Kalau ada di rumah, di lantai berapa, dan di rak bagian mana. Sering sekali saya akhirnya gagal menemukan buku-buku yang saya perlukan itu, padahal saya yakin punya buku tersebut. Tetapi di mana buku itu menyelip?

Karena itulah dalam beberapa tahun terakhir ini saya berpikir untuk membangun gedung perpustakaan khusus yang bisa menampung seluruh koleksi ini. Saya membayangkan, gedung perpustakaan itu terletak di lingkungan kampus UIN, tetapi bukan milik UIN karena itu bisa berarti saya menyalahgunakan wewenang dengan "memanfaatkan" fasilitas UIN. Gedung perpustakaan yang saya bayangkan itu, idealnya terletak dalam kompleks lembaga penelitian yang independen dan tidak punya hubungan struktural dan formal dengan UIN; tetapi perpustakaan dan lembaga penelitian itu bisa dimanfaatkan kalangan UIN dan pihak-pihak lain yang ingin melakukan kajian-kajian, dan penelitian.

Di lihat dari disiplin ilmu, sekitar sepertiga koleksi ini berkenaan dengan sejarah mulai dari periwayatan sejarah, teori-teori dan filsafat sejarah sampai kepada historiografi baik berkaitan dengan sejarah Islam maupun sejarah universal, sepertiga berikutnya berkisar tentang politik, dan sepertiga sisanya termasuk ke dalam bidang antropologi, sosiologi, hukum, pendidikan, dan lain-lain.

Dilihat dari segi bahasa, hampir dua pertiga koleksi saya adalah buku-buku berbahasa Inggris, kemudian sisanya berbahasa Indonesia dan bahasa Arab. Buku-buku berbahasa Arab umumnya menyangkut sejarah dan pendidikan; sedikit sekali tentang aspek doktrinal Islam, seperti tafsir, syariat, fikih, ushuluddin, dan lain-lain. Hal ini mudah dipahami karena di bidang saya adalah sejarah dengan penekanan khusus pada sejarah sosial-intelektual masyarakat Muslim, bukan pada bidang teologi dan doktrinal Islam.

Terakhir dilihat dari sudut kawasan (area studies), sebagian besar koleksi berkenaan dengan wilayah Timur Tengah dan Asia Tenggara. Hal ini juga tidak mengherankan karena bidang pokok saya adaalh kajian perbandingan (comparative study) antara kawasan Muslim Timur Tengah dengan Asia Tenggara. Dan ini juga berkaitan dengan training akademis yang saya tempuh. Pertama Master of Arts (MA) dalam kajian Islam Timur Tengah dari Department of Middle Eastern Languages and Cultural, Columbia University; dan kedua, MA, Master of Philoshophy (Mphil) dan Psilosophical Doctorale (PhD) dalam bidang sejarah (sosial intelektual) Islam Asia Tenggara dari Department of History, Columbia University.

Pengembangan koleksi seperti itu bermula sejak saya kuliah tingkat sarjana Muda (BA) dan doktoral (Drs) pada Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarid Hidayatullah Jakarta (1976-1982). Kegiatan saya di samping kuliah sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Senat Mahasiswa dan wartawan majalah Panji Masyarakat (1979-1985), mendorong saya untuk mulai membeli dan mengoleksi buku-buku. "Intelectual Community " Ciputat yang sedang bertumbuh pesat ikut mendorong saya membaca lebih banyak buku. Begitu punya kegiatan jurnalistik yang saya pegangi sebagai transisi intelektualisme, dan keterlibatan saya dalam diskusi mingguan yang dipimpin Mas Dawam Rahardjo di LP3ES, juga semakin membuat saya terdorong memiliki buku-buku. Berkat gaji saya di Panji Masyarakat dan honor dari artikel-artikel saya yang dimuat Harian Merdeka, Kompas, saya dapat meningkmati kemewahan yang sulit diperoleh anak muda lainnya; yaitu punya uang untuk beli buku-buku yang tentu saja jauh dari jangkauan kebanyakan bukan hanya anak muda/mahasiswa, bahkan bagi sebagian rakyat Indonesia.

Penambahan koleksi buku saya secara signifikan berlangsung antara 1986-1993, ketika saya belajar di Columbia University. Semua orang yang pernah belajar di luar negeri pasti mengalami dan mafhum, bahkan tidak mungkin membeli banyak buku dari beasiswa yang jumlahnya pas-pasan. Tetapi, saya beruntung kuliah di Columbia University yang terletak di Upper Westside belantara beton Manhattan, yang dalam pengalaman saya merupakan "surga dunia" bagi para pencinta buku (book lovers).

Pertama, New York City punya banyak toko buku yang menjual "used books" atau "reviewer copies" seperti Strand Bookstores, Barnes & Noble dan toko-toko buku lainnya, yang menjual buku-buku baru dan lama dengan harga sangat murah setengah dolar sampai sekitar sepuluh dolar. Kedua, banyaknya pedangang kaki lima sepanjang Broadway yang menjual buku-buku dengan harga murah. Yang diperlukan hanya kerajinan menyusuri Broadway—bukan untuk menonton Broadway Show yang merupakan salah satu "trademark" New York City—tetapi untuk melihat dan membeli buku-buku yang digelar para pedagang di trotoar atau emperan toko. Ketiga, adanya kedai atau tempatnya ruang khusus Butler Library Columbia University dan/atau Barnard College yang menjual "extra copies" (kopi lebih dan buku-buku lain yang dipandang pustakawan tidak perlu lagi disimpan di perpustakaan karena hanya membuat sempit). Buku-buku di sini juga dijual dengan harga sangat murah. Saya pernah membeli buku kumpulan tulisan C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften ( 6 Jilid), hanya dengan harga enam dolar.

Demikian, sejak datang ke New York City pada 1996, saya mulai mengoleksi buku; berburu buku ke tempat-tempat yang saya sebutkan di atas. Hasilnya, kamar sewaan yang kecil di lingkungan kampus penuh sesak dengan buku; dan secara reguler saya mengirimkan buku-buku tersebut dengan perusahaan kargo, yang langsung mengantarkan ke rumah saya di Pisangan, Cirendeu. Akhirnya setelah selesai PhD pada 1992, saya mengirim dua truk buku ke rumah.

Koleksi saya juga mencakup, buku-buku dan naskah berbahasa Arab yang saya perolah ketika saya melakukan penelitian untuk disertasi di Kairo dan Mekkah-Madinah selama enam bulan pada 1990-1991. Melanjutkan penelitian ke Belanda koleksi saya bertambah dengan fotokopi dan naskah klasik. Di Belanda dan juga di Inggris—ketika saya melakukan post-doctoral fellowship di Oxpord University pada 1994-1995—tentu saja juga terdapat toko buku used books dan antique books, tetapi harganya sangat mahal, karena buku-buku itu mereka kategorikan sebagai "rare books ", buku-buku langka yang sudah tidak dicetak atau diterbitkan lagi.

Koleksi buku saya terus bertambah setelah kembali secara permanen ke tanah air dan sepenuhnya mengabdi di kampus, mengelola penerbitan jurnal Studia Islamika (tiga bahasa, Inggris, Arab, dan Indonesia), sejak akhir 1993 dan Lembaga Penelitian, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM). Berkat undangan-undangan untuk menyajikan makalah di berbagai konprensi seminar, workshops, di luar negeri yang semakin sering saya terima, maka saya dapat terus meng-update koleksi buku saya. Dengan demikian, saya senantiasa dapat memiliki buku-buku baru.

Dengan penambahan koleksi secara terus-menerus bisa dibayangkan hampir seluruh ruangan di rumah saya—kecuali ruang tengah di lantai satu dan kamar-kamar tidur—dipenuhi lemari-lemari buku. Saya beruntung punya istri yang tidak pernah komplain bahwa rumah kami dipenuhi buku-buku, ia juga tidak kompalin karena saya terus-menerus menambah koleksi buku saya, khususnya ketika pulang dari luar negeri. Saya kira tanpa pengertian sang istri, maka sulit bagi saya untuk mengembangkan koleksi buku saya.

Membaca Buku

Saya mulai bisa membaca huruf ketika saya belum masuk SD di kampung saya di Lubuk Alung, Sumatra Barat. Saya belajar membaca nama-nama bus antar-kota yang melintas dan berhenti di depan rumah saya di pinggir jalan raya propinsi yang menghubungkan kota Padang dengan Padang Panjang dan Bukittinggi. Setelah bisa mengeja huruf dan membaca kalimat-kalimat lengkap, saya mulai membaca potongan-potongan surat kabar bekas yang digunakan sebagai pembungkus. Hasilnya ketika saya masih SD pada 1963 saya sudah sangat lancar membaca buku dan koran.

Keluarga saya adalah keluarga sederhana, yang sama sekali tidak kaya. Abak (ayah) saya mula-mula bekerja sebagai tukang kayu dan tukang batu; kemudian sejak 1970-an menjadi pedagang kopra dan cengkeh secara kecil-kecilan. Amak (ibu) saya adalah guru agama, yang diangkat menjadi guru agama melalui UGA (Ujian Guru Agama) yang diperkenalkan Menteri Agama Muhammad Dahlan, pada akhir 1960-an. Amak adalah tamatan al-Manar, sebuah sekolah modernis—di negeri asalnya Kampung Dalam Pariaman. Amak adalah anak seorang ulama terkemuka di Kampung Dalam.

Meski keluarga kami hanyalah keluarga sederhana, tetapi Abak dan Amak sangat sadar tentang pentingnya ilmu. Walau keadaan ekonomi keluarga kami kadang-kadang sangat sulit, pendidikan menjadi prioritas pokok. Saya bersama lima kakak dan adik kandung semuanya pada akhirnya menjadi sarjana. Abak dan Amak saya juga menyekolahkan dua kakak saya seayah. Kemudian, masih ada dua kakak laki-laki sepupu yang yatim piatu sejak kecil yang berkat Abak dan Amak berhasil masing-masing berhasil memperoleh gelar sarjana muda ekonomi dan insinyur pertanian.

Sebagai guru, Amak memiliki sejumlah buku yang jumlahnya tidak banyak yang terdiri dari buku-buku agama yang digunakannya untuk mengajar dan beberapa buku lain, khususnya karya sastra Pujangga Baru di antaranya yang saya baca termasuk, Salah Asuhan, (karya A. Moeis), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (Hamka dan lain-lain). Pada waktu SD ini saya juga membaca banyak buku cerita klasik seperti Sekali Tepuk Tujuh Nyawa, Musang Berjanggut, atau karya-karya penulis-penulis Utay Tatang Sontani Taguan Harjo dan lain-lain.

Setelah tamat SD pada 1969 dan melanjutkan sekolah ke PGAN 6 Tahun Padang, hobi membaca saya semakin meningkat. Membaca koran Haluan, Singgalang dan Angkatan Bersenjata sudah menjadi kebutuhan dan kebiasaan sehari-hari. Dengan membaca koran-koran ini pengetahuan umum saya terus bertambah; minat pada tema-tema sosial kemasyarakatan dan politik semakin menguat; yang pada gilirannya mempengaruhi secara signifikan kecenderungan intelektual saya dalam perjalanan hidup selanjutnya.

Minat baca saya pada karya-karya sastra juga berkembang luas selama 6 tahun belajar di Padang. Saya membaca banyak novel, kumpulan cerpen, puisi, dan tidak kurang pentingnya, cergam (cerita bergambar, dan cerita-cerita silat khususnya karya Kho Ping Ho. Bagi saya karya-karya Kho Ping Ho memiliki daya tarik tersendiri. Umumnya karya penulis ini adalah cerita tentang dunia kangow, dunia persilatan, yang penuh pergumulan dan pertarungan antara kekuatan-kekuatan baik melawan kekuatan-kekuatan jahat. Di tengah pertarungan kedua kekuatan yang bertarung ini terselip kisah-kisah percintaan yang romantis.

Bagi saya Kho Ping Ho lebih dari penulis-penulis lain dalam geure sastranya. Karya-karyanya yang satu judul bisa terdiri dari 20-30-an jilid mengandung banyak nilai etis, filosofis dan kemanusiaan universal. Misalnya tidak mudah menegakkan kebenaran karena banyak halangan dan tantangan yang dihadapi para pejuang dan pembela kebenaran. Kekuatan fisik dan keahlian dalam silat saja tidak cukup untuk menegakkan kebenaran menghancurkan kejahatan; perlu keyakinan, perlu semangat yang tidak kunjung padam, dan perlu kesabaran. Dan banyak lagi pesan-pesan moral dan etis yang disajikan Kho Ping Ho secara cukup tipikal, tanpa harus terkesan menggurui apalagi mendikte para pembacanya.

Selama di kota Padang saya membaca karya-karya Kho Ping Hood an novel-novel di kedai buku sewaan yang terletak di dalam lingkungan Bioskop Raya. Para pembaca bisa menyewa dan membaca di kedai itu atau membawa buku-buku sewaan itu ke rumah dengan meninggalkan sejumlah uang sebagai jaminan. Saya melakukan keduanya yaitu membaca selama berjam-jam di kedai buku sewaan itu atau sekali-sekali membawanya pulang.

Hobi saya membaca karya-karya sastra—novel, puisi, dan cerita-cerita Kho Ping Hoo—mendorong berkembangnya bakat sastra saya. Selanjutnya ketika melanjutkan pendidikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta (1976-1982 ), saya menulis sejumlah sajak baik dalam bahasa Indonesia maupun bahas Inggris. Sajak-sajak berbahasa Indonesia saya belum pernah diterbitkan, masih tersimpan dalam buku-buku tulis dan catatan; sedangkan beberapa sajak berbahasa Inggris dimuat dalam koran berbahasa Inggris, The Indonesian Times sepanjang akhir 1980-an. Selain itu, saya juga menulis cerpen—khususnya cerpen anak-anak—yang beberapa di antaranya dimuat dalam lembaran anak dan remaja majalah Panji Masyarakat.

Bagi saya, karya-karya sastra memiliki makna dan fungsi tersendiri. Saya merasa, membaca karya-karya sastra membuat menusia lebih human, lebih manusiawi, lebih arif memahami masalah-masalah dan sekaligus misteri-misteri anak manusia. Pandangan saya ini semakin menguat ketika meneliti dan membaca sastra-sastra sufistik untuk kepentingan studi lanjutan saya di Columbia University. Sastra sufistik mencerminkan pengembaraan intelektual dan religius dalam pencaharian panjang yang tak pernah berakhir di kalangan anak manusia untuk mencapai "kesempurnaan ruhani".

Akan tetapi, harus saya "sesali" minat dan bakat sastra tidak berkembang lebih jauh. Sejak tahun kedua saya di Ciputat (1977), di samping kuliah, saya mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, pertama kali di Himpunan Islam (HMI), sampai menjadi Ketua Umum HMI Cabang Ciputat (1982-1983) dan Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah (1979-1981). Keterlibatan saya dalam kancah intelektualisme dan gerakan mahasiswa membuat saya harus lebih banyak membaca literatur, khususnya tentang isu-isu modernisasi, modernitas, sekularisme, sekularisasi dalam hubungannya dengan pembangunan yang tengah menemukan momentumnya di bawah kendali rezim Orde Baru. Secara khusus, saya memberi banyak perhatian pada literatur tentang implikasi dan konsekuensi semua perkembangan ini terhadap kehidupan dan masa depan agama.

Seperti saya singgung sedikit di depan, pada akhir 1970-an dan awal 1980-an di lingkungan Kampus IAIN Ciputat tengah berlangsung dinamika intelektual yang berkecambah menjadi intellectual community. Sedikit ada tiga faktor yang mendorong perkembangan ini. Pertama, faktor Profesor Harun Nasution sebagai Rektor IAIN Jakarta yang terus-menerus mengembangkan teologi "rasional" secara institusional melalui berbagai matakuliah di IAIN. Kedua, faktor Nurcholish Madjid yang menjadi figur ideal anak-anak HMI Ciputat dengan gagasan-gagasan pembaharuannya. Dan ketiga, faktor M. Dawam Rahardjo, dengan gagasan kritisnya terhadap pembangunan ekonomi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.
Bersama-sama kawan senior dan seangkatan seperti Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Kurniawan Zulkanaen, Hari Zamharir, Hadimulyo, Iqbal Abdurrauf Saimima (alm), Pipip Ahmad Rifai, dan lain-lain, saya terlibat dalam lingkaran ketiga tokoh yang saya sebutkan di atas. Terutama dari lingkaran pertama dan ketiga, kami terlibat dalam diskusi dan pembahasan intensif tentang berbagai subyek, mulai dari teologi, pembaharuan pemikiran dan gerakan Islam, sampai kepada teori-teori tentang negara developmentalism, hubungan dan dinamika centerperiphery, dan peace research. Dari diskusi-diskusi dan tugas-tugas membaca buku—terutama ditugaskan Mas Dawam—lahir makalah-makalah, artikel-artkel yang dipublikasikan dalam media nasional. Dari sini pula muncul buku-buku yang ditulis secara bersama-sama dalam bentuk antalogi seperti seperti Insan Kamil: Konsepsi Islam tentang Manusia (Grafitis Pers, 1982) dan Pesantren: Pembangunan dari Bawah (Perhipunan Perkembangan Pesantren dan Masyarakat, 1983), yang keduanya dieditori Mas Dawam.

Saya sendiri membentuk kelompok kecil calon penulis—baik mahasiswa maupun mahasiswi—yang secara intensif mendapat tugas membaca buku-buku tertentu. Masing-masing mereka wajib menulis artikel yang diproyeksikan untuk dimuat di koran-koran nasional. Tetapi juga ada yang menulis cerpen. Semua artikel ini kemudian disetorkan kepada saya, untuk saya periksa baik substansi maupun bahasanya. Setelah saya beri catatan perbaikan, artikel-artikel itu dikembalikan kepada penulisnya masing-masing untuk disempurnakan, dan kemudian dikembalikan lagi kepada saya untuk penilaian dan periksaan ulang. Setelah saya pandang cukup memadai, barulah kemudian dikirimkan ke koran-koran atau majalah. Setahu saya, sebagian besar karya mereka tersebut dimuat di berbagai media cetak.

Saya kemudian tidak bisa melanjutkan usaha di atas. Karena setelah sempat sebentar bekerja di Lembaga Riset dan Kebudayaan Nasional (LRKN) LIPI di bawah pimpinan almarhum Dr. Alfian antara 1983-1985, dan lalu kembali di almamater sebagai dosen tetap sejak akhir 1985, saya selanjutnya pada pertengahan tahun 1986 menuju Carbondale, Illinois untuk pelatihan bahasa Inggris, dan pada awal musim gugur ke kampus Columbia University di Manhattan untuk memulai program MA dalam bidang kajian Timur Tengah sampai kemudian tamat dalam bidang sejarah (1992).

Meski masa awal saya di Columbia University adalah masa sulit, karena beratnya standar akademis salah satu university lvy League ini, saya kemudian sangat beruntung secara akademis. Masa di Columbia University benar-benar merupakan masa belajar secara serius, mengikuti kuliah, membaca dan meneliti literatur yang relevan dengan bidang saya. Saya mengakui tidak benar-benar belajar sebelumnya, ketika di IAIN, karena terlibat dalam banyak kegiatan di luar belajar: aktivitas organisasi ekstra dan intra instituter/universiter, dan menjadi wartawan/redaksi majalah Panji Masyarakat sejak 1979 sampai saya berangkat ke AS.

Training dan independent reading yang saya lakukan selama di kampus Columbia University sangat mempengaruhi kecenderungan akademis-intelektual saya. Ini bisa dilihat dari tulisan-tulisan saya sejak selesai kuliah sampai sekarang; historis, berpijak pada data, kemudian dilandasi atau diperkaya kerangka (framework) dan teori-teori ilmu sosial dan humaniora tertentu. Hampir tidak ada tulisan saya bersifat spekulatif dan reflektif semata-mata.

Bagi saya, membaca dan menulis tidak bisa dipisahkan; membaca, mengendapkan semua yang dibaca, merefleksikan, akhirnya menuliskannya dengan mempertimbangkan konteks dan relevansinya dengan lingkungan sosial yang terus berubah. Membaca dan menulis memerlukan etos, komitmen, dan konsistensi. Terdapat cukup banyak orang di kalangan kita yang rajin membaca, tetapi tidak punya cukup etos dan keterampilan menulis. Ada juga mempunyai keterampilan menulis, tetapi tidak atau kurang memilik etos, komitmen, dan konsistensi baik dalam membaca maupun menulis.

Sejak kuliah di Columbia University, saya sesungguhnya hanya mempunyai sedikit waktu untuk menulis. Sebagian besar waktu saya habis untuk kuliah dan membaca. Selain itu saya juga bekerja sampingan untuk menambah beasiswa yang pas-pasan. Saya pernah bekerja sebagai paiter pada kontraktor housing renovation di Mathattan dan New Jersey; juga sebagai waiter pada social club di Connecticut; dan pada Serial Acquisition, Butter Library, Columbia University. Tetapi di tengah tugas-tugas pokok dan kesibukan lain yang mendesak, selama kuliah di Columbia University selain menghasilkan dua tesis MA dan satu disertasi, saya juga mengedit dan menerjemahkan artikel-artikel yang terkumpul dalam antalogi Perspektif Islam di Asia Tenggara (Yayasa Obor Indonesia, 1988), dan banyak artikel yang di muat harian Kompas, Media Indonesia, majalah Panji Masyarakat, dan lain-lain.

Saya memiliki relatif banyak waktu untuk membaca, melakukan penelitian dan menulis artikel dan makalah-makalah substantif setelah pulang dari New York, sejak 1993 sampai 1997. Dalam posisi sebagai Editor-in-Chiep jurnal Studia Islamika dan Wakil Direktur PPIM, saya belum terlalu sibuk dengan masalah-masalah administratif. Apalagi dalam periode ini, saya menjadi fellow di Oxford University selama setahun (1994-1995). Masa di Oxford ini saya manfaatkan betul untuk melanjutkan bacaan dan penelitian, dengan juga banyak memanfaatkan perpustakaan School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London. Pada masa ini pula saya dapat menyelesaikan makalah atau tulisan panjang yang substantif.

Sejak masa di Oxford, saya sudah sering diundang dalam berbagai konferensi internasional. Meski resminya saya menjadi fellow selama setahun, tetapi saya cukup sering pergi ke mana-mana menyampaikan makalah. Karena itu beberapa kawan di Oxford menjuluki saya "Ibn Batutah" pengembara Muslim yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain.

Pengembaraan saya dari satu konferensi atau seminar ke konferensi atau seminar lain di luar negeri khususnya, terus berlanjut setelah saya menjadi Rektor IAIN Jakarta (1998-2002) dan Rektor UIN (2003-sekarang). Tugas-tugas administratif sebagai rektor jelas menyita waktu, apalagi memikul amanat khusus untuk perubahan IAIN menjadi UIN, yang melakukan pembangunan kembali kampus IAIN/UIN Jakarta secara keseluruhan, yang alhamdullilah pada 2004 selesai.

Meski demikian, saya menulis cukup banyak makalah substantif, yang sebagiannya diolah kembali menjadi buku utuh, salah satunya Renaissans Islam di Asia Tenggara (Rosda, 1999) memperoleh penghargaan Buku Utama 1999 dalam bidang Humaniora dan Ilmu Sosial dari Yayasan Buku Utama. Dalam kesepakatan 30 tahun Mizan, saya bahkan dianugrahi award sebagai penulis paling produktif. Memang selama periode 1998-2003, saya meluncurkan 14 buku, belum termasuk artikel atau bab-bab tertentu yang diterbitkan di luar negeri. Tahun 2004 ini, edisi revisi disertai saya diluncurkan Asian Studies Association of Australia dan penerbit Allen, Edwin.
Secara retrospektif, apa yang saya hasilkan dari pembacaan dan penulisan masih jauh dari pada maksimal. Keterbatasan waktu membuat saya lebih sering membaca dam menulis di mana saja, di atas mobil, di hotel, di sela-sela seminar dan seterusnya. Saya hanya bisa berharap, kelak saya tetap bisa membaca dan menulis dan, dengan demikian, membagi ilmu perspektif dengan anak-anak bangsa.

Sumber: 
St. Sularto (ed.), Bukuku Kakiku, Jakarta: Gramedia, 2004

Share:

Disiplin Sun Tzu


Di pondok-pondok pesantren, kita juga mengajarkan dan menjalankan disiplin. Tak ada pendidikan tanpa pengajaran disiplin. Bahkan tiada hidup tanpa disiplin yang baik. Kegiatan sejak bangun hingga tidur lagi, penuh dengan disiplin. 

Tapi, tak jelas betul, dari mana asal-muasal disiplin? Namun, dlm catatan sejarah, Sun Tzu yg lahir 544 tahun sebelum Masehi termasuk salah seorang peletak dasar kedisiplinan. Ahli strategi ini dikenal dengan karyanya, The Art of War, Seni Berperang.

Sebagai seorang panglima Kerajaan Dinasti Ming, Tiongkok, dia mendapat perintah dari sang Kaisar untuk mendisiplinkan semua pegawai kerajaan. Sun Tsu menyanggupi dengan syarat semua orang harus ikut aturannya, tidak terkecuali sang Kaisar, dan Kaisar pun menyetujui syarat Sun Tzu.

Disuatu pagi, di halaman istana Sun Tzu memerintahkan semua peserta membentuk barisan dengan memisahkan barisan lelaki dan barisan perempuan. Untuk beberapa barisan perempuan masing-masing diketuai oleh gundiknya Kaisar.

Setelah semua peserta dianggap memahami penjelasan Sun Tzu, sekarang dia memberitahukan bahwa latihan DISIPLIN akan dimulai dan meminta semua peserta mengikutinya dengan sungguh-sungguh serta akan menjatuhkan hukuman bagi yang mengabaikan perintahnya.

"Perhatian, setelah aku memberi aba-aba dengan Memukul gendang yang kupegang ini, maka kalian semua harus mengikuti gerakan-gerakan yang sudah aku instruksikan."

Sun Tzu mulai memberi aba-aba dengan memukul-mukul gendangnya.

Pada aba-aba pertama, beberapa gundik Kaisar dan peserta lainnya masih terlihat tertawa-tawa dan belum melakukan gerakan sesuai yang diinginkan.

"Perhatian, untuk semua" kata Sun Tzu. "Kalian tidak sunggu-sunggu mengikuti aba-abaku. Tapi karena kalian mungkin masih belum terbiasa, maka aku maafkan," kata Sun Tzu.

"Sekarang, mulai..!!!" instruksi Sun Tzu sambil menabuh genderangnya.

Pada instruksi kedua, beberapa gundik Kaisar terlihat masih ada yang tertawa-tawa. Sun Tzu menatap mereka dengan pandangan yang tajam.

"Baiklah. Pada instruksiku yang ketiga ini, aku akan benar-benar  akan menjatukan hukuman bagi yang tidak mengindahkan instruksiku." Kata Sun Tzu, mengancam.

Sun Tzu kembali menabuh gederangnya. Pada instruksi yang ketiga, dua orang gundik Kaisar telah melakukan gerakan tetapi masih sambil tertawa-tawa geli.

"Baiklah, karena kalian berdua tidak mengikuti perintahku dengan sungguh-sungguh, maka sebagai hukumannya kepala kalian berdua akan aku penggal," kata Sun Tzu dengan nada dingin.

Para gundik Kaisar terkejut mendengar ancaman Sun Tzu, lalu mereka melaporkan hal itu kepada Kaisar dan memohon agar mereka berdua diampuni. Lalu kaisar  pun mendatangi Sun Tzu agar membatalkan ancamannya, namun dia menolak permintaan Kaisar.

"Tidak ada toleransi bagi pelanggar disiplin," katanya.

DISIPLIN BUKAN KETURUNAN
DISIPLIN HARUS DIBENTUK.

Ya benar. 
Disiplin harus dibentuk lewat PEMBIASAAN (Habit), agar ia menjadi BUDAYA (KULTUR). Saat itulah tugas2 dan kewajiban akan dapat dilakukan dengan mudah bahkan  menyenangkan.

Itulah hikmah dari tuntunan Rasulullah Saw bahwa sebaik-baiknya suatu amal adalah sedikit (kecil) tapi terus dilakukan secara kontinyu.

Itulah sasaran dan tahapan dalam setiap bentuk pendidikan, yakni informatif, motorik dan afektif.

~Cak AT
Ma'had Tadabbur al-Qur'an
Share:

Doa Kekuasaan

Allah berfirman di dalam al-Quran, ayat 80 surah al-Israa (17), yang merupakan doa utk meraih kekuasaan:

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَقُلْ رَّبِّ اَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَّاَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِّيْ مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطٰنًا نَّصِيْرًا ٨٠

Katakanlah (Nabi Muhammad), "Ya Tuhanku, masukkan aku (ke tempat dan keadaan apa saja) dengan cara yang benar, keluarkan (pula) aku dengan cara yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(-ku)

Ketika Pak SBY dulu pertama kali mau dicapreskan, sy mendapat pesan dari pak Kyai Idris Djauhari, pengasuh Ponpes al-Amien Prenduan Madura. Beliau meminta saya menyampaikan satu doa, yg bunyinya tak lain ayat 80 surah al-Israa' ini.

Saya pun menyampaikan pesan itu kpd pak SBY via Pak Dr. Mubarak, kawan di Univ Assyafiiyah. Pak Kyai Idris menambahkan pesannya bhw, arti kata _sulthanan nashiran_ (سلطان نصيرا) di ayat tersebut adalah suatu "kekuasaan yang menolong agama Allah, dan yang ditolong oleh Allah Swt". Jadi, kalau kita berkuasa, lalu kekuasaan itu kita gunakan utk menolong agama Allah, maka pasti kita akan ditolong oleh Allah.

Selain itu, bentuk kata _nashir_ yg berpola kata (wazan) فعيلا, itu berarti sesuatu yg intens, sangat dalam, sungguh2, dan terus-menerus. Ini sama dg kata _rahim_ (رحيم). Jadi, _nashir_ artinya, kita menolong agama Allah melalui kekuasaan, dg sungguh2, berkualitas, dan dilakukan secara intens, penuh perhatian, serta secara terus-menerus.
Share:

Dua Ayat Memuat Seluruh Huruf Hijaiyah

Terdapat dua ayat yang memuat seluruh huruf Hijaiyah Bahasa Arab, yaitu ayat 154 dari surah Aalu 'Imran dan ayat 29 dari surah al-Fath.

هناك آيتان اشتملتا على جميع الحروف العربية.

********************** الأول *********************

الآية الـ154 من سورة آل عمران، وهي قوله تعالى:

(ثم أنزل عليكم من بعد الغم أمنة نعاساً يغشى طائفةً منكم
وطائفة قد أهمتهم أنفسهم يظنون بالله غير الحق ظن الجاهلية
يقولون هل لنا من الأمر من شيء قل إن الأمر كله لله يخفون في أنفسهم ما لايبدون لك يقولون لو كان لنا من الأمرشيءٌ ما قتلناَهَاهنا قل لو كنتم في بيوتكم لبرز الذين كتب عليهم القتل إلى مضاجعهم وليبتلىَ الله ما في صدوركم وليمحص ما في قلوبكم والله عليم بذات الصدور)

********************** الثاني *********************

الآية الـ29 من سورة الفتح، وهي قوله تعالى:

(مُحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وَجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً)

والله أعلم بالصواب
Share:

Kasidah al-Burdah Karya Syeikh al-Bushiri

أَمِنْ تَذَكُّرِ جِيْرَانٍ بِذِيْ سَلَمِ * مَزَجْتَ دَمْعًا جَرَى مِنْ مُقْلَةٍ بِدَمِ
أَمْ هَبَّتِ الرِّيْحُ مِنْ تِلْقَاءِ كَاظِمَةٍ * وَأَوْمَضَ الْبَرْقُ فِي الظَّلْمَاءِ مِنْ اِضَمِ
فَمَا لِعَيْنَيْكَ اِنْ قُلْتَ اكْفُفَا هَمَتَا * وَمَا لِقَلْبِكَ اِنْ قُلْتَ اسْتَفِقْ يَهِمِ
أَيَحْسَبُ الصَّبُّ أَنَّ الْحُبَّ مُنْكَتِمٌ * مَا بَيْنَ مُنْسَجِمٍ مِنْهُ وَمُضْطَرِمِ
لَوْلَا الْهَوَى لَمْ تُرِقْ دَمْعًا عَلَى طَلَلٍ * وَلَا أَرِقْتَ لِذِكْرِ الْبَانِ وَالْعَلَمِ
فَكَيْفَ تُنْكِرُ حُبًّا بَعْدَ مَا شَهِدَتْ * بِهِ عَلَيْكَ عُدُوْلُ الدَّمْعِ وَالسَّقَمِ
وَأَثْبَتَ الْوَجْدُ خَطَّيْ عَبْرَةٍ وَضَنَى * مِثْلَ الْبَهَارِ عَلَى خَدَّيْكَ وَالْعَنَمِ
نَعَمْ سَرَى طَيْفُ مَنْ أَهْوَى فَأَرَّقَنِيْ * وَالْحُبُّ يَعْتَرِضُ اللَّذَّاتِ بِالْأَلَمِ
يَا لَائِمِيْ فِي الْهَوَى الْعُذْرِيِّ مَعْذِرَةً * مِنِّيْ اِلَيْكَ وَلَوْ أَنْصَفْتَ لَمْ تَلُمِ
عَدَتْكَ حَالِيَ لَا سِرِّيْ بِمُسْتَتِرٍ * عَنِ الْوُشَاةِ وَلَا دَائِيْ بِمُنْحَسِمِ
مَحَّضْتَنِي النُّصْحَ لَكِنْ لَسْتُ أَسْمَعُهُ * اِنَّ الْمُحِبَّ عَنِ الْعُذَّالِ فِيْ صَمَمِ
اِنِّي اتَّهَمْتُ نَصِيْحَ الشَّيْبِ فِيْ عَذَلِي * وَالشَّيْبُ أَبْعَدُ فِيْ نُصْحٍ عَنِ التُّهَمِ
فَاِنَّ أَمَّارَتِيْ بِالسُّوْءِ مَا اتَّعَظَتْ * مِنْ جَهْلِهَا بِنَذِيْرِ الشَّيْبِ وَالْهَرَمِ
وَلَا أَعَدَّتْ مِنَ الْفِعْلِ الْجَمِيْلِ قِرَى * ضَيْفٍ أَلَمَّ بِرَأْسِيْ غَيْرَ مُحْتَشِمِ
لَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ أَنِّيْ مَا أُوَقِّرُهُ * كَتَمْتُ سِرَّا بَدَا لِيْ مِنْهُ بِالْكَتَمِ
مَنْ لِيْ بِرَدِّ جِمَاحٍ مِنْ غَوَايَتِهَا * كَمَا يُرَدُّ جِمَاحُ الْخَيْلِ بِاللُّجُمِ
فَلَا تَرُمْ بِالْمَعَاصِيْ كَسْرَ شَهْوَتِهَا * اِنَّ الطَّعَامَ يُقَوِّيْ شَهْوَةَ النَّهِمِ
وَالنَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهمِلْهُ شَبَّ عَلَى * حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِِِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ
فَاصْرِفْ هَوَاهَا وَحَاذِرْ أَنْ تُوَلِّيَهُ * اِنَّ الْهَوَى مَا تَوَلَّى يُصْمِ أَوْ يَصِمِ
وَرَاعِهَا وَهْيَ فِي الْأَعْمَالِ سَائِمَةٌ * وَاِنْ هِيَ اسْتَحْلَتِ الْمَرْعَى فَلَا تُسِمِ
كَمْ حَسَّنَتْ لَذَّةً لِلْمَرْءِ قَاتِلَةً * مِنْ حَيْثُ لَمْ يَدْرِ أَنَّ السُّمَّ فِي الدَّسَمِ
وَاخْشَ الدَّسَائِسَ مِنْ جُوْعٍ وَمِنْ شِبَعٍ * فَرُبَّ مَخْمَصَةٍ شَرٌّ مِنَ التُّخَمِ
وَاسْتَفْرِغِ الدَّمْعَ مِنْ عَيْنٍ قَدِ امْتَلَأَتْ * مِنَ الْمَحَارِمِ وَالْزَمْ حِمْيَةَ النَّدَمِ
وَخَالِفِ النَّفْسَ وَالشَّيْطَانَ وَاعْصِهِمَا * وَاِنْ هُمَا مَحَّضَاكَ النُّصْحَ فَاتَّهِمِ
وَلَا تُطِعْ مِنْهُمَا خَصْمًا وَلَا حَكَمًا * فَأَنْتَ تَعْرِفُ كَيْدَ الْخَصْمِ وَالْحَكَمِ
أَسْتَغْفِرُ اللهَ مِنْ قَوْلٍ بِلَا عَمَلٍ * لَقَدْ نَسَبْتُ بِهِ نَسْلاً لِذِيْ عُقُمِ
أَمَرْتُكَ الْخَيْرَ لَكِنْ مَا ائْتَمَرْتُ بِهِ * وَمَا اسْتَقَمْتُ فَمَا قَوْلِيْ لَكَ اسْتَقِمِ
وَلَا تَزَوَّدْتُ قَبْلَ الْمَوْتِ نَافِلَةً * وَلَمْ أُصَلِّ سِوَى فَرْضٍ وَلَمْ اَصُمِ
ظَلَمْتُ سُنَّةَ مَنْ أَحْيَا الظَّلَامَ اِلَى* أَنِ اشْتَكَتْ قَدَمَاهُ الضُّرَّ مِنْ وَرَمِ
وَشَدَّ مِنْ سَغَبٍ أَحْشَاءَهُ وطَوَى * تَحْتَ الْحِجَارَةِ كَشْحًا مُتْرَفَ الْأَدَمِ
وَرَاوَدَتْهُ الْجِبَالُ الشُّمُّ مِنْ ذَهَبٍ * عَنْ نَفْسِهِ فَأَرَاهَا أَيَّمَا شَمَمِ
وَأَكَّدَتْ زُهْدَهُ فِيْهَا ضَرُوْرَتُهُ * اِنَّ الضَّرُوْرَةَ لَا تَعْدُوْ عَلَى الْعِصَمِ
وَكَيْفَ تَدْعُوْ إِلَى الدُّنْيَا ضَرُوْرَةُ مَنْ * لَوْلَاهُ لَمْ تُخْرَجِ الدُّنْيَا مِنَ الْعَدَمِ
مُحَمَّدٌ سَيِّدُ الْكَوْنَيْنِ وَالثَّقَلَيْنِ * وَالْفَرِيْقَيْنِ مِنْ عُرْبٍ وَمِنْ عَجَمِ
نَبِيُّنَا الْآمِرُ النَّاهِيْ فَلَا أَحَدٌ * أَبَرَّ فِيْ قَوْلِ لَا مِنْهُ وَلَا نَعَمِ
هُوَ الْحَبِيْبُ الَّذِيْ تُرْجَى شَفَاعَتُهُ * لِكُلِّ هَوْلٍ مِنَ الْأَهْوَالِ مُقْتَحَمِ
دَعَا اِلَى اللهِ فَالْمُسْتَمْسِكُونَ بِهِ * مُسْتَمْسِكُوْنَ بِحَبْلٍ غَيْرِ مُنْفَصِمِ
فَاقَ النَّبِيِّيْنَ فِيْ خَلْقٍ وَفِيْ خُلُقٍ * وَلَمْ يُدَانُوْهُ فِيْ عِلْمٍ وَلَا كَرَمِ
وَكُلُّهُمْ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ مُلْتَمِسٌ * غَرْفًا مِنَ الْبَحْرِ أَوْ رَشْفًا مِنَ الدِّيَمِ
وَوَاقِفُوْنَ لَدَيْهِ عِنْدَ حَدِّهِمِ * مِنْ نُقْطَةِ الْعِلْمِ أَوْ مِنْ شَكْلَةِ الْحِكَمِ
فَهْوَ الَّذِيْ تَمَّ مَعْنَاهُ وَصُوْرَتُهُ * ثُمَّ اصْطَفَاهُ حَبِيْبًا بَارِئُ النَّسَمِ
مُنَزَّهٌ عَنْ شَرِيْكٍ فِيْ مَحَاسِنِهِ * فَجَوْهَرُ الْحُسْنِ فِيْهِ غَيْرُ مُنْقَسِمِ
دَعْ مَا ادَّعَتْهُ النَّصَارَى فِيْ نَبِيِّهِمِ * وَاحْكُمْ بِمَا شِئْتَ مَدْحًا فِيْهِ وَاحْتَكِمِ
وَانْسُبْ اِلَى ذَاتِهِ مَا شِئْتَ مِنْ شَرَفٍ * وَانْسُبْ اِلَى قَدْرِهِ مَا شِئْتَ مِنْ عِظَمِ
فَاِنَّ فَضْلَ رَسُوْلِ اللهِ لَيْسَ لَهُ * حَدٌّ فَيُعْرِبَ عَنْهُ نَاطِقٌ بِفَمِ
لَوْ نَاسَبَتْ قَدْرَهُ آيَاتُهُ عِظَمًا * أَحْيَا اسْمُهُ حِيْنَ يُدْعَى دَارِسَ الرِّمَمِ
لَمْ يَمْتَحِنَّا بِمَا تَعْيَا الْعُقُوْلُ بِهِ * حِرْصًا عَلَيْنَا فَلَمْ نَرْتَبْ وَلَمْ نَهِمِ
أَعْيَا الْوَرَى فَهْمُ مَعْنَاهُ فَلَيْسَ يُرَى * فِي الْقُرْبِ وَالْبُعدِ فِيْهِ غَيْرُ مُنْفَحِمِ
كَالشَّمْسِ تَظْهَرُ لِلْعَيْنَيْنِ مِنْ بُعُدٍ * صَغِيْرَةً وَتُكِلُّ الطَّرْفَ مِنْ أَمَمِ
وَكَيْفَ يُدْرِكُ فِي الدُّنْيَا حَقِيْقَتَهُ * قَوْمٌ نِيَامٌ تَسَلَّوْا عَنْهُ بِالْحُلُمِ
فَمَبْلَغُ الْعِلْمِ فِيْهِ أَنَّهُ بَشَرٌ * وَأَنَّهُ خَيْرُ خَلْقِ اللهِ كُلِّهِمِ
وَكُلُّ آيٍ أَتَى الرُّسْلُ الْكِرَامُ بِهَا * فَاِنَّمَا اتَّصَلَتْ مِنْ نُوْرِهِ بِهِمِ
فَاِنَّهُ شَمْسُ فَضْلٍ هُمْ كَوَاكِبُهَا * يُظْهِرْنَ أَنْوَارَهَا لِلنَّاسِ فِي الظُّلَمِ
أَكْرِمْ بِخَلْقِ نَبِيٍّ زَانَهُ خُلُقٌ * بِالْحُسْنِ مُشْتَمِلٍ بِالْبِشْرِ مُتَّسِمِ
كَالزَّهْرِ فِيْ تَرَفٍ وَالْبَدْرِ فِيْ شَرَفٍ * وَالْبَحْرِ فِيْ كَرَمٍ وَالدَّهْرِ فِيْ هِمَمِ
كَأَنَّهُ وَهْوَ فَرْدٌ مِنْ جَلَالَتِهِ * فِيْ عَسْكَرٍ حِيْنَ تَلْقَاهُ وَفِيْ حَشَمِ
كَأَنَّمَا اللُّؤْلُؤُ الْمَكْنُوْنُ فِيْ صَدَفٍ * مِنْ مَعْدِنَيْ مَنْطِقٍ مِنْهُ وَمُبْتَسَمِ
لَا طِيْبَ يَعْدِلُ تُرْبًا ضَمَّ أَعْظُمَهُ * طُوْبَى لِمُنْتَشِقٍ مِنْهُ وَمُلْتَثِمِ
أَبَانَ مَوْلِدُهُ عَنْ طِيْبِ عُنْصُرِهِ * يَا طِيْبَ مُبْتَدَاٍ مِنْهُ وَمُخْتَتَمِ
يَوْمٌ تَفَرَّسَ فِيْهِ الْفُرْسُ أَنَّهُمُ * قَدْ أُنْذِرُوْا بِحُلُوْلِ الْبُؤْسِ وَالنِّقَمِ
وَبَاتَ اِيْوَانُ كِسْرَى وَهْوَ مُنْصَدِعٌ * كَشَمْلِ أَصْحَابِ كِسْرَى غَيْرَ مُلْتَئِمِ
وَالنَّارُ خَامِدَةُ الْأَنْفَاسِ مِنْ أَسَفٍ * عَلَيْهِ وَالنَّهْرُ سَاهِي الْعَيْنِ مِنْ سَدَمِ
وَسَاءَ سَاوَةَ أَنْ غَاضَتْ بُحَيْرَتُهَا * وَرُدَّ وَارِدُهَا بِالْغَيْظِ حِيْنَ ظَمِيْ
كَأَنَّ بِالنَّارِ مَا بِالْمَاءِ مِنْ بَلَلٍ * حُزْنًا وَبِالْمَاءِ مَا بِالنَّارِ مِنْ ضَرَمِ
وَالْجِنُّ تَهْتِفُ وَالْأَنْوَارُ ساطِعَةٌ * وَالْحَقُّ يَظْهَرُ مِنْ مَعْنًى وَمِنْ كَلِمِ
عَمُوْا وَصَمُّوْا فَاِعْلَانُ الْبَشَائِرِ لَمْ * تُسْمَعْ وَبَارِقَةُ الْاِنْذَارِ لَمْ تُشَمِ
مِنْ بَعْدِ مَا أَخْبَرَ الْأَقْوَامَ كَاهِنُهُمْ * بِأَنَّ دِيْنَهُمُ الْمُعْوَجَّ لَمْ يَقُمِ
وَبَعْدَ مَا عَايَنُوْا فِي الْأُفْقِِ مِنْ شُهُبٍ * مُنْقَضَّةٍ وَفْقَ مَا فِي الْأَرْضِ مِنْ صَنَمِ
حَتَّى غَدَا عَنْ طَرِيْقِ الْوَحْيِ مُنْهَزِمٌ * مِنَ الشَّيَاطِيْنِ يَقْفُوْ اِثْرَ مُنْهَزِمِ
كَأَنَّهُمْ هَرَبًا أَبْطَالُ أَبْرَهَةٍ * أَوْ عَسْكَرٌ بِالْحَصَى مِنْ رَاحَتَيْهِ رُمِيْ
نَبْذًا بِهِ بَعْدَ تَسْبِيْحٍ بِبَطْنِهِمَا * نَبْذَ الْمُسَبِّحِ مِنْ أَحْشَاءِ مُلْتَقِمِ
جَاءَتْ لِدَعْوَتِهِ الْأَشْجَارُ ساجِدَةً * تَمْشِيْ اِلَيْهِ عَلَى سَاقٍ بِلَا قَدَمِ
كَأَنَّمَا سَطَرَتْ سَطْرًا لِمَا كَتَبَتْ * فُرُوْعُهَا مِنْ بَدِيْعِ الْخَطِّ فِي الَّلقَمِ
مِثْلَ الْغَمَامَةِ أَنَّى سَارَ سَائِرَةً * تَقِيْهِ حَرَّ وَطِيْسٍ لِلْهَجِيْرِ حَمِيْ
أَقْسَمْتُ بِالْقَمَرِ الْمُنْشَقِّ إِنَّ لَهُ * مِنْ قَلْبِهِ نِسْبَةً مَبْرُوْرَةَ الْقَسَمِ
وَمَا حَوَى الْغَارُ مِنْ خَيْرٍ وَمِنْ كَرَمِ * وَكُلُّ طَرْفٍ مِنَ الْكُفَّارِ عَنْهُ عَمِيْ
فَالصِّدْقُ فِي الْغَارِ وَالصِّدِّيْقُ لَمْ يَرِمَا * وَهُمْ يَقُوْلُوْنَ مَا بِالْغَارِ مِنْ أَرِمِ
ظَنُّوا الْحَمَامَ وَظَنُّوا الْعَنْكَبُوْتَ عَلَى * خَيْرِ الْبَرِيَّةِ لَمْ تَنْسُجْ وَلَمْ تَحُمِ
وِقَايَةُ اللهِ أَغْنَتْ عَنْ مُضَاعَفَةٍ * مِنَ الدُّرُوْعِ وَعَنْ عَالٍ مِنَ الْأُطُمِ
مَا سَامَنِي الدَّهْرُ ضَيْمًا وَاسْتَجَرْتُ بِهِ * اِلَّا وَنِلْتُ جِوَارًا مِنْهُ لَمْ يُضَمِ
وَلَا الْتَمَسْتُ غِنَى الدَّارَيْنِ مِنْ يَدِهِ * اِلَّا اسْتَلَمْتُ النَّدَى مِنْ خَيْرِ مُسْتَلَمِ
لَا تُنْكِرِ الْوَحْيَ مِنْ رُؤْيَاهُ اِنَّ لَهُ * قَلْبًا اِذَا نَامَتِ الْعَيْنَانِ لَمْ يَنَمِ
وَذَاكَ حِيْنَ بُلُوْغٍ مِنْ نُبُوَّتِهِ * فَلَيْسَ يُنْكَرُ فِيْهِ حَالُ مُحْتَلِمِ
تَبَارَكَ اللهُ مَا وَحْيٌ بِمُكْتَسَبٍ * وَلَا نَبِيٌّ عَلَى غَيْبٍ بِمُتَّهَمِ
كَمْ أَبْرَأَتْ وَصِبًا بِاللَّمْسِ رَاحَتُهُ * وَأَطْلَقَتْ أَرِبًا مِنْ رِبْقَةِ اللَّمَمِ
وَأَحْيَتِ السَّنَةَ الشَّهْبَاءَ دَعْوَتُهُ * حَتَّى حَكَتْ غُرَّةً فِي الْأَعْصُرِ الدُّهُمِ
بِعَارِضٍ جَادَ أَوْ خِلْتَ الْبِطَاحَ بِهَا * سَيْبٌ مِنَ الْيَمِّ أَوْ سَيْلٌ مِنَ الْعَرِمِ
دَعْنِيْ وَوَصْفِيَ آيَاتٍ لَهُ ظَهَرَتْ * ظُهُوْرَ نَارِ الْقِرَى لَيْلًا عَلَى عَلَمِ
فَالدُّرُّ يَزْدَادُ حُسْناً وَهْوَ مُنْتَظِمٌ * وَلَيْسَ يَنْقُصُ قَدْرًا غَيْرَ مُنْتَظِمِ
فَمَا تَطَاوُلُ آمَالِ الْمَدِيْحِ اِلَى * مَا فِيْهِ مِنْ كَرَمِ الْأَخْلَاقِ وَالشِّيَمِ
آيَاتُ حَقٍّ مِنَ الرَّحْمَنِ مُحْدَثَةٌ * قَدِيْمَةٌ صِفَةُ الْمَوْصُوْفِ بِالْقِدَمِ
لَمْ تَقْتَرِنْ بِزَمَانٍ وَهْيَ تُخْبِرُنا * عَنِ الْمَعَادِ وعَنْ عَادٍ وعَنْ اِرَمِ
دَامَتْ لَدَيْنَا فَفَاقَتْ كُلَّ مُعْجِزَةٍ * مِنَ النَّبِيِّيْنَ اِذْ جَاءَتْ وَلَمْ تَدُمِ
مُحَكَّمَاتٌ فَمَا تُبْقِينَ مِنْ شُبَهٍ* لِذِيْ شِقَاقٍ وَمَا تَبْغِينَ مِنْ حِكَمِ
مَا حُوْرِبَتْ قَطُّ اِلَّا عَادَ مِنْ حَرَبٍ * أَعْدَى الْأَعَادِيْ اِلَيْهَا مُلْقِيَ السَّلَمِ
رَدَّتْ بَلَاغَتُهَا دَعْوَى مُعَارِضِهَا * رَدَّ الْغَيُورِ يَدَ الْجَانِيْ عَنِ الْحُرَمِ
لَهَا مَعَانٍ كَمَوْجِ الْبَحْرِ فِيْ مَدَدٍ * وَفَوْقَ جَوْهَرِهِ فِي الْحُسْنِ وَالْقِيَمِ
فَمَا تُعَدُّ وَلَا تُحْصَى عَجَائِبُهَا * وَلَا تُسَامُ عَلَى الْاِكْثَارِ بِالسَّأَمِ
قَرَّتْ بِهَا عَيْنُ قَارِيْهَا فَقُلْتُ لَهُ * لَقَدْ ظَفِرْتَ بِحَبْلِ اللهِ فَاعْتَصِمِ
إِنْ تَتْلُهَا خِيْفَةً مِنْ حَرِّ نَارِ لَظَى * أَطْفَأْتَ حَرَّ لَظَى مِنْ وِرْدِهَا الشَّبِمِ
كَأَنَّهَا الْحَوْضُ تَبْيَضُّ الْوُجُوْهُ بِهِ * مِنَ الْعُصَاةِ وَقَدْ جَاؤُوْهُ كَالْحُمَمِ
وَكَالصِّرَاطِ وَكَالْمِيْزَانِ مَعْدِلَةً * فَالْقِسْطُ مِنْ غَيْرِهَا فِي النَّاسِ لَمْ يَقُمِ
لَا تَعْجَبَنْ لِحَسُوْدٍ رَاحَ يُنْكِرُهَا * تَجَاهُلًا وَهْوَ عَيْنُ الْحَاذِقِ الْفَهِمِ
قَدْ تُنْكِرُ الْعَيْنُ ضَوْءَ الشَّمْسِ مِنْ رَمَدٍ * وَيُنْكِرُ الْفَمُ طَعْمَ الْمَاءِ مِنْ سَقَمِ
يَا خَيْرَ مَنْ يَمَّمَ الْعَافُوْنَ سَاحَتَهُ * سَعْيًا وَفَوْقَ مُتُوْنِ الْأَنْيُقِ الرُّسُمِ
وَمَنْ هُوَ الْآيَةُ الْكُبْرَى لِمُعْتَبِرٍ * وَمَنْ هُوَ النِّعْمَةُ الْعُظْمَى لِمُغْتَنِمِ
سَرَيْتَ مِنْ حَرَمٍ لَيْلًا اِلَى حَرَمٍ * كَمَا سَرَى الْبَدْرُ فِيْ دَاجٍ مِنَ الظُّلَمِ
وَبِتَّ تَرْقَى اِلَى أَنْ نِلْتَ مَنْزِلَةً * مِنْ قَابِ قَوْسَيْنِ لَمْ تُدْرَكْ وَلَمْ تُرَمِ
وَقَدَّمَتْكَ جَمِيْعُ الْأَنْبِيَاءِ بِهَا * وَالرُّسْلِ تَقْدِيْمَ مَخْدُوْمٍ عَلَى خَدَمِ
وَأَنْتَ تَخْتَرِقُ السَّبْعَ الطِّبَاقَ بِهِمْ * فِيْ مَوْكِبٍ كُنْتَ فِيْهِ صَاحِبَ الْعَلَمِ
حَتَّى اِذَا لَمْ تَدَعْ شَأْوًا لِمُسْتَبِقٍ* مِنَ الدُّنُوِّ وَلَا مَرْقًى لِمُسْتَنِمِ
خَفَضْتَ كُلَّ مَقَامٍ بِالْاِضَافَةِ اِذْ * نُودِيْتَ بِالرَّفْعِ مِثْلَ الْمُفْرَدِ الْعَلَمِ
كَيْمَا تَفُوْزَ بِوَصْلٍ أَيِّ مُسْتَتِرٍ * عَنِ الْعُيُوْنِ وَسِرٍّ أَيِّ مُكْتَتِمِ
فَحُزْتَ كُلَّ فَخَارٍ غَيْرَ مُشْتَرَكٍ * وَجُزْتَ كُلَّ مَقَامٍ غَيْرَ مُزْدَحَمِ
وَجَلَّ مِقْدَارُ مَا وُلِّيْتَ مِنْ رُتَبٍ * وَعَزَّ اِدْرَاكُ مَا أُوْلِيْتَ مِنْ نِعَمِ
بُشْرَى لَنَا مَعْشَرَ الْاِسْلَامِ اِنَّ لَنَا * مِنَ الْعِنَايَةِ رُكْنًا غَيْرَ مُنْهَدِمِ
لَمَّا دَعَا اللهُ دَاعِيْنَا لِطَاعَتِهِ * بِأَكْرَمِ الرُّسْلِ كُنَّا أَكْرَمَ الْأُمَمِ
رَاعَتْ قُلُوْبَ الْعِدَا أَنْبَاءُ بِعْثَتِهِ * كَنَبْأَةٍ أَجْفَلَتْ غُفْلًا مِنَ الْغَنَمِ
مَا زَالَ يَلْقَاهُمُ فِيْ كُلِّ مُعْتَرَكٍ * حَتَّى حَكَوْا بِالْقَنَا لَحْمًا عَلَى وَضَمِ
وَدُّوا الْفِرَارَ فَكَادُوْا يَغْبِطُونَ بِهِ * أَشْلَاءَ شَالَتْ مَعَ الْعُقْبَانِ وَالرَّخَمِ
تَمْضِي اللَّيَالِيْ وَلَا يَدْرُوْنَ عِدَّتَهَا * مَا لَمْ تَكُنْ مِنْ لَيَالِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ
كَأَنَّمَا الدِّيْنُ ضَيْفٌ حَلَّ سَاحَتَهُمْ * بِكُلِّ قَرْمٍ اِلَى لَحْمِ الْعِدَا قَرِمِ
يَجُرُّ بَحْرَ خَمِيْسٍ فَوْقَ سَابِحَةٍ * يَرْمِيْ بِمَوْجٍ مِنَ الْأَبْطَالِ مُلْتَطِمِ
مِنْ كُلِّ مُنْتَدِبٍ لِلهِ مُحْتَسِبٍ * يَسْطُوْ بِمُسْتَأْصِلٍ لِلْكُفْرِ مُصْطَلِمِ
حَتَّى غَدَتْ مِلَّةُ الْاِسْلَامِ وَهْيَ بِهِمْ * مِنْ بَعْدِ غُرْبَتِهَا مَوْصُوْلَةَ الرَّحِمِ
مَكْفُوْلَةً أَبَدًا مِنْهُمْ بِخَيْرِ أَبٍ * وَخَيْرِ بَعْلٍ فَلَمْ تَيْتَمْ وَلَمْ تَئِمِ
هُمُ الْجِبَالُ فَسَلْ عَنْهُمْ مُصَادِمَهُمْ * مَاذَا رَأَوْا مِنْهُمُ فِيْ كُلِّ مُصْطَدَمِ
وَسَلْ حُنَيْنًا وَسَلْ بَدْرًا وَسَلْ أُحُدًا * فُصُوْلَ حَتْفٍ لَهُمْ أَدْهَى مِنَ الْوَخَمِ
اَلْمُصْدِرِي الْبِيْضِ حُمْرًا بَعْدَ مَا وَرَدَتْ * مِنَ الْعِدَا كُلَّ مُسْوَدٍّ مِنَ الِّلمَمِ
وَالْكَاتِبِيْنَ بِسُمْرِ الْخَطِّ مَا تَرَكَتْ * أَقْلَامُهُمْ حَرْفَ جِسْمٍ غَيْرَ مُنْعَجِمِ
شَاكِي السِّلَاحِ لَهُمْ سِيْمَى تُمَيِّزُهُمْ * وَالْوَرْدُ يَمْتَازُ بِالسِّيْمَا مِنَ السَّلَمِ
تُهْدِيْ اِلَيْكَ رِيَاحُ النَّصْرِ نَشْرَهُمُ * فَتَحْسَبُ الزَّهْرَ فِي الْأَكْمَامِ كُلَّ كَمِيْ
كَأَنَّهُمْ فِيْ ظُهُوْرِ الْخَيْلِ نَبْتُ رُبًا * مِنْ شِدَّةِ الْحَزْمِ لَا مِنْ شِدَّةِ الْحُزُمِ
طَارَتْ قُلُوْبُ الْعِدَا مِنْ بَأْسِهِمْ فَرَقًا * فَمَا تُفَرِّقُ بَيْنَ الْبَهْمِ وَالْبُهَمِ
وَمَنْ تَكُنْ بِرَسُوْلِ اللهِ نُصْرَتُهُ * اِنْ تَلْقَهُ الْأُسْدُ فِيْ آجَامِهَا تَجِمِ
وَلَنْ تَرَى مِنْ وَلِيٍّ غَيْرَ مُنْتَصِرٍ * بِهِ وَلَا مِنْ عَدُوٍّ غَيْرَ مُنْعَجِمِ
أَحَلَّ أُمَّتَهُ فِيْ حِرْزِ مِلَّتِهِ * كَاللَّيْثِ حَلَّ مَعَ الْأَشْبَالِ فِيْ أَجَمِ
كَمْ جَدَّلَتْ كَلِمَاتُ اللهِ مِنْ جَدَلٍ * فِيْهِ وَكَمْ خَصَمَ الْبُرْهَانُ مِنْ خَصِمِ
كَفَاكَ بِالْعِلْمِ فِي الْأُمِّيِّ مُعْجِزَةً * فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَالتَّأْدِيْبِ فِي الْيُتُمِ
خَدَمْتُهُ بِمَدِيْحٍ أَسْتَقِيْلُ بِهِ * ذُنُوْبَ عُمْرٍ مَضَى فِي الشِّعْرِ وَالْخِدَمِ
اِذْ قَلَّدَانِيَ مَا تُخْشَى عَوَاقِبُهُ * كَأَنَّنِيْ بِهِمَا هَدْيٌ مِنَ النَّعَمِ
أَطَعْتُ غَيَّ الصِّبَا فِي الْحَالَتَيْنِ وَمَا * حَصَلْتُ اِلَّا عَلَى الْآثَامِ وَالنَّدَمِ
فَيَا خَسَارَةَ نَفْسٍ فِيْ تِجَارَتِهَا * لَمْ تَشْتَرِ الدِّيْنَ بِالدُّنْيَا وَلَمْ تَسُمِ
وَمَنْ يَبِعْ آجِلًا مِنْهُ بِعَاجِلِهِ * يَبِنْ لَهُ الْغَبْنُ فِيْ بَيْعٍ وَفِيْ سَلَمِ
اِنْ آتِ ذَنْبًا فَمَا عَهْدِيْ بِمُنْتَقِضٍ * مِنَ النَّبِيِّ وَلَا حَبْلِيْ بِمُنْصَرِمِ
فَاِنَّ لِيْ ذِمَّةً مِنْهُ بِتَسْمِيَتِيْ * مُحَمَّدًا وَهْوَ أَوْفَى الْخَلْقِ بِالذِّمَمِ
اِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْ مَعَادِيْ آخِذًا بِيَدِي * فَضْلًا وَاِلَّا فَقُلْ يَا زَلَّةَ الْقَدَمِ
حَاشَاهُ أَنْ يُحْرِمَ الرَّاجِيْ مَكَارِمَهُ * أَوْ يَرْجِعَ الْجَارُ مِنْهُ غَيْرَ مُحْتَرَمِ
وَمُنْذُ أَلْزَمْتُ أَفْكَارِيْ مَدَائِحَهُ * وَجَدْتُهُ لِخَلَاصِيْ خَيْرَ مُلْتَزِمِ
وَلَنْ يَفُوْتَ الْغِنَى مِنْهُ يَدًا تَرِبَتْ * اِنَّ الْحَيَا يُنْبِتُ الْأَزْهَارَ فِي الْأَكَمِ
وَلَمْ أُرِدْ زَهْرَةَ الدُّنْيَا الَّتِي اقْتَطَفَتْ * يَدَا زُهَيْرٍ بِمَا أَثْنَى عَلَى هَرِمِ
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِيْ مَنْ أَلُوْذُ بِهِ * سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعَمِمِ
وَلَنْ يَضِيْقَ رَسُوْلَ اللهِ جَاهُكَ بِيْ * اِذَا الْكَرِيْمُ تَجَلَّى بِاسْمِ مُنْتَقِمِ
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا * وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمَ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
يَا نَفْسُ لَا تَقْنَطِيْ مِنْ زَلَّةٍ عَظُمَتْ * اِنَّ الْكَبَائِرَ فِي الْغُفْرَانِ كَالَّلمَمِ
لَعَلَّ رَحْمَةَ رَبِّيْ حِيْنَ يَقْسِمُهَا * تَأْتِيْ عَلَى حَسَبِ الْعِصْيَانِ فِي الْقِسَمِ
يَا رَبِّ وَاجْعَلْ رَجَائِيْ غَيْرَ مُنْعَكِسٍ * لَدَيْكَ وَاجْعَلْ حِسَابِيْ غَيْرَ مُنْخَرِمِ
وَالْطُفْ بِعَبْدِكَ فِي الدَّارَيْنِ اِنَّ لَهُ * صَبْرًا مَتَى تَدْعُهُ الْأَهْوَالُ يَنْهَزِمِ
وَائْذَنْ لِسُحْبِ صَلَاةٍ مِنْكَ دَائِمَةٍ * عَلَى النَّبِيِّ بِمُنْهَلٍّ وَمُنْسَجِمِ
وَالْآلِ وَالصَّحْبِ ثُمَّ التَّابِعِيْنَ فَهُمْ * أَهْلُ التُّقَى وَالنَّقَى وَالْحِلْمِ وَالْكَرَمِ
مَا رَنَّحَتْ عَذَبَاتِ الْبَانِ رِيْحُ صَبَا * وَأَطْرَبَ الْعِيْسَ حَادِي الْعِيْسِ بِالنَّغَمِ
ثُمَّ الرِّضَا عَنْ أَبِيْ بَكْرٍ وَعَنْ عُمَرٍ * وَعَنْ عَلِيٍّ وَعَنْ عُثْمَانَ ذِي الْكَرَمِ
وَاغْفِرْ إِلَهِيْ لِكُلِّ الْمُسْلِمِيْنَ بِمَا * يَتْلُوْهُ فِي الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَفِي الْحَرَمِ
بِجَاهِ مَنْ بَيْتُهُ فِيْ طَيْبَةٍ حَرَمٌ * وَاِسْمُهُ قَسَمٌ مِنْ أَعْظَمِ الْقَسَمِ
وَهَذِهِ بُرْدَةُ الْمُخْتَارِ قَدْ خُتِمَتْ * وَالْحَمْدُ لِلهِ فِيْ بَدْءٍ وَفِيْ خَتَمِ
أَبْيَاتُهَا قَدْ أَتَتْ سِتِّيْنَ مَعْ مِائَةٍ * فَرِّجْ بِهَا كَرْبَنَا يَا وَاسِعَ الْكَرَمِ

Share: