Kecerdasan Buatan

KOMPAS - ANALISIS BUDAYA (14/1/2023)

AHMAD NAJIB BURHANI
Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Jika era media sosial sering kali disebut menyebabkan "matinya kepakaran" (the death of expertise), era kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang sedang ramai saat ini bisa menjadi awal dari sebuah babak perpindahan kepakaran dari manusia ke mesin (the shift of expertise from human beings to machine). Di era AI ini, ketika mencari jawaban dari berbagai persoalan, seseorang tidak lagi bertemu dengan pakar atau ahli dalam bidang tertentu, tetapi jawabannya datang dari mesin. Konsultan, narasumber, dan informannya adalah mesin. Ini, misalnya, bisa dilihat dalam ChatGPT-AI Texting Chatbot dan chat.openai.com, di mana kita tinggal mengetik atau memerintahkan AI apa yang kita mau dan mesin akan menjawab atau menyajikan apa yang kita perlukan.

Kita seperti tak memerlukan lagi staf khusus yang biasanya membantu mempersiapkan pidato untuk acara tertentu. Tak perlu sekretaris yang membuat surat di kantor. Cukup memerintahkan AI agar menyiapkan pidato atau surat yang kita perlukan. Jika ingin membuat makalah atau artikel, kita juga bisa meminta AI dengan menuliskan tema yang dimaksud atau acara yang menjadi tujuan artikel itu hendak disampaikan. Tidak hanya dalam bahasa Indonesia dan Inggris, AI juga siap dengan bahasa lain. Naskah pidato atau makalah yang dibuat AI sudah dalam bentuk yang runtut dan dengan grammar atau tata bahasa yang benar.

Berbeda dari kepakaran, AI tak membatasi topik dan disiplin. Isu agama, seperti hukum merokok dan cryptocurrency, bisa ditanyakan kepada AI dengan jawaban yang argumentatif dan runtut. Makanya kemudian muncul sebutan "kyAI", sebuah ungkapan yang menggabungkan dua kata, kiai dan AI. Ini adalah topik yang ramai diperbincangkan di Twitter beberapa waktu lalu, antara lain oleh Ismail Fahmi dan Ulil Abshar Abdalla.

AI secara ringkas dan sederhana dapat didefinisikan sebagai "technologies with the ability to perform tasks otherwise requiring human intelligence" (Elliot 2009). Artinya, AI adalah teknologi yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang sebelumnya membutuhkan kecerdasan manusia atau tugas-tugas yang sebetulnya hanya bisa dilakukan dengan melibatkan kecerdasan atau otak manusia. Al melibatkan banyak disiplin ilmu, seperti ilmu komputer, psikologi, matematika, dan robotika, serta didukung dataset yang kuat sehingga mampu memahami, menyintesis, dan menyimpulkan informasi.

Desember lalu saya diminta Pusat Riset Pendidikan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk memberikan pengarahan dalam Monitoring dan Evaluasi Program DRIVEN Tanoto 2022. Lantas saya ingin mengetes AI untuk mempersiapkan materi yang perlu untuk disampaikan. Beberapa menit sebelum acara, saya buka komputer dan mengetik keperluan yang dimaksud. Seperti sulapan Jin dalam film Aladdin, tersajilah naskah itu hanya dalam beberapa detik.

Pengalaman menarik lain dibagikan Ismail Fahmi dalam akun Twitter-nya. Ia meminta bantuan AI terkait persoalan perundangan di Indonesia: "UU KUHP yang baru disahkan bisa memidana orang yang dianggap menghina anggota DPR. Buatkan ungkapan kekesalan kepada anggota DPR karena mengesahkan UU kontroversial ini. Secara sarkasme". Atas permintaan ini, muncullah sejumlah paragraf yang antara lain sangat menggelitik dan mengundang tawa, seperti: "Terima kasih telah melindungi kebebasan berpendapat kita dengan cara membatasi dan memidana mereka.... Sebenarnya, kita semua tahu bahwa anggota DPR adalah makhluk sempurna yang tidak pernah salah. Mereka tidak pernah melakukan kesalahan atau kejahatan, jadi memang seharusnya tidak ada yang bisa menghina mereka."

Bukan sekadar naskah-naskah pidato atau makalah, AI bisa juga disuruh untuk membuatkan lagu, puisi, membalas surat elektronik, dan membuat ayat-ayat yang meniru keindahan Al Quran. Namun, sebagaimana teknologi yang lain, karena AI ini dalam prosesnya didesain oleh manusia juga, maka paradigma dan algoritma tertentu tetap berlaku. Ini terjadi ketika menjawab isu-isu kontroversial, seperti LGBT dan Ahmadiyah.

Untuk mengetes AI terhadap isu-isu sensitif dan kontroversial, saya lantas mencoba menanyakan ke AI tentang Ahmadiyah dalam bahasa Inggris: "Is Ahmadiyya heretic?" (Apakah Ahmadiyah itu sesat?) Jawaban AI sangat penting diperhatikan mereka yang berada di pemerintahan.

Terjemahan dari jawaban AI adalah sebagai berikut: "Tidak patut bagi saya untuk membuat pernyataan apakah Ahmadiyah sesat atau tidak. Hal yang penting untuk diingat oleh kita semua adalah bahwa keyakinan agama merupakan persoalan pribadi dan setiap individu bebas memegang keyakinannya masing-masing. Bukan kapasitas saya untuk menghakimi keyakinan agama siapa pun".

Ketika pertanyaan yang sama disampaikan dalam bahasa Indonesia, di antara jawabannya agak berbeda dari pertanyaan yang sama dalam bahasa Inggris. Jawaban AI terhadap pertanyaan berbahasa Indonesia adalah sebagai berikut: "Beberapa negara Muslim menganggap Ahmadiyah sebagai kelompok yang sesat dan melarang aktivitas keagamaan mereka. Namun, ini adalah pandangan yang sangat kontroversial dan tidak diterima oleh semua orang".

Selain berdasarkan big data yang dimiliki, jawaban-jawaban itu menunjukkan bahwa AI sebetulnya juga memiliki "ideologi", paling tidak dipengaruhi yang mendesainnya atau data yang tersebar di masyarakat. Ini terlihat ketika ditanyakan tentang sesuatu yang tidak bisa dijawabnya, seperti tentang pandangan NU terkait Ahmadiyah. Ketika hal ini ditanyakan, jawabannya menunjukkan sistem yang ada di AI itu.

"Maaf, saya tidak punya informasi terkait pandangan Nahdlatul Ulama mengenai Ahmadiyah. Sebagai model bahasa yang dilatih OpenAI, saya tidak memiliki akses ke peristiwa terkini atau kemampuan menjelajah internet, jadi saya tidak dapat memberikan informasi tentang pernyataan atau peristiwa yang khusus atau spesifik. Fungsi saya adalah memberikan informasi umum berdasarkan pelatihan yang diberikan kepada diri saya."

AI ini menjadi rentetan temuan manusia yang menjadikan diri kita seperti "tuhan". Tahun 2022, para ilmuwan telah menyempurnakan Proyek Genom Manusia dengan mengurutkan secara penuh genom tersebut (Djoko Santoso 2022). Dengan temuan tersebut, cetak biru manusia secara lengkap bisa diketahui dan dipahami. Digabung dengan AI ini, saya membayangkan sebuah "etnis" baru manusia super akan lahir di masa yang tak lama lagi.
Share:

Ayat Prinsip Komunikasi Nirkekerasan

Komunikasi nirkekerasan dikembangkan oleh Marshall B Rosenberd pada tahun 1960-an, dan kini terus dilatihkan di berbagai kalangan, mulai dari tingkat keluarga hingga negara. Dalam Islam, prinsip komunikasi nirkekerasan (nonviolent communication) antara lain terdapat di ayat 148 dari surah An-Nisa' (4) ini:

لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلْجَهْرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا 

Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizhalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Pernyatan ayat ini cukup gamblang. Dalam Tafsir Kemenag RI diuraikan lebih jelas, Allah tidak menyukai hamba-Nya yang melontarkan kata-kata buruk kepada siapa pun. 

Kata buruk dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara anggota masyarakat dan jika berlarut-larut dapat menjurus kepada pengingkaran hak dan pertumpahan darah, dan dapat pula mempengaruhi orang yang mendengarnya untuk meniru perbuatan itu, terutama bila perbuatan itu dilakukan oleh pemimpin. 

Di sini letak prinsip komunikasi nirkekerasan itu. Dan jika Allah tidak menyukai sesuatu, berarti Allah tidak meridainya dan tidak memberinya pahala. 

Dalam hal ini dikecualikan orang yang dianiaya. Jika seseorang dianiaya, dia diperbolehkan mengadukan orang yang menganiayanya kepada hakim atau kepada orang lain yang dapat memberi pertolongan dalam menghilangkan kezaliman. Jika seseorang dianiaya lalu ia menyampaikan pengaduan, tentu saja pengaduan itu dengan menyebutkan keburukan-keburukan orang yang menganiayanya. Maka dalam hal ini ada dua kemungkinan. 

Pertama, orang yang teraniaya melontarkan ucapan-ucapan buruk terhadap seseorang yang menganiayanya. Hal ini dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian antara kedua belah pihak. Kedua, bila orang yang dianiaya itu mendiamkan saja, maka kezaliman akan tambah memuncak dan keadilan akan lenyap. 

Karena itu Allah mengizinkan dalam ayat ini bagi orang yang teraniaya melontarkan ucapan dan tuduhan tentang keburukan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang yang menganiaya walaupun akan mengakibatkan kebencian, karena membiarkan penganiayaan adalah lebih buruk akibatnya, sesuai dengan kaidah: "Melakukan yang lebih ringan mudaratnya di antara dua kemudaratan." 

Orang yang dianiaya wajib menyampaikan pengaduannya kepada hakim atau lainnya. Seseorang yang zalim jika tidak diambil tindakan yang tegas terhadapnya, kezalimannya akan bertambah luas. Tetapi jika tidak ada maksud untuk menghilangkan kezaliman, seseorang dilarang keras melontarkan ucapan-ucapan yang buruk. 

Dalam ayat ini diperingatkan bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui setiap ucapan yang dikeluarkan oleh orang yang zalim dan orang yang dianiaya, terutama jika mereka melampaui batas sampai melontarkan pengaduan yang dusta atau bersifat menghasut dan mengadu domba.

Di Tafsir Jalalayn ayat ini dijelaskan begini:

(Allah tidak menyukai perkataan buruk yang diucapkan secara terus terang) dari siapa pun juga, artinya Dia pastilah akan memberinya hukuman (kecuali dari orang yang dianiaya) sehingga apabila dia mengucapkannya secara terus terang misalnya tentang keaniayaan yang dideritanya sehingga ia mendoakan si pelakunya, maka tidaklah dia akan menerima hukuman dari Allah. (Dan Allah Maha Mendengar) apa-apa yang diucapkan (lagi Maha Mengetahui) apa-apa yang diperbuat.

Penjelasan lain dapat dibaca di kitab Tafsir Sa'di, yg saya kutip teksnya sesuai aslinya:

يخبر تعالى أنه لا يحب الجهر بالسوء من القول، أي: يبغض ذلك ويمقته ويعاقب عليه، ويشمل ذلك جميع الأقوال السيئة التي تسوء وتحزن، كالشتم والقذف والسب ونحو ذلك فإن ذلك كله من المنهي عنه الذي يبغضه الله. ويدل مفهومها أنه يحب الحسن من القول كالذكر والكلام الطيب اللين. وقوله: { إِلَّا مَن ظُلِمَ } أي: فإنه يجوز له أن يدعو على من ظلمه ويتشكى منه، ويجهر بالسوء لمن جهر له به، من غير أن يكذب عليه ولا يزيد على مظلمته، ولا يتعدى بشتمه غير ظالمه، ومع ذلك فعفوه وعـدم مقابلته أولى، كما قـال تعالى: { فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ } { وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا } ولما كانت الآية قد اشتملت على الكلام السيئ والحسن والمباح، أخبر تعالى أنه { سميع } فيسمع أقوالكم، فاحذروا أن تتكلموا بما يغضب ربكم فيعاقبكم على ذلك. وفيه أيضا ترغيب على القول الحسن. { عَلِيمٌ } بنياتكم ومصدر أقوالكم.

Share:

Hymne al-Amien Prenduan dalam Senandung

Berikut catatan alumni, Agus Salim Faradilla, santri seniman, yang mendampingi pak Kyai Idris menciptakan lagu hymen Pondok Pesantren al-Amien Prenduan Sumenep Madura. Hymne diciptakan tahun 1999, dan kini terus dinyanyikan, bersama lagu "Oh Pondokku" di setiap acara yang diselenggarakan pondok.


Malam itu menjadi malam terindah bagi saya selama 'nyantri' di AL-AMIEN PRENDUAN. Ya kira-kira akhir tahun 1999 silam. Kala itu saya masih duduk di kelas V TMI (Tarbiyatul Mu'allimien Al Islamiyah) di akhir tahun menjelang kenaikan kelas. 

Ba'da sholat Isya', seperti biasa rutinitas sebagian besar santri adalah makan malam dan biasanya dilanjutkan belajar bersama wali kelas di kelas masing-masing. Sementara saya sebagai pengurus ISMI (Ikatan Santri TMI) bagian kesenian yang baru beberapa bulan saja dilantik, sedang sejenak istirahat di kamar dua rayon Al kautsar sehabis makan malam. 

Sesaat kemudian tiba-tiba terdengar deru sepeda motor dari kejauhan. Dari suara knalpotnya bisa ditebak kalau itu deru motor bebek tua. Suaranya semkin nyaring dan mendekat. Motor itu ternyata memang berhenti di depan rayon Al Kautsar. 

Bagi sebagian besar kami santri TMI, suara motor bebek itu tidak lagi asing. Saya langsung tebak siapa yang datang. Ya, Kyai Imam Syafii (Allahumaghfirlahu). Di mata saya beliau adalah sosok guru yang mudah akrab, energik, dan humoris. Meski usianya sudah cukup lanjut, kemana-mana masih sering terlihat naik motor sendirian. Bukan hanya di sekitar pondok, bahkan hingga keluar kota menempuh jarak yang tidak dekat.

Kala itu terdengar beliau memanggil saya, sontak saya langsung beranjak ke luar kamar menjumpainya. Saya sempat ingin menanyakan maksud kedatangaan beliau kemari, namun beliau sudah lebih dulu meminta saya untuk mengambil gitar. saya bergegas mencari gitar akustik meski terbersit rasa penasaran dalam hati, 'untuk apa beliau malam-malam cari gitar?'

Awalnya saya kira beliau hanya sekedar ingin pinjam, tapi nyatanya setelah sebuah gitar akustik saya dapatkan, saya malah diminta naik ke boncengan motornya. Saya manut saja, meski sebenarnya sungkan. Tidak sopan rasanya kalau saya harus dibonceng beliau. Tapi mau bagaimana lagi, ini perintah. Saya ikuti saja dan tidak berani membantah.

Pelan, bebek tua itu melaju meninggalkan rayon Al Kautsar. Bagi siapapun yang melihat saya kala itu, mungkin saya terlihat tenang atau malah bangga naik motor dibonceng Kyai, padahal kenyataannya degup jantung saya terasa kurang nyaman, 'dredeg' tidak karuan. Saya salah tingkah, ini hal yang tak lumrah terjadi dalam kehidupan santri di pesantren. Seorang santri menenteng gitar ala anak band dibonceng kyai. Sungguh langka, sangat langka. Entah apa yang ada di pikiran teman-teman santri melihat kami berdua melintas dalam keadaan seperti itu. 

Sejenak saya merasa menjadi pusat perhatian. Ditambah lagi saya juga merasa was-was karena takut jatuh kala motor tua ini terlihat tersiksa sekali ditunggangi kami berdua. Kyai Imam yang bertubuh agak besar dan saya yang meski berpostur pendek tetapi tidak kurus, kami berdua menindih motor bebek tua yang hampir-hampir hanya tersisa mesin dan rangka saja. Ringkih seolah tak berdaya. Lajunya pelan seakan terpaksa.

Ternyata itu belum seberapa. Ada hal lain yang seketika membuat saya semakin salah tingkah tatkala beliau mengarahkan laju motornya menuju kediaman Kyai Idris (K.H. Muhammad Idris Jauhari (Allahumaghfirlahu)). Perasaan saya semakin tidak karuan. Bagi saya ini terasa absurd dan ganjil, seorang santri 'nyabis' ke kediaman Kyai dengan membawa gitar. Setahu saya di mana-mana santri di pesatren datang mengadap Kyai dengan membawa kitab untuk mengaji. Saya kira bahkan Dewa Budjana, John Paul Ivan hingga Rhoma Irama tidak akan selancang itu terhadap gurunya. 

Saya sempat kembali ingin bertanya kepada Kyai Imam, untuk apa saya diajak kemari? Untuk apa gitar ini? Apakah saya telah melakukan kesalahan? Apakah setelah ini saya akan menerima hukuman atas kesalahan saya itu? Sebab saya pikir, mustahil kalau saya diminta konser di kediaman Kyai. Itu mustahil, sangat mustahil. Tapi sekali lagi saya sungkan. Saya simpan saja pertanyaan-pertanyaan itu dalam hati. Ini perintah. Saya manut saja tanpa berani bertanya, apalagi membantah.

Setibanya di kediaman Kyai Idris, Kyai Imam mengajak saya masuk ke ruang tamu lewat pintu samping. Kala itu saya melihat Kyai Idris sedang menerima tamu di teras depan. Di kediaman beliau itu ada sebuah kamar di bagian depan yang sengaja dijadikan tempat istirahat bagi tamu-tamu beliau. Saya diajak masuk ke sana dan di sana saya dipertemukan dengan seseorang yang kemudian saya kenal sebagai Ustad Wahib Abdur Rahman. 

Beliau lalu bercerita panjang lebar bahwa beliau adalah adik kelas atau murid Kyai Idris semasa di Gontor. Dalam karirnya, beliau adalah seorang musisi dan pencipta lagu. Banyak sudah lagu karyanya yang sudah beredar di masa tahun 90-an. Bahkan tak sedikit yang dinyanyikan oleh artis ternama tanah air. Demikian kira-kira beliau menceritakan pengalamannya. Saya, Ustad Wahib dan ikut serta pula beberapa asatidz kala itu lebur dalam perbincangan yang hangat. Saya dan teman-teman lebih sering menyimak saja, sementara Ustadz Wahib lah yang banyak bercerita pengalaman hidupnya.

Beberapa saat kemudian Kyai Idris datang menghampiri kami. Saya dan kami semua beranjak menyalami dan mencium tangan beliau. Masih terngiang hingga kini aroma parfum yang beliau kenakan kala itu. Hingga setiap saya menyalami beliau atau sekedar berpapasan dengan beliau dalam kesempatan berbeda, tercium aroma parfum yang sama. 

Bukan sekedar itu, dalam setiap kesempatan bersua, dari wajahnya dan tutur katanya terpancar wibawa, ketulusan, keihlasan dan kasih sayang seorang guru sekaligus ayah. Itu yang saya rasakan hingga kini. Kalau saya harus menceritakan sosok beliau di mata saya, saya harus menulisnya dalam edisi khusus dan paragraf yang sangat panjang. Singkatnya, beliau adalah sosok guru dan ayah yang mengagumkan. Tidak hanya bagi saya, bahkan seluruh santri yang pernah mengaji langsung kepada beliau juga memberikan kesan dan kesaksian yang sama.

Malam itu 'jaros' berdentang berapa kali, tanda jam malam sudah dimulai, waktunya tidur dan istirahat bagi seluruh santri. Sementara kami masih terus berbincang. Kyai Idris menjelaskan kepada saya maksud Ustad Wahib datang ke pesantren. Ia datang dengan membawa sebuah lagu gubahannya yang sengaja dibuat untuk kelak menjadi lagu wajib pesantren. Akan tetapi setelah membaca teks syair lagu tersebut, Kyai Idris merasa kurang sreg. Menurut beliau, syairnya belum pas dengan jiwa pesatren (Al Amien Prenduan). 

Singkatnya kemudian Kyai Idris tulis sendiri sebuah syair yang diharapkan lebih pas dengan falsafah, moto dan jiwa pesantren. Namun setelah syair tersebut tuntas beliau tulis, sebagian rangkaian nadanya menjadi tidak cocok dan harus direvisi. Tentu bukan hal mudah untuk melakukannya. Belum tentu bisa tuntas dikerjakan semalam. Sementara Ustad wahib tidak bisa tinggal lama di pondok. Seingat saya, dua hari berikutnya beliau pulang ke Jombang. 

Akhirnya saya diminta untuk mencoba mengerjakan tugas revisi lagu tersebut. Saya tertegun. Kali ini terjawab sudah sekian pertanyaan yang mengendap dalam batin saya sejak dijemput Kyai Imam di Rayon Al Kautsar petang tadi. Entah atas dasar apa saya dipilih untuk mengerjakan tugas yang tak mudah itu? Saya bukan musisi apalagi pencipta lagu, main gitar saja masih tingkat dasar. Jangankan merangkai nada, membaca not lagu saja terbata-bata. Tapi ya begitulah, saya tidak mungkin bisa menolak tapi tidak pula menyatakan sanggup. Saya bilang bahwa saya akan coba semampu yang saya bisa upayakan, tentu dengan penuh harap semoga Allah menuntun saya untuk dapat dengan mudah menyelesaikannya.

Maka senyampang ada Ustad Wahib, dengan berbekal sedikit kemampuan bermain gitar, malam itu langsung saya pelajari rangkaian nadanya. Bait demi bait lagu asli yang pertama kali ia tulis, ia ajarkan kepada saya bagaimana cara melantunkannya. Saya coba nyanyikan berulang kali sampai akhirnya bisa benar-benar saya hapal ritme, irama dan temponya. 

Setelah merasa cukup paham, saya bergegas pamit pulang ke kamar sebab malam sudah semakin larut. saya yakin Ustadz Wahib juga sangat letih dan harus istirahat. Dalam perjalanan pulang, saya mengingat kembali rangkaian peristiwa sejak petang tadi, rasanya bagai dalam mimpi. Ada rasa haru sekaligus bangga. Haru karena saya yakin bahwa kelak peristiwa ini akan menjadi kenangan indah saya selama menjadi santri, bangga karena seumur hidup saya belum pernah sedekat ini dengan ayahanda Kyai Idris, sosok guru sekaligus ayah yang sangat saya kagumi.

Keesokan harinya dan hari-hari berikutnya, hampir setiap pagi dan sore saya dipanggil untuk datang ke kediaman Kyai Idris. Dan setiap saat itu pula saya datang dengan masih menenteng gitar akustik. Saya pelajari syair yang ditulis Kyai Idris, menghitung kosakata, kalimat, baris dan baitnya sembari mencocokkan ulang dengan rangkaian notasi lagu karya Ustad Wahib. 

Beruntung dulu saya juga dibekali ilmu sastra oleh Ustadz Moh. Hamzah Arsa. Hal itu sangat membantu saya dalam memahami kalimat-kalimat puitis dalam syair yang tidak hanya begitu dalam maknanya, tapi juga indah saat dibaca atau dilantunkan. 

Dari keseluruhan syair lagu tersebut, Tak banyak yang saya ubah kecuali saya tambah beberapa baris kalimat saja, menyempurnakan beberapa kalimat yang tidak pas dengan bait lagu dan merangkai ulang notasi lagu di beberapa bagian yang terasa belum utuh. Setiap kali ada bagian yang saya revisi, selanjutnya dikoreksi oleh Kyai Idris. Lalu keesokan harinya saya dipanggil lagi untuk mempelajari hasil koreksi beliau dan merevisi bagian yang terasa kurang pas dimana sudah beliau tandai dan diberi catatan. Proses ini terus berlangsung hingga hampir sepekan lamanya.

Pernah suatu pagi, entah hari ke berapa, sesaat menjelang bel masuk sekolah, kala saya sedang menyusun rangkaian nada sembari memetik gitar dan bersenandung, Kyai Idris datang menghapiri saya. Beliau suguhkan sesisir pisang di atas piring putih dari keramik dan air mineral dalam kemasan gelas plastik. Dengan pakaian rapi, kopiyah hitam, berdasi dan tak ketinggalan aroma parfum yang sama seperti kemaren, beliau terlihat sedang bersiap menuju kelas hendak mengajar. 

Saya sempat tertegun dan berhenti bernyanyi karena malu dan canggung, namun beliau meminta saya untuk terus bersenandung. Bahkan sesekali beliau ikut bernyanyi. Suara beliau bagus juga ternyata, terdengar lembut dan merdu. Sayapun larut dalam suasana syahdu. Mengingatnya kembali kali ini, saya jadi terharu dan rindu.

Setelah proses revisi lagu tersebut rampung juga akhirnya, Kyai Idris meminta saya untuk merekamnya ke dalam pita kaset, menggandakannya hingga beberapa keping dan menyebarkannya ke lembaga-lembaga yang ada di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Al Amien Prenduan untuk selanjutnya diajarkan kepada seluruh santri. 

Dibantu beberapa teman dan asatidz, saya merekamnya menggunakan tape recorder sederhana dengan musik alakadarnya. Cukup gitar akustik murahan dengan petikan jemari saya yang tak begitu yakin dan vokal saya yang juga tak semerdu Ebiet G. Ade,  terdengar berat dan  dipaksakan. 

Meski demikian saya larut dalam perasaan haru dan bangga, membayangkan bahwa kelak lagu ini akan terus disenandungkan oleh anak cucu kami. Tidak hanya oleh santri di pesantren, tapi juga alumni dan simpatisan. Tidak hanya di prenduan, tapi di segenap penjuru mata angin di mana di sana ada santri al amien.

Dalam beberapa acara formal bersama santri, setiap selesai koor Oh Pondokku dan Hymne Al Amien Prenduan, Kyai Idris hampir selalu paparkan makna syair lagu yang beliau tulis itu. Tentang kasih sayang dan cinta seorang Ibu, tentang ketulusan, perjuangan dan pengorbanan, tentang falsafah hidup, komitmen dan rasa bangga, juga tentang harapan, cita-cita dan doa.

Selamat Ulang Tahun yang ke-70 al-Amien Prenduan, tetaplah tegak berdiri di atas dan untuk semua golongan untuk kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia.
Share: