The Truth About Vitamin D

Dr Widya Murni MARS, Dipl of IHS

Perkenalkan  saya seorang dokter umum yang praktek dalam bidang ilmu integrative & functional medicine, lebih khusus lagi di bidang anti-aging medicine berbasis hormon. Dalam ilmu ini, kami senantiasa mencari root of cause (akar penyebab) untuk memberi pengobatan bukan sekedar penurun gejala. Setiap terapi yang diberikan harus berasal dari root of cause nya, seperti halnya kekurangan vitamin D. 

Saya terpaksa membuat tulisan ini dengan niat baik untuk menyebarkan paradigma baru penggunaan dosis tinggi vitamin D untuk pencegahan dan pengobatab covid-19. Memang vitamin D bukan satu-satunya pendukung innate & adaptive immune system, tapi jika kita memiliki kadar vitamin D yang rendah dan terkena covid-19, maka akan terjadi sulit sembuh, dan bahkan sering terjadi gagal napas sehingga harus dirawat di ICU, bahkan terjadi kegagalan multiorgan dan kematian. 

No one should be die with corona virus. Kata seorang ahli, harusnya tidak ada seorangpun meninggal dengan covid-19, jika tertangani dengan baik tentunya. 

Saya juga berkenalan dengan ilmu integrative cancer medicine, di mana dalam ilmu ini kita harus menjaga kualitas hidup pasien kanker dengan menjaga kadar vitamin D berada pada sekitar 100 ng/mL. Sudah banyak pasien kanker yang menikmati kualitas hidup yang lebih baik dengan menjaga tingkat vitamin D sekitar 100 ng/mL ini. 

Sebelum pandemi datang awal Januari 2020, saya menghadiri sebuah acara di Kuala Lumpur yang diselenggarakan MAAFIM, organisasi Malaysia Asociation of Functional & Interdisiplinary Medicine. Acara yang berusaha dihadiri semua bintang ilmu Integrative & Functional Medicine dari Malaysia dan bahkan pembicara asing kelas dunia ini, membuat saya mengalahkan keinginan berlibur. Beruntung sekali saya hadir bersama kedua kawan dari Indonesia, yaitu DR Amarullah H Siregar dan isterinya Dr Rachmi Primadiati, menikmati hidangan aneka topik dari narasumber pilihan yang tampil pada acara itu. 

Salah satu topik penting yang ditampilkan adalah The Miracle Of Vitamin D yang dibawakan oleh Dr Renu Mahtani dari India, yang merupakan murid langsung Dr Cicero Coimbra dari Brazil. Keduanya merupakan pakar dalam pengobatan autoimmune dengan menggunakan dosis tinggi vitamin D. Bisa dilihat youtube Dr Renu Mahtani dan social media Coimbra Protocol yang terkenal itu. 

Menurut Dr Renu Mahtani, the real global pandemi saat ini adalah low vitamin D. Ini sebelum pandemi covid-19 datang. Bukan hanya di negara Barat semata orang jarang berjemur, tapi di sejumlah negara tropis pun di mana sinar matahari gratis, orang tidak pernah membiasakan diri berjemur untuk menjaga kadar vitamin D yang optimal. 

Walaupun range normal vitamin D yang dipakai oleh sebagian besar negara di dunia sekitar 30-100 ng/mL, jika kita ingin memiliki sistem imun optimal, jangan biarkan tingkat vitamin D hanya berkisar di 30 saja. Kadar vitamin D yang kurang dari 30 ng/mL ini membuat kita mudah kena influenza epidemik (dan pasti covid-19). Karena sebenarnya batas bawah kadar 20 ng/mL itu hanya dimaksud untuk mencegah penyakit Rickets yang mungkin saat ini sudah sukar ditemukan.  Sementara itu, jika kita ingin mencegah patah tulang, serangan jantung, dan osteoporosis dan TBC, kita harus punya kadar vitamin D di atas 40 ng/mL. Dan bila kita ingin mencegah diabetes dan bahkan semua kanker, kita harus memiliki kadar vitamin D 60 ng/mL. 

Dr Coimbra bahkan mengatakan, jika kita menginginkan sistem imun kita optimal, kita harus memiliki kadar vitamin D 100 ng/mL. Dan untuk mencapai kadar ini, tidak akan cukup jika kita hanya mengkonsumsi vitamin D dengan dosis 1000 iu per hari. Setidaknya, kita harus mengkonsumsi vitamin D dosis 10.000 iu per hari. Penggunaan dosis 1000 iu itu tak ubahnya seperti UMR, sangat susah bertahan hidup. Apalagi jika kita sudah menderita Covid-19, jangan gunakan dosis 1000 iu ini, akan lebih lama sembuhnya. 

Berbekal ilmu dari Dr Coimbra dan Dr Renu Mahtani ini, dengan penuh percaya diri saya mencegah covid dengan dosis 10.000 iu dan bahkan ada protokol Dr Brownstein membantu pengobatan banyak pasien covid hanya dengan vitamin D oral dosis tinggi 50.000 iu. Bahkan, tak jarang saya menginjeksikan vitamin D dosis 600.000 iu, cara yang dulu hanya saya gunakan untuk boosting kadar vitamin D pada pasien kanker semata. Prinsipnya jika tidak gunakan injeksi, akan sangat lama perbaikan kadar vitamin D mendekati nilai 100 ng/mL. 

Ilmu integrative lain yang diaplikasikan adalah dengan penggunaan Infus Nutrisi vitamin C yang langsung dipelajari dari Bapak Vitamin C dunia, Dr Thomas Levy dari Riordan Clinic, Kansas USA, dalam bentuk sodium ascorbic minimum dosis 30 gram. Ini dulu hanya kita gunakan pada pasien kanker semata. Namun, pandemi saat ini membuat kita harus dihadapkan pada pilihan sekaligus mengejar waktu dalam dua minggu pasien harus sembuh atau meninggal. 

Dengan ilmu dosis tinggi vitamin D dan vitamin C ini kita bisa menyembuhkan pasien covid dalam 3 hari hingga 1 minggu saja tanpa penyulit. Lebih dari itu, pasien cukup isoman di rumah, tidak usah berebutan masuk RS yang juga sudah habis kapasitasnya, serta tak perlu ketakutan yang selalu meliputi setiap pasien maupun keluarga. 

Banyak dokter takut memberikan dosis tinggi dengan alasan, karena vitamin D ini harus diaktivasi di hati dan ginjal, sehingga konon bisa memicu gagal ginjal. Sebenarnya ini info hoax yang dipercaya sebagian dokter yang kurang memahami dan memiliki pengalaman dalam pengobatan dengan ilmu vitamin D. Ketakutan penggunaan dosis tinggi vitamin D adalah terjadinya hiperkalsemia, atau kelebihan penyerapan kalsium yang mungkin dianggap bisa menyumbat pembuluh darah, karenanya untuk atasi hal ini, pada mereka dengan resiko thrombosis atau pengentalan darah bisa disertai vitamin K2, atau nattokinase dan serrapeptase sebagai anti kekentalan darah alami.

Beberapa individu yang sudah memantain gut microbiome dengan baik dengan mengonsumsi probiotik multistrain (komunitas, atau probiotik siklus) tentu tidak membutuhkan tambahan vitamin K2 atau pengencer darah alami ini. 
Tambahan lain yang penting karena biasanya vitamin D rendah pada mereka yang mengalami kekurangan Magnesium, padahal pentinya Magnesium ini merupakan zat yang menjadi penentu utama pada banyak reaksi biokimia pada tubuh kita, termasuk kekurangan magnesium bisa ditemukan pada mereka dengan keluhan suka sakit kepala, pegal linu, diabetes, penyakit jantung, stroke dan bahkan kanker. 

Tidak hanya itu saja, dengan menjaga kadar vitamin D dosis tinggi pada semua karyawan, termasuk diri sendiri dan seluruh anggota keluarga, Alhamdulillah saya bisa melakukan praktek selama pandemi tanpa ketakutan, tidak tertular dan menularkan virus kepada orang lain yang kita cintai, termasuk pasien. 

Terakhir, vitamin D jangan diharapkan semata diperoleh dari makanan, apalagi dari susu. Sebab, hanya 20% saja vitamin D bisa ditingkatkan dari sumber makanan. Dan juga, jangan hanya mengharapkan vitamin D didapat gratis dari sinar matahari, karena setiap orang ternyata memiliki kadar vitamin D receptor yang berbeda-beda responsnya. 

Vitamin D memang bukan vitamin biasa, melainkan sebuah hormon, yang hanya diperlukan sedikit, bisa mempengaruhi banyak hal. Dan reseptor vitamin D terdapat hampir di semua organ, sehingga semua keadaan penyakit komorbid yang kita miliki, hampir pasti diakibatkan oleh kekurangan vitamin D. 
Adapun konsumsi vitamin D oral, akan lebih baik penyerapannya jika dikonsumsi bersama lemak yang baik, misalnya virgin coconut oil atau virgin olive oil. 

Saat ini kami ada sekitar 400 orang dokter yang tergabung dalam komunitas Functional Medicine Indonesia, telah mengaplikasikan ilmu high dose vitamin D dan vitamin C untuk mengatasi covid-19.
Semoga setiap dokter Indonesia bisa membuka mata dan wawasannya agar bukah hanya untuk pencegahan dan pengobatan covid semata kita membutuhkan vitamin D. Tapi pre dan pasca vaksin kita tetap membutuhkan optimalisasi sistem imun agar innate & adaptive immune system kita berfungsi dengan sempurna.

Terakhir, kita diharap bisa ikut berkontribusi mengakhiri pandemi dengan menjaga tingkat vitamin D semua orang tercinta mendekati 100 ng/mL, melalui pemberian dosis minimal 10.000 iu per hari. Namun, pada saat sakit covid, dibutuhkan vitamin D oral dosis lebih tinggi sekitar 50.000 iu per hari.

Tentunya tulisan ini bertujuan bukan agar semua orang bisa mengobati sendiri sakitnya, tapi carilah Dokter yang bisa meresepkan dosis tinggi vitamin D dan C agar pemulihan akibat covid-19 bisa dimungkinkan lebih mudah dan murah. 

Jika kadar vitamin D kita terlalu rendah mendekati batas 30 ng/mL (batas rendah terbawah), mari kita menaikkannya dengan suntikan vitamin D dosis 600.000 iu. Tentu setelah itu, kita harus tetap memaintain konsumsi vitamin D dosis oral minimal 10.000 iu untuk mengurangi lama hari sakit, perawatan, ICU dan bahkan mengurangi kematian. 

Vitamin D ternyata banyak mengaktifikan gen antivirus sehingga ia mampu mencegah dan mengobati covid-19 lebih cepat dengan biaya relatif murah, mudah, dan aman. 

Semoga kita semua ikut berkontribusi mengakhiri pandemi segera. 

Dr Widya Murni MARS, Dipl of IHS 

Anti Aging Hormone Certified (International Hormone Society), Integrative & Functional Medicine 
Pendiri Komunitas FMI
Functional Medicine Indonesia 

Jakarta, 5 Maret 2021

Keyword : vitamin D, K2, magnesium, vit C untuk pencegahan dan pengobatan covid-19
Share:

Glorifikasi Gelar Akademis tanpa Esensi

Prof. Dr. Pitoyo Hartono

Dalam satu bulan ini dua kali Tempo mengangkat tema yg bersinggungan dengan carut marutnya dunia akademis di Indonesia. Satu plagiarisme utk mendapat posisi akademis dan satu lagi ttg obral receh doctor honoris causa.

Ini sangat menggelikan, dan juga menjijikkan. Ini terjadi karena ada glorifikasi gelar akademis dan ketidaktahuan dari orang2 yg menginginkan gelar instant semacam ini, dan ketidakmauan akademisi di Indonesia utk menjelaskan arti ttg gelar akademis ini, mungkin utk menjaga "nilai" gelar mereka sendiri.

Saya punya gelar doctor dan juga prof., sehingga saya merasa qualified utk menerangkan arti ttg kedua gelar ini. Saya katakan bahwa kedua gelar ini sama sekali tidak istimewa, tidak ada yg sakral ttg dua gelar ini, tidak juga menunjukkan bahwa yg punya pintar. Ini cuma menunjukkan bahwa dia pernah mempertahankan disertasi tingkat doctoral dan sekarang bekerja di institusi pendidikan atau penelitian, titik. Ini bisa dilakukan utk sebagian besar orang yg memilih jalur karir ini dan mau berusaha utk menjalaninya. Hanya, seperti profesi lainnya bisa sukses bisa tidak. Utk kebanyakan dunia luar yg tidak relevan, gelar semacam ini sebaiknya disikapi dng "terus kenapa ? bodo amat".

Doctor atau Ph.D. adalah gelar akademis tertinggi yg bisa didapat oleh seseorang. Gelar ini melekat seumur hidup, meskipun bisa dicabut kalau ditemukan kecurangan dalam proses memperolehnya. Gelar ini diberikan pada orang yg bisa menemukan satu tema penelitian yg punya novelty (sesuatu yg baru) di bidangnya, mengeksekusi penelitian itu, menarik kesimpulan darinya, berargumen ttg novelty yg di-claimnya, dan mempertahankan metodology dan claimnya di hadapan panel ahli. Gelar ini semacam lisensi yg menyatakan bahwa "orang ini punya potensi menjadi peneliti". Cuma itu, tidak lebih tidak kurang. Masalah apakah dia bisa menjadi peneliti yg baik adalah masalah lain, seperti orang punya SIM belum tentu bisa menjadi sopir taksi yg baik. Saya melihat banyak orang Indonesia dapat gelar doctor di Jepang, tapi setelah pulang mereka terus melakukan penelitian remeh temeh dan tidak bisa mengembangkan tema baru. Mereka bisa meneliti kalau ada pembimbingnya, sama dengan orang yg lulus ujian SIM karena ada instrukturnya yg duduk disebelahnya. Penelitian doctor itu cuma penelitian tingkat awal, pilot project dan bukan tujuan akhir. Kalau penelitain doctoral seseorang adalah produk akademis terbaiknya, ya dia sebaiknya tidak berkarier di dunia akademis. Di Jepang, lebih mudah menjadi doctor daripada menjadi tukang kayu spesialis kuil, yg perlu waktu latihan belasan tahun sebelum bisa ambil bagian yg signifikan dalam perbaikan kuil.

Doctor Honoris Causa beda dengan Doctor. Ini gelar kehormatan, yg diberikan belum tentu karena kontribusi akademis seseorang, lebih sering karena kontribusi politis, budaya atau sekedar basa basi. Megawati Soekarnoputri mendapat gelar honoris causa dari alamamater saya, Waseda University. Tapi tidak ada doctor dan prof. waras di Waseda yg mengharap Megawati bisa menghasilakan produk akademis. Sambutan tertulis di Waseda utk pengangkatannya isinya lebih banyak membahas ttg kontribusi bapaknya dalam hubungan bilateral Indonesia-Jepang. Kalau dia bukan anak Soekarno, presiden pertama RI, tapi anak Soekarno tukang klepon di pasar, mungkin lebih mudah bagi dia utk menjadi doktor dengan merangkak dari bawah daripada doctor honoris causa.

Prof. itu gelar akademispun bukan, ini gelar kepangkatan tertinggi di dunia akademis. Sama dengan direktur di suatu perusahaan. Dan di kebanyakan negara gelar ini tidak melekat seumur hidup. Kalau saya berhenti dari univ. besok, gelar prof. saya otomatis dicabut. Sangat aneh kalau ada seseorang yg mengaku bergelar Prof. tapi tidak bisa menunjukkan Prof. di mana. Ini seperti seorang yg mengaku direktur tapi tidak bisa menyebutkan perusahaannya. Yg melekat seumur hidup adalah gelar Emeritus Prof. Gelar ini diberikan pada prof. , yg telah pensiun tp pengabdiannya di dunia akademis selama kariernya signifikan, oleh institusinya. Ini berbeda dengan Prof. honoris causa yg kebanyakan diberikan sebagai gelar seremonial dan basa basi.

Seorang diangkat menjadi prof. karena dia diharapkan dapat mengarahkan misi akademis dan penelitian di institusinya. Dia diharapkan utk membuat blueprint pendidikan, sekaligus membimbing penelitian di tingkat doktoral dan di atasnya. Kemampuannya utk meneliti harus di atas calon2 doktor yg dibimbingnya. Dia harus mampu utk terus menerus menghasilkan produk penelitian yg jauh lebih baik dari penelitiannya sewaktu menjadi doktor. Di Indonesia, ini sering menjadi gelar para ndoro yg tugas utamanya berpidato membuka seminar, dan entah kapan terakhir meneliti dengan tangannya sendiri.

Sangat absurd kalau ada orang yg melakukan plagiarisme utk menjadi doctor atau prof. Mereka tidak mengerti sedikitpun ttg makna dari gelar yg akan mereka dapatkan secara instant itu. Mereka cuma tertarik akan remeh temeh penulisannya di depan atau belakang nama mereka dan mengharap orang lain tertipu akannya. Membeli gelar honoris causa lebih lucu lagi. 

Ini semua tidak akan terjadi kalau dunia akademis tidak meng-glorikasi gelar yg dikeluarkannya dan mau menempatkannya dalam proporsi yg waras.
Share: