Arogansi dan Keangkuhan Israel

Membaca artikel di MEMO (Middle East Monitor) berikut ini, hati saya begitu geram. Pendapat jurnalis Israel Gideon Leavy, bahwa akar dari segala perang di Palestina tak lain arogansi dan keangkuhan Israel, membuktikan kebenaran banyak ayat suci al-Qur'an maupun Alkitab yang menampilkan watak alamiah bangsa Yahudi Israel yang telah mereka miliki sejak zaman purba.

Di dalam Alkitab disebutkan: "Keangkuhan Israel menjadi saksi terhadap diri sendiri. Israel dan Efraim akan tersandung oleh kesalahan mereka sendiri, Yehuda pun akan tersandung bersama-sama mereka." (Hosea 5:5)

Watak Yahudi seperti itu didasari keangkuhan dan egoisitas komunal karena merasa "dianak-emaskan" oleh Allah. "Wahai Bani Israel, ingatlah nikmat Allah yang telah Aku berikan kepada kalian. Sungguh Aku telah memberikan keutamaan kepada kalian melebihi bangsa lain di muka bumi" (QS Al-Baqarah [2]: 47). 

Padahal keutamaan yang dimaksud dalam ayat itu bersyarat: jika mereka mau beriman kepada Allah, mematuhi syariat, dan mensyukuri nikmat-Nya. Dan semua ini dilanggar oleh mereka.

Tulisan yang saya sertakan berikut ini, sekali lagi, mencerminkan pandangan jurnalis Israel, Gideon Levy, yang paham betul Israel. Dia menyampaikan bahwa di balik semua yang terjadi, akar dari permasalahan di Timur Tengah bermula dari sikap angkuh Israel. Mereka percaya bahwa mereka dapat melakukan apa pun tanpa harus membayar konsekuensi atas tindakan mereka.

Israel dianggap terus melakukan tindakan-tindakan di wilayah Palestina, seperti penangkapan, pembunuhan, penindasan, dan pencurian. Hal ini terjadi tanpa ragu, bahkan mereka mengunjungi tempat-tempat suci di tanah Palestina. 

Levy menyebutkan bahwa Israel berpikir dapat mengontrol Gaza dengan memberi sedikit insentif, seperti izin kerja bagi beberapa ribu warga Palestina di Israel, namun ini hanya seperti setetes air di samudra. Kondisi hidup sebagian besar penduduk Gaza sangat sulit, dengan mayoritas dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan.

Levy juga mengomentari upaya perdamaian yang dilakukan Israel dengan negara-negara Arab seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Levy menganggap bahwa tindakan ini mengesampingkan perhatian terhadap nasib rakyat Palestina.

Pada akhirnya, Levy menegaskan bahwa kebanggaan Israel akan membawa mereka kepada harga yang mahal. Serangan terhadap pemukiman Israel di sekitar Jalur Gaza membuat Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan negaranya dalam keadaan perang dan mengancam akan menghukum warga Gaza. 

Meskipun demikian, Levy percaya bahwa ancaman ini tidak akan memberikan solusi. Israel selama ini telah menghukum Gaza sejak 1948 tanpa henti, dan ancaman untuk "menghancurkan Gaza" hanya membuktikan bahwa Israel belum belajar dari pengalaman masa lalu. Arrogansi tetap ada, bahkan setelah Israel kembali membayar harga yang mahal.

~ Ahmadie Thaha
Pengasuh Ma'had Tadabbur al-Qur'an.


Middle East Monitor

Israel expert: Are we allowed to be arrogant without paying a price?

October 9, 2023 at 12:17 pm

Israeli journalist Gideon Levy said in an article in Haaretz newspaper that Israel's arrogance is behind everything that has happened, adding that the Israelis thought they were allowed to do anything and that they wouldn't pay a price or be punished for it.

Levy went on to say: "We continue without uncertainty. We arrest, kill, mistreat, rob, protect settlers committing massacres, visit Joseph's Tomb, Othniel's Tomb, and Joshua's altar, all in the Palestinian territories, and of course we visit the "Temple Mount" [Al-Aqsa Mosque], with more than 5,000 Jews visiting it on Sukkot. We shoot innocent people, gouge out their eyes and smash their faces, deport them, confiscate their lands, rob them, kidnap them from their beds, and carry out ethnic cleansing. We also continue the unreasonable siege. And everything will be fine."

"We build a huge barrier around the Gaza Strip; its underground structure cost 3 billion shekels ($766 million) and we will be safe. We rely on the geniuses of Unit 8200 and the Shin Bet agents who know everything and will warn us at the right time. We move half the army from the Gaza enclave to the Huwara enclave just to secure the settlers' Sukkot celebrations, and everything will be fine, whether in Huwara or Erez. Then it turns out that a primitive, ancient bulldozer can break through even the most complex and expensive obstacles in the world with relative ease, when there is a great incentive to do so."

He added that Israel believed it could control Gaza by "throwing it crumbs here and there, in the form of a few thousand work permits in Israel", but this was "just a drop in the ocean, and is always conditional on good behaviour". A large majority of the 2.3 million Palestinians in the Gaza Strip live in poverty. According to UN figures from 2021, "81.5 per cent of individuals in Gaza, 71 per cent of whom are Palestine refugees, live below the national poverty line. Sixty-four percent are food insecure."

Commenting on recent remarks by Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu and efforts by his coalition to sign peace deals with Arab states, Levy said: "We make peace with Saudi Arabia and the UAE, and our hearts forget the Palestinians, so that they can be wiped out."

We thought we could arrogantly continue to reject any attempt at a political solution, simply because it was not convenient for us to engage in it, and everything would definitely continue like this forever. Once again, this proved not to be the case.

"Palestinians in Gaza have decided they are willing to pay anything for a glimpse of freedom."

As a result of the Palestinian resistance's attack on Israeli towns around the besieged Gaza Strip, Netanyahu has declared that Israel is at war and has threatened to punish Palestinians in Gaza. Levy, however, says this will achieve little. "However, Israel has been punishing Gaza since 1948, without stopping for a moment. 75 years of abuse, and the worst awaits it now. Threats to "flatten Gaza" prove only one thing: that we have learned nothing. Arrogance is here to stay, even after Israel has once again paid a heavy price."
Share:

Isti'adzah Sebelum Membaca al-Qur'an

Pagi ini, di atas kereta komuter Jakarta-Bogor, seperti biasa saya menyempatkan diri membaca al-Qur'an. Saya menyelesaikan tepat satu juz alias 20 halaman, menuntaskan jadwal baca harian satu juz. Kebetulan suasana kereta cukup enak, penumpang jarang yang berdiri, meski kursi penuh.

Bacaan al-Quran saya antara lain tiba di ayat 98 surat An-Nahl (16). Bunyinya:
فَإِذَا قَرَأْتَ ٱلْقُرْءَانَ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ 

Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur'an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. (Qs. An-Nahl [16]: 98)

Saya pikir, saya perlu membuat catatan sekilas soal yang disinggung ayat ini, untuk mengingatkan diri saya sendiri tentang pentingnya membaca isti'adzah. Sebab, ketika dalam kondisi terburu-buru, kadang saya lupa membacanya. Padahal, Allah Swt telah menegaskan kepada Nab Muhammad ﷺ agar beliau lebih dahulu membaca doa istiadzah sebelum mulai membaca al-Qur'an. 

Isti'adzah, yang berarti mencari perlindungan, adalah praktik mencari perlindungan dan lindungan kepada Allah dari pengaruh setan sebelum terlibat dengan Al-Qur'an. Ayat dalam Surah An-Nahl (16): 98 memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk mencari perlindungan ini, memberikan contoh bagi semua umat Muslim.

Praktik ini penting karena membantu kita untuk menjaga koneksi yang fokus dan tulus dengan Al-Qur'an. Isti'adzah perlu kita baca untuk memastikan kita bahwa Allah akan melindungi kita dari gangguan dan pengaruh negatif setan. 

Bahkan Nabi Muhammad ﷺ pun diperintahkan untuk mencari perlindungan. Ini menegaskan pentingnya isti'adzah bagi semua orang. Apalagi saat kita membaca al-Qur'an, ketika kita berusaha terhubung dengan setiap kata dan firman Allah.

Al-Qur'an memberikan petunjuk untuk kehidupan yang abadi. Maka, upaya kita mencari perlindungan dari godaan setan yang terkutuk, sebelum terlibat dengannya, membantu kita memahami makna sejati ayat-ayat suci dan tetap berada di jalan yang benar.

Sumber-sumber tafsir menekankan bahwa setan sangat gigih dalam mencoba mengalihkan orang-orang yang beriman dari pemahaman Al-Qur'an. Dengan mencari perlindungan kepada Allah, kita memperkuat hati dan pikiran kita menghadapi kemungkinan gangguan ini, sehingga memungkinkan kita mendekati al-Qur'an dengan penuh dedikasi, refleksi, dan iman.

Instruksi untuk mencari perlindungan dari setan saat membaca al-Qur'an bukanlah wajib, sebagaimana konsensus para ulama. Namun, itu sangat dianjurkan (nawafil). Hal ini dilakukan terutama sebelum memulai membaca al-Qur'an, untuk mencegah hambatan dalam memahami kitab suci dan fokus pada bacaannya. 

Ayat ini sekaligus berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya memulai keterlibatan apa pun dengan Al-Qur'an dengan niat yang tulus ikhlas. Betapa pun kuat fisik kita, kita tetap memohon perlindungan kepada Allah dengan mengucapkan: 
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.

Kita baca itu dengan merenungkan maknanya, berserah diri dengan sepenuh hati kepada Allah untuk mengalihkan perhatian setan yang hendak mengganggu kita. Kita terus berupaya mengenyahkan obsesi dan pikiran buruk setan, serta berusaha mencari cara paling ampuh untuk mengusirnya, yaitu dengan menghiasi jiwa dan pikiran kita dengan keimanan dan ketawakkalan.

~ Ahmadie Thaha
Pengasuh Ma'had Tadabbur al-Qur'an
Share:

Jon Olav Fosse, Pemenang Nobel Sastra 2023

"Kehilangan arah, itulah pengalaman manusia yang paling kuat, yang membawa kita lebih mendekati pengalaman mendalam yang mirip dengan keilahian." 

Demikian kutipan tak langsung dari tulisan Jon Fosse, sastrawan yang baru saja memenangkan hadiah Nobel Sastra 2023, penghargaan tertinggi dan diakui dunia.

"Dalam kehidupan sehari-hari yang dikenali dengan cepat, kita menemukan momen-momen kritis dari ketidakpastian," tulis Fosse berikutnya. Dia merekam berbagai kehidupan sehari-hari, dan sering mendapatkan momen kritis, seperti bunuh diri.

Di salah satu karyanya, yang pertama, 'Raudt, svart' (1983), dia memang membahas tema bunuh diri. Di sini, dia dengan bahasa sederhana menggambarkan sifat pemberontakan dan sikap emosionalnya. 

Fosse menciptakan suasana yang menghadirkan perasaan kehilangan arah manusia dan bagaimana hal ini memberikan akses pada pengalaman mendalam yang mendekati pengalaman keilahian. Agama seolah hadir menjadi tema.

Di karya bukunya yang kedua, 'Sterk vind' (2021), dia menunjukkan peningkatan penggunaan gambar dan simbolisme dalam lakon-lakonnya. Ini menunjukkan kekayaan bahasanya.

Sejak penerbitan koleksi puisi pertamanya pada tahun 1986, Fosse selalu memanfaatkan bahasa lirik sebagai sumber daya penting dalam penulisannya. "Bahasa lirik selalu menjadi sumber daya penting bagi saya dalam menciptakan karya-karya saya," akunya.

Jon Fosse, penulis Norwegia, diganjar penghargaan Nobel Sastra pada 2023, "atas karyanya yang inovatif dalam bentuk sandiwara dan prosa yang memberikan suara pada hal-hal yang tak terucapkan." Dia mampu mengungkap bagian-bagian terdalam pengalaman manusia.

Lahir pada 1959 di Haugesund, pesisir barat Norwegia, Fosse memiliki sejumlah karya yang ditulis dalam bahasa Norwegia Nynorsk. Karya-karyanya mencakup berbagai genre seperti sandiwara, novel, puisi, esai, buku anak-anak, dan terjemahan.

Bukti kesuksesannya di panggung internasional terwujud pada sandiwara produksi Paris, 'Nokon kjem til å komme' (1996) pada 1999. Dalam bahasa Inggris, judul karya ini menjadi 'Someone Is Going to Come' (2002).

Karya ini membawa tema antisipasi takut dan cemburu yang melumpuhkan. Di sini dia menunjukkan keunikannya melalui bahasa yang sederhana namun mendalam untuk menggambarkan emosi manusia yang paling kuat.

Fosse menggabungkan akar lokal yang kuat dengan teknik seni modern, mirip dengan penulis pendahulunya dalam sastra Norwegia Nynorsk, Tarjei Vesaas. Dalam karya-karya Fosse, seperti dalam 'Stengd gitar' (1985), ia menyajikan momen kritis dari ketidakpastian dengan cara yang menggugah. 

Gaya penulisan "minimalisme Fosse" yang ditonjolkan dalam karya-karyanya, membawa nuansa kehidupan sehari-hari yang dikenali dengan cepat oleh pembaca.

Penghargaan Nobel Sastra 2023 untuk Jon Fosse mengakui kontribusinya yang luar biasa dalam membentuk sastra kontemporer dengan penyederhanaan bahasa yang kuat, mendalam, dan mencerminkan kehangatan, humor, dan kerentanannya terhadap pengalaman manusia yang tegas. 

Karya-karyanya menavigasi batas-batas bahasa dan memperkaya diksi dasarnya, menjadikannya inovator besar dalam teater modern. Penghargaan Nobel baginya seolah hendak membangkitkan kembali seni teater yang kini tergusur oleh pentas-pentas digital.

~ Ahmadie Thaha
Pengasuh Ma'had Tadabbur al-Qur'an
Share: