Kitab Perukunan dan Resep Shalat Paling Tertib Sedunia

M. Ishom el-Saha

Muslim Nusantara secara kolektif dikenal shalatnya paling tertib. Hal ini dapat dibuktikan pada saat berjamaah di Masjid Haram Mekkah maupun Masjid Nabawi Madinah. Jika jamaah asal negeri lain tampak melakukan gerakan aneh, seperti garuk-garuk, mengusap dengan tangan, "meraih" HP dan anak kecil yang aktif, dll; maka muslim Nusantara tampak khidmah mengerjakan shalatnya.

Shalat yang sedemikian khidmah dan tertib yang dilakukan muslim nusantara merupakan praktek dari resep shalat yang diajarkan dalam "Kitab Perukunan". Di Nusantara, kitab ini pertamakali ditulis ulama besar asal Banjarmasin, yakni Syekh Arsyad Al-Banjari, dalam buku besar berjudul Sabilul Muhtadin.

Beliau adalah ulama Nusantara abad XVIII seangkatan dengan Syekh Abdus Shomad al-Falimbani (Palembang), Syekh Abdul Wahhab al-Maqassari (Bugis), dan Syekh Abdurrahman al-Mishri al-Batawi (Jakarta). Mereka adalah para murid sufi terkenal yang belajar kepada Syekh Muhammad b. Abdul Karim al-Sammani di Madinah.

Kitab Perukunan disebut sebagai karya Syekh Arsyad sebab apa yang kemudian populer di tengah masyarakat dengan sebutan "Kitab Perukunan Jamaluddin" atau "Perukunan Fathimah" adalah salinan salah satu bab dari kitab Sabilul Muhtadin. 

Nama Jamaluddin maupun Fathimah yang melekat pada judul kitab Perukunan pada dasarnya "bukan orang lain" dari Syekh Arsyad. Jamaluddin adalah putra Syekh Arsyad sementara Fathimah adalah cucu Syekh Arsyad.

Kitab perukunan yang berisi resep praktis tatacara shalat pertama kali diterbitkan oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekkah, pada tahun 1315 H/1897 M. Selanjutnya diterbitkan di Singapura pada tahun 1318 H. Setelah itu diulang cetak  di Bombay, Thailand, Indonesia dan Malaysia. Hal ini menunjukkan Kitab Perukunan sangat berpengaruh bagi masyarakat Islam dunia.

Di Nusantara sendiri, Kitab Perukunan telah mengilhami para ulama Nusantara lainnya untuk disadur dan diterjemahkan ke bahasa daerah lainnya. Sebagai contoh, Sayyid Utsman al-Batawi, ulama abad XIX yang menulis Kitab Babul Minan. Kitab berbahasa Melayu ini sangat masyhur di kalangan masyarakat Betawi dan biasa dijadikan pegangan untuk santri pemula dan kalangan yang baru belajar agama.

Di Jawa, juga telah lahir kitab Perukunan berbahasa Jawa yang pertama ditulis oleh KH. Muhammad Sholeh b. Umar atau lebih dikenal dengan sebutan Kiai Sholeh Darat, ulama Semarang abad XIX. Kitab itu diberi judul "Fasholatan" yang pertamakali diterbitkan di Bombay dan setelah beliau wafat dicetak berulang-ulang di Surabaya.

Kitab Perukunan "Fasholatan" berbahasa Jawa juga ditulis oleh ulama asal Kudus, KH.R. Asnawi. Kitab ini diterbitkan oleh penerbit Menara Kudus pada tahun 1970 dan sampai sekarang masih dibaca dan diajarkan untuk santri-santri pemula.

Adapun di daerah Pasundan, Kitab Perukunan telah diterjemahkan oleh ulama Sukabumi, Mamah Hasan Basri dengan judul Kitab Perukunan Sunda. Beliau adalah salah satu murid Mamah Sempur yang pernah belajar kepada Sayyid Utsman al-Batawi. Kitab Perukunan berbahasa Sunda yang ditulis Mamah Hasan Basri ini dibaca dan diajarkan kepada kalangan yang baru belajar agama di seluruh Pasundan.

Kitab Perukunan yang telah disalin ke dalam bahasa daerah dan digunakan oleh tiap-tiap muslim di seluruh Nusantara menandakan kemasyhuran tata cara shalat muslim Nusantara. Dari mulai bacaan "nawaitu" dan "ushalli" lengkap dengan kaifiyah dan tata caranya merupakan bukti kehati-hatian masyarakat Nusantara dalam menjalankan peribadatan.

Atas dasar inilah, sangat wajar jika kitab Perukunan berpengaruh besar dalam ketertiban muslim Nusantara mengerjakan shalat. Dan jika sekarang ini kita menyaksikan segelintir muslim nusantara yang shalatnya kurang tertib maka hal itu karena mereka belum pernah belajar Kitab Perukunan. Wallahu a'lam.
Share: