Glorifikasi Gelar Akademis tanpa Esensi

Prof. Dr. Pitoyo Hartono

Dalam satu bulan ini dua kali Tempo mengangkat tema yg bersinggungan dengan carut marutnya dunia akademis di Indonesia. Satu plagiarisme utk mendapat posisi akademis dan satu lagi ttg obral receh doctor honoris causa.

Ini sangat menggelikan, dan juga menjijikkan. Ini terjadi karena ada glorifikasi gelar akademis dan ketidaktahuan dari orang2 yg menginginkan gelar instant semacam ini, dan ketidakmauan akademisi di Indonesia utk menjelaskan arti ttg gelar akademis ini, mungkin utk menjaga "nilai" gelar mereka sendiri.

Saya punya gelar doctor dan juga prof., sehingga saya merasa qualified utk menerangkan arti ttg kedua gelar ini. Saya katakan bahwa kedua gelar ini sama sekali tidak istimewa, tidak ada yg sakral ttg dua gelar ini, tidak juga menunjukkan bahwa yg punya pintar. Ini cuma menunjukkan bahwa dia pernah mempertahankan disertasi tingkat doctoral dan sekarang bekerja di institusi pendidikan atau penelitian, titik. Ini bisa dilakukan utk sebagian besar orang yg memilih jalur karir ini dan mau berusaha utk menjalaninya. Hanya, seperti profesi lainnya bisa sukses bisa tidak. Utk kebanyakan dunia luar yg tidak relevan, gelar semacam ini sebaiknya disikapi dng "terus kenapa ? bodo amat".

Doctor atau Ph.D. adalah gelar akademis tertinggi yg bisa didapat oleh seseorang. Gelar ini melekat seumur hidup, meskipun bisa dicabut kalau ditemukan kecurangan dalam proses memperolehnya. Gelar ini diberikan pada orang yg bisa menemukan satu tema penelitian yg punya novelty (sesuatu yg baru) di bidangnya, mengeksekusi penelitian itu, menarik kesimpulan darinya, berargumen ttg novelty yg di-claimnya, dan mempertahankan metodology dan claimnya di hadapan panel ahli. Gelar ini semacam lisensi yg menyatakan bahwa "orang ini punya potensi menjadi peneliti". Cuma itu, tidak lebih tidak kurang. Masalah apakah dia bisa menjadi peneliti yg baik adalah masalah lain, seperti orang punya SIM belum tentu bisa menjadi sopir taksi yg baik. Saya melihat banyak orang Indonesia dapat gelar doctor di Jepang, tapi setelah pulang mereka terus melakukan penelitian remeh temeh dan tidak bisa mengembangkan tema baru. Mereka bisa meneliti kalau ada pembimbingnya, sama dengan orang yg lulus ujian SIM karena ada instrukturnya yg duduk disebelahnya. Penelitian doctor itu cuma penelitian tingkat awal, pilot project dan bukan tujuan akhir. Kalau penelitain doctoral seseorang adalah produk akademis terbaiknya, ya dia sebaiknya tidak berkarier di dunia akademis. Di Jepang, lebih mudah menjadi doctor daripada menjadi tukang kayu spesialis kuil, yg perlu waktu latihan belasan tahun sebelum bisa ambil bagian yg signifikan dalam perbaikan kuil.

Doctor Honoris Causa beda dengan Doctor. Ini gelar kehormatan, yg diberikan belum tentu karena kontribusi akademis seseorang, lebih sering karena kontribusi politis, budaya atau sekedar basa basi. Megawati Soekarnoputri mendapat gelar honoris causa dari alamamater saya, Waseda University. Tapi tidak ada doctor dan prof. waras di Waseda yg mengharap Megawati bisa menghasilakan produk akademis. Sambutan tertulis di Waseda utk pengangkatannya isinya lebih banyak membahas ttg kontribusi bapaknya dalam hubungan bilateral Indonesia-Jepang. Kalau dia bukan anak Soekarno, presiden pertama RI, tapi anak Soekarno tukang klepon di pasar, mungkin lebih mudah bagi dia utk menjadi doktor dengan merangkak dari bawah daripada doctor honoris causa.

Prof. itu gelar akademispun bukan, ini gelar kepangkatan tertinggi di dunia akademis. Sama dengan direktur di suatu perusahaan. Dan di kebanyakan negara gelar ini tidak melekat seumur hidup. Kalau saya berhenti dari univ. besok, gelar prof. saya otomatis dicabut. Sangat aneh kalau ada seseorang yg mengaku bergelar Prof. tapi tidak bisa menunjukkan Prof. di mana. Ini seperti seorang yg mengaku direktur tapi tidak bisa menyebutkan perusahaannya. Yg melekat seumur hidup adalah gelar Emeritus Prof. Gelar ini diberikan pada prof. , yg telah pensiun tp pengabdiannya di dunia akademis selama kariernya signifikan, oleh institusinya. Ini berbeda dengan Prof. honoris causa yg kebanyakan diberikan sebagai gelar seremonial dan basa basi.

Seorang diangkat menjadi prof. karena dia diharapkan dapat mengarahkan misi akademis dan penelitian di institusinya. Dia diharapkan utk membuat blueprint pendidikan, sekaligus membimbing penelitian di tingkat doktoral dan di atasnya. Kemampuannya utk meneliti harus di atas calon2 doktor yg dibimbingnya. Dia harus mampu utk terus menerus menghasilkan produk penelitian yg jauh lebih baik dari penelitiannya sewaktu menjadi doktor. Di Indonesia, ini sering menjadi gelar para ndoro yg tugas utamanya berpidato membuka seminar, dan entah kapan terakhir meneliti dengan tangannya sendiri.

Sangat absurd kalau ada orang yg melakukan plagiarisme utk menjadi doctor atau prof. Mereka tidak mengerti sedikitpun ttg makna dari gelar yg akan mereka dapatkan secara instant itu. Mereka cuma tertarik akan remeh temeh penulisannya di depan atau belakang nama mereka dan mengharap orang lain tertipu akannya. Membeli gelar honoris causa lebih lucu lagi. 

Ini semua tidak akan terjadi kalau dunia akademis tidak meng-glorikasi gelar yg dikeluarkannya dan mau menempatkannya dalam proporsi yg waras.
Share:

Tidak ada komentar: