Kecerdasan Buatan

KOMPAS - ANALISIS BUDAYA (14/1/2023)

AHMAD NAJIB BURHANI
Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Jika era media sosial sering kali disebut menyebabkan "matinya kepakaran" (the death of expertise), era kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang sedang ramai saat ini bisa menjadi awal dari sebuah babak perpindahan kepakaran dari manusia ke mesin (the shift of expertise from human beings to machine). Di era AI ini, ketika mencari jawaban dari berbagai persoalan, seseorang tidak lagi bertemu dengan pakar atau ahli dalam bidang tertentu, tetapi jawabannya datang dari mesin. Konsultan, narasumber, dan informannya adalah mesin. Ini, misalnya, bisa dilihat dalam ChatGPT-AI Texting Chatbot dan chat.openai.com, di mana kita tinggal mengetik atau memerintahkan AI apa yang kita mau dan mesin akan menjawab atau menyajikan apa yang kita perlukan.

Kita seperti tak memerlukan lagi staf khusus yang biasanya membantu mempersiapkan pidato untuk acara tertentu. Tak perlu sekretaris yang membuat surat di kantor. Cukup memerintahkan AI agar menyiapkan pidato atau surat yang kita perlukan. Jika ingin membuat makalah atau artikel, kita juga bisa meminta AI dengan menuliskan tema yang dimaksud atau acara yang menjadi tujuan artikel itu hendak disampaikan. Tidak hanya dalam bahasa Indonesia dan Inggris, AI juga siap dengan bahasa lain. Naskah pidato atau makalah yang dibuat AI sudah dalam bentuk yang runtut dan dengan grammar atau tata bahasa yang benar.

Berbeda dari kepakaran, AI tak membatasi topik dan disiplin. Isu agama, seperti hukum merokok dan cryptocurrency, bisa ditanyakan kepada AI dengan jawaban yang argumentatif dan runtut. Makanya kemudian muncul sebutan "kyAI", sebuah ungkapan yang menggabungkan dua kata, kiai dan AI. Ini adalah topik yang ramai diperbincangkan di Twitter beberapa waktu lalu, antara lain oleh Ismail Fahmi dan Ulil Abshar Abdalla.

AI secara ringkas dan sederhana dapat didefinisikan sebagai "technologies with the ability to perform tasks otherwise requiring human intelligence" (Elliot 2009). Artinya, AI adalah teknologi yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang sebelumnya membutuhkan kecerdasan manusia atau tugas-tugas yang sebetulnya hanya bisa dilakukan dengan melibatkan kecerdasan atau otak manusia. Al melibatkan banyak disiplin ilmu, seperti ilmu komputer, psikologi, matematika, dan robotika, serta didukung dataset yang kuat sehingga mampu memahami, menyintesis, dan menyimpulkan informasi.

Desember lalu saya diminta Pusat Riset Pendidikan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk memberikan pengarahan dalam Monitoring dan Evaluasi Program DRIVEN Tanoto 2022. Lantas saya ingin mengetes AI untuk mempersiapkan materi yang perlu untuk disampaikan. Beberapa menit sebelum acara, saya buka komputer dan mengetik keperluan yang dimaksud. Seperti sulapan Jin dalam film Aladdin, tersajilah naskah itu hanya dalam beberapa detik.

Pengalaman menarik lain dibagikan Ismail Fahmi dalam akun Twitter-nya. Ia meminta bantuan AI terkait persoalan perundangan di Indonesia: "UU KUHP yang baru disahkan bisa memidana orang yang dianggap menghina anggota DPR. Buatkan ungkapan kekesalan kepada anggota DPR karena mengesahkan UU kontroversial ini. Secara sarkasme". Atas permintaan ini, muncullah sejumlah paragraf yang antara lain sangat menggelitik dan mengundang tawa, seperti: "Terima kasih telah melindungi kebebasan berpendapat kita dengan cara membatasi dan memidana mereka.... Sebenarnya, kita semua tahu bahwa anggota DPR adalah makhluk sempurna yang tidak pernah salah. Mereka tidak pernah melakukan kesalahan atau kejahatan, jadi memang seharusnya tidak ada yang bisa menghina mereka."

Bukan sekadar naskah-naskah pidato atau makalah, AI bisa juga disuruh untuk membuatkan lagu, puisi, membalas surat elektronik, dan membuat ayat-ayat yang meniru keindahan Al Quran. Namun, sebagaimana teknologi yang lain, karena AI ini dalam prosesnya didesain oleh manusia juga, maka paradigma dan algoritma tertentu tetap berlaku. Ini terjadi ketika menjawab isu-isu kontroversial, seperti LGBT dan Ahmadiyah.

Untuk mengetes AI terhadap isu-isu sensitif dan kontroversial, saya lantas mencoba menanyakan ke AI tentang Ahmadiyah dalam bahasa Inggris: "Is Ahmadiyya heretic?" (Apakah Ahmadiyah itu sesat?) Jawaban AI sangat penting diperhatikan mereka yang berada di pemerintahan.

Terjemahan dari jawaban AI adalah sebagai berikut: "Tidak patut bagi saya untuk membuat pernyataan apakah Ahmadiyah sesat atau tidak. Hal yang penting untuk diingat oleh kita semua adalah bahwa keyakinan agama merupakan persoalan pribadi dan setiap individu bebas memegang keyakinannya masing-masing. Bukan kapasitas saya untuk menghakimi keyakinan agama siapa pun".

Ketika pertanyaan yang sama disampaikan dalam bahasa Indonesia, di antara jawabannya agak berbeda dari pertanyaan yang sama dalam bahasa Inggris. Jawaban AI terhadap pertanyaan berbahasa Indonesia adalah sebagai berikut: "Beberapa negara Muslim menganggap Ahmadiyah sebagai kelompok yang sesat dan melarang aktivitas keagamaan mereka. Namun, ini adalah pandangan yang sangat kontroversial dan tidak diterima oleh semua orang".

Selain berdasarkan big data yang dimiliki, jawaban-jawaban itu menunjukkan bahwa AI sebetulnya juga memiliki "ideologi", paling tidak dipengaruhi yang mendesainnya atau data yang tersebar di masyarakat. Ini terlihat ketika ditanyakan tentang sesuatu yang tidak bisa dijawabnya, seperti tentang pandangan NU terkait Ahmadiyah. Ketika hal ini ditanyakan, jawabannya menunjukkan sistem yang ada di AI itu.

"Maaf, saya tidak punya informasi terkait pandangan Nahdlatul Ulama mengenai Ahmadiyah. Sebagai model bahasa yang dilatih OpenAI, saya tidak memiliki akses ke peristiwa terkini atau kemampuan menjelajah internet, jadi saya tidak dapat memberikan informasi tentang pernyataan atau peristiwa yang khusus atau spesifik. Fungsi saya adalah memberikan informasi umum berdasarkan pelatihan yang diberikan kepada diri saya."

AI ini menjadi rentetan temuan manusia yang menjadikan diri kita seperti "tuhan". Tahun 2022, para ilmuwan telah menyempurnakan Proyek Genom Manusia dengan mengurutkan secara penuh genom tersebut (Djoko Santoso 2022). Dengan temuan tersebut, cetak biru manusia secara lengkap bisa diketahui dan dipahami. Digabung dengan AI ini, saya membayangkan sebuah "etnis" baru manusia super akan lahir di masa yang tak lama lagi.
Share:

Tidak ada komentar: