Pesan Sejahtera bagi Para Petani


HENDRA  ”Kribo” Affandi (54), petani Kampung Cidahu, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, memberikan pesan bagi negeri ini, petani di Tanah Air pun bisa hidup sejahtera.

Oleh: Cornelius Helmy

Petani yang akrab disapa Ibo ini tidak memiliki sawah yang luas. Sawahnya hanya sekitar 0,9 hektar. Namun, dalam sekali panen, dia bisa mendapatkan hasil 7,5 ton-8 ton padi. Dengan harga jual beras berkisar Rp 8.000-Rp 10.000 per kilogram, dikurangi biaya tanam sekitar Rp 2 juta, Ibo mendapatkan keuntungan Rp 4,6 juta-Rp 6 juta per musim panen. Ini berarti, dia bisa mendapatkan sekitar dua kali lipat ketimbang penghasilan yang biasa diperoleh petani lain.

”Kuncinya, kita bersahabat dengan alam karena sesama sahabat tidak akan saling menyakiti,” kata Ibo memberi alasan.

Pola tanam organik menjadi jembatannya. Sejak 12 tahun lalu, dia meninggalkan pestisida kimia yang rentan merusak. Ibo menggantinya dengan olahan buah busuk, ikan asin, dan air cucian beras. Kompos dari kotoran hewan juga ia yakini jauh lebih aman dan bergizi bagi padinya.

Padi lokal yang ditanam Ibo, seperti sintanur, padi hitam, dan aek sibundong, tidak dibiarkannya berebut nutrisi. Pada setiap lubang di tanah, dia hanya menanam satu tangkai. Hasilnya ternyata memuaskan karena akar dan tangkai padi mendapatkan nutrisi yang cukup.

Untuk jenis padi tertentu, seperti padi hitam, tingginya bisa mencapai sekitar 1 meter. Sementara untuk menyempurnakan kesuburan tanah, Ibo tak membiarkan air menggenang. Dia menyadari, padi bukan tanaman air, tetapi padi pun membutuhkan air.

”Jika kita rawat tanaman padi itu dengan baik, padi akan memberikan hasil yang sama (baiknya) bagi kita,” kata Ibo meyakinkan.

Pelatihan
Padi organik tidak hanya memberikan dia rezeki berupa materi. Hidup Ibo pun berubah total setelah tekun mengembangkan padi organik. Sebelumnya, Ibo muda bisa dikatakan lebih akrab dengan ”dunia hitam” di Bali dan Jakarta. Sewaktu masih muda, Ibo mengaku memilki banyak kebiasaan buruk yang biasa dia lakukan tanpa beban.

”Uang memang seperti tidak berhenti mengalir, tetapi lama-kelamaan saya merasa ada yang kurang. Hati saya rasanya tidak nyaman. Pergi merantau tahun 1978, saya pulang kampung tujuh tahun kemudian,”
katanya.

Pada masa awal pulang kampung, Ibo masuk pesantren selama sekitar lima tahun. Ia ingin lepas dari ”dunia hitam” yang sebelumnya dia jalani. Namun, beberapa usahanya tidak berjalan mulus.

Hati dan pikiran Ibo baru menemukan ketenangan ketika mendapatkan pelatihan bertanam padi organik dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya, awal tahun 2000.

Pelatihan yang berlangsung selama dua hari itu memberikan Ibo ilmu pengetahuan baru. Tidak menunggu lama, dia kemudian menerapkan metode pertanian baru itu di lahan pemberian orangtuanya seluas 0,9 hektar.

Namun, karena masih minim pengetahuan, usaha Ibo tidak membuahkan hasil. Waktu itu, dia menanam saat musim kemarau, dengan kondisi tanah yang tidak subur setelah sebelumnya dihajar pupuk dan pestisida kimia. Cibiran orang di sekitar pun dirasakan Ibo.

Dia tidak menyerah. Saat hujan mulai turun, Ibo kembali mencoba menanam padi. Kali ini harapannya tidak meleset. Hasil panennya jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil sawah konvensional milik sebagian tetangganya.

”Sejak itu, saya yakin inilah yang selama ini dicari para petani. Kami juga bisa hidup sejahtera dengan cara menanam padi seperti ini,” ujar Ibo.

Kunci utama
Ibo tidak pelit. Kesuksesannya bertani organik ditularkan kepada petani lain yang ingin belajar. Siapa pun yang datang ingin belajar, dia terima dengan tangan terbuka. Mereka adalah petani biasa hingga peneliti dari sejumlah universitas. Ada pula pelukis jalanan di Cikapundung, Bandung, hingga petani stroberi di Malangbong, Garut.

Terinspirasi dari rambutnya yang kribo, Ibo memperkenalkan kunci utama mengembangkan padi organik. ”K adalah kreatif, R yaitu rakyat,
I artinya inovatif, B sama dengan budidaya, dan O harus menerapkan organik,” ujarnya.

Kerelaan Ibo tersebut membuahkan hasil. Sejak 2008, ada lebih dari 4.000 orang yang belajar kepadanya. Banyak orang datang ke rumahnya di Tasikmalaya. Dia pun tak jarang mendatangi sejumlah daerah untuk memenuhi undangan mereka. Ia tidak menetapkan biaya tertentu. Semua yang diberikan pengundang, dia terima dengan senang hati.

”Banyak juga (mereka yang datang kepada Ibo) lulusan S-1 dan S-2. Mereka senang dan mengucapkan terima kasih setelah belajar di sini,” katanya.

Petani dari Malaysia juga merasakan keikhlasan Ibo untuk berbagi pengetahuan. Pada 2012, dia diundang mengunjungi Perak dan Perlis, Malaysia. Hingga kini, dia masih sering diundang untuk memberikan pelatihan dan evaluasi penanaman padi organik.

Ilmu baru
Ibo bercerita, setiap kali diundang, dia tidak melulu memberikan ilmu baru, justru sering pula banyak pengetahuan baru yang dia dapatkan dari pihak pengundang. Salah satunya saat melihat begitu banyak burung berharga mahal di Indonesia yang dibiarkan berkeliaran di Malaysia. Saat ia bertanya, mengapa burung-burung itu tak ditangkap, Ibo mendapat jawaban mengejutkan.

”Mereka dilarang menangkap burung agar suaranya bisa dinikmati banyak orang. Burung juga menjadi hewan pemakan hama yang baik,” kata Ibo menirukan ucapan salah seorang petani.

”Pulang dari Malaysia, semua burung peliharaan langsung saya lepas. Saya merasa malu,” katanya.

Banyak berbicara di luar kota, Ibo tidak melupakan kampung halaman. Sekitar 5.000 petani di Tasikmalaya kini menerapkan pola tanam padi organik. Dari jumlah itu, sebanyak 30 petani dididik Ibo agar bisa meneruskan jejaknya sebagai petani pendamping pertanian organik.

Sama seperti dia dulu, banyak di antara petani pendamping didikannya itu awalnya tidak mengetahui tentang padi organik. Salah satunya adalah Wawan (36), warga Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya. Sudah enam bulan Wawan bekerja dan belajar di rumah Ibo.

Dari awalnya bekerja sebagai buruh bangunan berpenghasilan sekitar Rp 30.000 per hari, kini Wawan punya pengetahuan baru tentang padi organik. Beberapa kali dia membantu Ibo membuat kompos dan pestisida organik. ”Bonusnya”, Wawan dibayar Rp 40.000 per hari.

”Saya anggap itu bonus. Ini bukan besar kecilnya nilai uang, melainkan pengetahuan saya jadi bertambah. Bulan depan, saya dipercaya Kang Ibo menjadi pendamping petani organik di Cianjur. Saya senang bisa berguna bagi banyak orang,” kata Wawan.

—————————————————————————
Hendra ”Kribo” Affandi
♦ Lahir: Tasikmalaya, 22 September 1960
♦ Istri: Umi Kulsum
♦ Anak: Fitri Wilda Fitriyah, Nada Ahsana Mauliuda, Naffa Fie Sabiliah, dan Khalia Amalia
♦ Pendidikan:
-  SDN Nusawangi, Tasikmalaya, lulus 1972
- Pendidikan Guru Agama, Tasikmalaya, tidak lulus
♦ Penghargaan: Petani Berprestasi Tasikmalaya, 2010.

(Kompas, Selasa 9/9/2014)
Share:

Tidak ada komentar: