Mengatasi Korupsi Melalui Bahasa Kasar

Korupsi di Indonesia sudah begitu merajalela dan sulit diatasi, bahkan oleh lembaga antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Muncul ide, mungkin satu-satunya cara menghilangkan korupsi adalah mengganti istilah yang sudah kehilangan makna ini dengan kata lain yang lebih menohok.

"Ganti korupsi dengan kata yg sudah lama ada dan masih dipakai di kalangan rakyat, seperti garong, rampok, begal," kata Farid Gaban, aktivis dan jurnalis yang bersama tiga rekannya baru balik dari Ekspedisi Indonesia Baru, berkeliling Indonesia lebih dari 400 hari menggunakan sepeda motor. 

Namun, diakuinya, kata-kata asli apa adanya yg berlaku di kalangan rakyat kebanyakan masih harus diperkenalkan kembali dalam kosakata politik sehari-hari, seperti jancuk, bajingan, tolol, dan kata-kata kasar lain serupa.

"Ini bisa dimulai dengan para wartawan dan media menolak eufemisme," tegasnya dalam percakapan di suatu grup medsos. Dia memberi contoh, bayangkan berita di televisi bunyinya begini:

"Para pemirsa, Kejaksaan hari ini telah menangkap Menteri X yang menggarong uang negara."

"Bajingan itu berasal dari partai anu yang reputasinya jancukan semua."

"Presiden negeri itu juga tolol karena tidak bisa mengendalikan kabinet. Bukan cuma satu, enam menterinya terlibat merampok duit rakyat. Asu semua!"

Meskipun gagasan ini dapat memicu perdebatan, penting mempertimbangkan pendekatan alternatif tadi untuk memberantas korupsi yang sudah membudaya. Sekali lagi, korupsi telah begitu merajalela dan sulit diatasi selama bertahun-tahun. 

Meskipun lembaga antikorupsi sudah berupaya keras mengatasinya, dan sering diintervensi pihak tertentu, perubahan signifikan masih sulit dicapai. Maka, usulan penggantian kata "korupsi" dengan istilah-istilah kasar yang sudah lama ada dalam bahasa sehari-hari dipastikan dapat memiliki efek psikologis yang kuat. 

Bahasa yang tegas dan jujur dapat membantu masyarakat memahami dampak negatif dari tindakan korupsi dan merasa lebih terhubung dengan masalah tersebut. Namun, bersamaan dengan itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Pertama, Perubahan Budaya: Penggantian kata tidak akan berhasil tanpa perubahan budaya yang mendalam. Peningkatan kesadaran tentang korupsi dan penolakan terhadapnya harus didorong secara aktif melalui pendidikan, kampanye, dan kebijakan pemerintah yang transparan dan adil.

Kedua, Media dan Wartawan: Media memiliki peran penting dalam membentuk opini publik. Jika media dan wartawan menggunakan bahasa yang tegas, menohok dan jujur dalam melaporkan kasus korupsi, hal ini dapat membantu mempengaruhi perubahan sikap masyarakat.

Ketiga, Kepemimpinan yang Teladan: Para pemimpin, terutama di tingkat politik, harus menjadi teladan dalam berjuang melawan korupsi. Mereka harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk memerangi korupsi dan tidak boleh terlibat dalam tindakan korupsi.

Keempat, Hukuman yang Tegas: Penting untuk memastikan bahwa hukuman bagi pelaku korupsi memadai dan efektif. Ini termasuk pengadilan yang adil dan penegakan hukum yang tanpa pandang bulu.

Kelima, Partisipasi Masyarakat: Masyarakat juga harus berperan aktif dalam memberantas korupsi. Mereka dapat melaporkan tindakan korupsi yang mereka saksikan dan mendukung upaya-upaya pemberantasan korupsi.

Meskipun mengganti nama korupsi dengan kata-kata kasar mungkin menjadi langkah yang kontroversial dan berdampak psikologis yang mendalam, penting juga diingat bahwa perubahan bahasa hanya merupakan bagian kecil dari solusi yang lebih besar. 

Yang tak kalah penting adalah menciptakan perubahan budaya yang mendasar dan berkelanjutan dalam masyarakat Indonesia untuk mengatasi masalah korupsi. Semua pihak, termasuk pemerintah, media, dan masyarakat, harus bekerjasama untuk mencapai tujuan ini memanfaatkan segala cara yang tersedia.

(Ahmadie Thaha, pengasuh Ma'had Tadabbur al-Qur'an)
Share:

Tidak ada komentar: