Konflik Sunni-Syiah Sampang: Maulid atau Carok

Perseteruan Sunni-Syiah itu akhirnya berujung tragis. Sekelompok massa bergerak dinihari menjelang Subuh. Sekitar pukul 03.00, mereka beramai-ramai menyiramkan bensin lalu membakar bagian depan dan belakang rumah milik Muhammad Siri (56), warga Dusun Gaddhing Laok, Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang, Jawa Timur. Massa sengaja menutup pintu rumahnya dari luar. Tujuannya agar si pemilik rumah yang sedang tidur di dalam tidak bisa kabur, diharapkan ikut terbakar. Api membubung tinggi, membangunkan orang sedesa.

Itulah puncak pertentangan antara kelompok Sunni dengan aliran Syiah pimpinan Ustadz Tajul Muluk. Konflik Sunni-Syiah Sampang itu sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Bahkan, pada awal 2011, pimpinan Syiah Sampang sempat diusir massa dengan alasan ajaran Syiah sesat. Pengusiran itu bermula dari rencana IJABI (Ikatan Jama'ah Ahlul Bait Indonesia) pimpinan Tajul Muluk yang berpusat di Dusun Nangkrenang Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, yang akan mengadakan acara Maulid Nabi pada 4 April 2011.
Acara itu sejak awal sudah mendapatkan resistensi sangat keras dari masyarakat sekitar. Jauh sebelum hari H, massa yang mengaku sebagai Sunni melakukan berbagai upaya untuk menggagalkannya. Massa memblokade tempat acara. Dengan bersenjatakan clurit, parang, golok, pentungan, dan senjata tajam lainnya, mereka menghadang jamaah yang hendak menghadiri acara Maulid Nabi. Jika jamaah Syiah tetap bersikukuh melangsungkan acara Maulid Nabi, sangat mungkin ada carok masal. Ancaman ini tidak main-main. Sejak awal, mereka menunjukkan kebenciannya terhadap keberadaan Syiah di sana. Akhirnya, acara Maulid itu gagal dilaksanakan.
Kemarahan massa secara khusus ditujukan ke Tajul Muluk sebagai pimpinan Syiah Sampang. Mereka berencana melurug rumah Tajul Muluk, di mana acara Maulid sedianya akan digelar. Mereka merasa Tajul Muluk telah melanggar kesepakatan yang telah dibuatnya bersama dengan NU dan MUI Sampang tahun 2008. Menyikapi situasi yang sudah sangat genting ini, Polres Sampang mengambil langkah pengamanan untuk menghindari bentrok massa yang sudah berhadap-hadapan. Tajul Muluk dibawa dan diamankan ke kantor Polres Sampang.
Apa yang disebut dengan melanggar kesepakatan tahun 2008 itu sesungguhnya adalah peristiwa tekanan Kyai Ali Karar dan kawan-kawannya kepada Tajul Muluk sebagai pimpinan Syiah untuk menghentikan aktivitasnya. Ceritanya, pada tahun 2008, Kyai Ali Karar dengan beberapa tokoh lain berdialog dengan Tajul Muluk dan mendesak agar dia menghentikan aktivitas dakwahnya karena dianggap menyimpang. Menurut pengakuan Tajul, pertemuan tersebut bukanlah dialog melainkan penghakiman sepihak yang dilakukan oleh kelompok Sunni pimpinan Kyai Ali Karar.
Dalam keseluruhan konflik Sunni-Syii di Sampang ini, bisa dikatakan bahwa NU adalah wakil utama dari kelompok Sunni. Tokoh-tokoh Sunni dengan berbagai posisi sosial-keagamaannya, yang terlibat dalam drama konflik ini, sesungguhnya adalah para kyai dan tokoh NU. Massa yang melakukan intimidasi dan kekerasan juga warga NU setempat yang keislamannya sangat ditentukan oleh pandangan para kyainya. Ketika Tajul Muluk dan komunitas Syi‘ah Sampang tetap melanjutkan aktivitasnya, tokoh-tokoh MUI, PCNU, dan Basra (Badan Silaturrahmi Ulama Madura) menuduh Tajul sudah melanggar kesepakatan yang sebenarnya tidak pernah ada.
Tuduhan tersebut tentu tidak bisa diterima Tajul Muluk. Pertama, dia merasa tidak pernah menyepakati desakan ulama di Omben untuk menghentikan aktivitas dakwahnya. Kedua, dakwah yang dilakukannya hanya berlangsung di jamaah IJABI. Dia tidak pernah memengaruhi orang lain untuk pindah menjadi penganut Syiah. Apa yang dilakukannya selama ini tidak lebih dari penguatan internal jamaah Syiah sendiri. Sebelum peristiwa Maulid Nabi itu, pada Desember 2010, ada peristiwa lain. Beberapa warga melaporkan aktivitas Tajul Muluk dan jamaah Syiahnya ke MUI dengan alasan meresahkan masyarakat.
Intimidasi massa yang mengklaim diri sebagai kelompok Aswaja itu bukanlah yang pertama kali terjadi. Sejak 2006, ancaman serupa kerap diterima oleh jamaah Syiah di Karang Gayam. Menurut Tajul Muluk, peristiwa pembubaran Maulid Nabi pada 4 April 2011 itu hanyalah satu mata rantai dari rangkaian teror dan ancaman yang hampir diterima setiap hari oleh jamaah Syiah di Karang Gayam. Tidak seperti diberitakan banyak media, teror dan ancaman pada hari Senin tidak terjadi secara spontan melainkan dikonsolidasi oleh kekuatan NU setempat dan tokoh-tokoh agama di Sampang.
Konflik Sunni-Syii bisa dikatakan sebagai akibat dari rasa permusuhan dan kebencian yang disebarkan terus-menerus secara intensif. Ada usaha yang dilakukan terus-menerus untuk menetapkan Syi‘ah sebagai ajaran sesat. Menurut Tajul Muluk, kebencian warga sengaja dibakar oleh para tokoh masyarakat dan kyai setempat. Secara eksplisit, dia menyebut di balik semua konflik dan kekerasan ini, ada peran yang dimainkan oleh Kyai Ali Karar, H. Jamal (alumni Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan), Abdul Malik, Bahram, dan Mukhlis. Ketiga orang yang disebut terakhir adalah mantan santri Kyai Ali Karar.
Konsolidasi kelompok anti-Syiah semakin menguat. Teror dan ancaman massa tidak hanya dikonsolidasi oleh tokoh agama dan kyai lokal di Omben, tetapi juga dikuatkan oleh Badan Silaturrahmi Ulama Madura (Basra) Sampang. Ormas pimpinan K.H. Kholil Halim menjadi kekuatan baru yang ikut melakukan teror, dan mendesak agar jamaah Syiah segera meninggalkan Sampang.
Sehari setelah kejadian, diadakan sebuah pertemuan tertutup yang diinisiasi oleh Polda Jawa Timur di pendopo kabupaten. Acara tersebut dihadiri oleh K.H. Muhaimin Abdul Bari (Ketua PCNU Sampang), K.H. Syafiduddin Abdul Wahid (Rais Syuriah NU), KH Bukhori Maksum (Ketua MUI Sampang), K.H. Zubaidi Muhammad, K.H. Ghazali Muhammad, dan beberapa ulama lainnya.
Alih-alih melakukan mediasi, pertemuan itu justru memojokkan Tajul Muluk dan jamaahnya. Pihak Muspida justru ikut menghakimi keyakinan jamaah Syiah. Mereka juga turut mendesak Tajul Muluk agar menerima opsi yang ditawarkan oleh MUI, PCNU, dan Basra, yaitu: 1) menghentikan semua aktivitas Syiah di wilayah Sampang dan kembali ke paham Sunni, 2) diusir ke luar wilayah Sampang tanpa ganti rugi lahan/aset yang ada, dan 3) jika salah satu dari dua opsi tersebut di atas tidak dipenuhi, maka berarti jama’ah Syiah Sampang harus mati.
Tiga opsi yang ditawarkan di atas menunjukkan betapa kuatnya konflik tersebut. Opsi itu tentu saja tidak hanya menjadi ancaman serius bagi komunitas Syiah di Sampang, tetapi juga menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat sulit. Tidak menuruti desakan kelompok mayoritas akan berarti membuat pemerintah tidak populer, tetapi jika opsi itu dituruti, pemerintah akan secara terang-terangan melanggar HAM.
Sekitar dua bulan setelah kejadian, sejumlah kyai, tokoh masyarakat, MUI se-Madura mengadakan pertemuan di Pondok Pesantren Darul Ulum, pimpinan K.H. Syafidudin Abdul Wahid. Pertemuan ini juga dihadiri oleh pihak Polda Jawa Timur, Mabes Polri, dan Slamet Effendi Yusuf yang mewakili MUI Pusat. Pertemuan itu membahas tanda tangan ribuan warga yang menolak keberadaan jamaah Syiah. Bisa diduga sejak awal, pertemuan itu dilakukan untuk mengukuhkan sikap yang sudah diambil sejak awal, yaitu menolak keberadaan jama’ah Syiah.
Dalam pertemuan itu, para ulama sepakat mendesak pemerintah Kabupaten Sampang untuk segera mengusir Tajul Muluk dari Desa Karang Gayam. Berdasarkan hasil pertemuan tersebut, pada tanggal 28 Mei 2011, MUI se-Madura secara resmi mengeluarkan sikap, yang isinya: 1) Kami, MUI se-Madura, menyatakan bahwa aliran Syiah yang ada di Karang Gayam itu sesat dan menyesatkan. 2) Kami, MUI se-Madura, meminta kepada pemerintah agar Tajul Muluk segera direlokasi. Pemerintah Provinsi Jawa Timur pun didesak untuk segera mengusir Tajul Muluk dari tanah Sampang dengan alasan ajaran yang dibawanya sesat.
Ketika kebijakan itu diputuskan, Tajul Muluk sendiri sudah tidak lagi berada di Sampang. Sejak tanggal 16 April 2011, dia sudah dipindahkan ke Malang, setelah sebelumnya selama dua minggu diamankan di Polres Sampang. Namun ketiadaan Tajul Muluk tidak menghentikan teror dan intimidasi yang dialami jamaah Syiah Karang Gayam. Berbagai propaganda kebencian terhadap komunitas Syiah dengan cap sebagai aliran sesat terus direproduksi. Desa Karang Gayam menjadi wilayah yang sulit dimasuki orang luar karena diblokade oleh massa anti-Syi‘ah.
Rebutan Otoritas Keagamaan
 Menurut Ahmad Zainul Hamdi MA yang meneliti kasus konflik Sunni-Syiah Sampang tersebut, rasa kebencian terhadap keberadaan Syiah di sana tidak bisa disandarkan pada pernyataan terbuka tokoh-tokoh Islam Madura dan MUI se-Madura bahwa Syiah adalah aliran sesat. Sekalipun MUI se-Madura mengeluarkan pernyataan tentang kesesatan Syiah, namun MUI Pusat sendiri tidak pernah mengeluarkan fatwa yang menyatakan Syiah sebagai kelompok sesat sebagaimana fatwa tentang Ahmadiyah.
Karena itu, maka rasa kebencian yang berujung pada pengusiran ini harus dilihat pada faktor lain yang justru tidak diucapkan secara terbuka. Faktor lain ini, menurut Ahmad Zainul, bisa dilihat pada ungkapan Ketua MUI Sampang dan salah seorang kyai NU, K.H. Bukhori Maksum, "Secara konstitusional, paham Syiah di Indonesia tidak dilarang, tetapi di kalangan warga NU, Syiah tidak bisa disatukan ibarat air dan minyak." Pernyataan Kyai Bukhori ini, katanya, mengindikasikan sangat jelas bahwa pengusiran Syiah bukan karena mereka sesat, tetapi karena kehadiran mereka menggerogoti dominasi kelompok Islam mayoritas di Madura, yaitu NU.
Dari kenyataan itu, Ahmad Zainul berkesimpulan, konflik Sunni-Syiah di Sampang perlu dilihat dari rebutan otoritas keagamaan antarpemimpin agama. Definisi Lewis Coser tentang konflik, bahwa perbedaan sendiri tidak dengan sendirinya melahirkan konflik, sangat membantu. Konflik hanya terjadi jika ada pihak yang sedang berebut sumber terbatas. Dalam kasus Sampang, terlihat bahwa kyai-kyai Sunni/NU merasa tergerogoti legitimasi keagamaannya. Hal ini bisa dilihat pada upaya awal Kyai Ali Karar yang memaksa Tajul Muluk agar tetap berada dalam barisan NU. Andaikan Tajul Muluk mau menerima tawaran itu, maka berarti dia akan mengakui nilai-nilai keagamaan yang dianut Kyai Karar, dan dengan sendirinya harus mengakui kepemimpinan Kyai Ali Karar.
Tentu saja, jelas Ahmad Zainul, Kyai Ali Karar dalam drama ini hanyalah sosok yang mewakili kepentingan kelasnya. Dalam kelompok ini, berjajar kyai-kyai pesantren, pimpinan MUI, pengurus NU, dan aktivis Basra. Kepemimpinan mereka ini ditegakkan di atas pengakuan publik terhadap nilai-nilai ke-Sunni-an yang terlembaga ke dalam NU. Selagi nilai-nilai ke-NU-an ini diakui dan dipatuhi, maka otoritas mereka sebagai pemimpin agama tetap terakui dan terjaga dengan baik.
Ketika seorang Tajul Muluk berhasil membangun sebuah komunitas baru dengan nilai-nilai yang berbeda, maka kehadirannya bisa dianggap sebagai upaya untuk mendelegitimasi basis otoritas kyai-kyai Sunni/NU tersebut. Kyai-kyai Sunni/NU sebagai kelompok superordinat berusaha sekuat tenaga untuk memaksakan nilai-nilai keagamaannya agar tetap menjadi nilai yang dipatuhi. Nilai-nilai ke-Sunni-an diideologisasi sedemikian rupa sehingga ia menjadi nilai bersama, sedangkan nilai yang lain dianggap menyimpang dan tidak absah.
Kegagalan mengideologisasi nilai-nilai kelompok superordinat berarti kegagalan mempertahankan otoritas kepemimpinan yang selama ini dinikmati. Oleh karena itu, maka mereka mati-matian memaksa Tajul Muluk untuk tetap mengakui basis keyakinan Sunni sebagai aqidah yang benar, atau kalau tidak, dia harus hilang.
 Jelas, tulis Ahmad Zainul dalam hasil penelitiannya yang dimuat jurnal ISLAMICA edisi Maret 2012, bahwa apa yang kita lihat dalam drama konflik Sunni-Sy’i di Sampang Madura adalah drama perebutan otoritas keagamaan antara kelompok superordinat (kyai-kyai Sunni/NU) dengan kelompok subordinat (Tajul Muluk dan jama’ah Syi‘ah). Klaim sesat terhadap Syi‘ah dibangun dalam rangka ideologisasi nilai-nilai ke-Sunni-an/ke-NU-an untuk tetap menjadi common values yang absah. Penghakiman sesat terhadap Syi‘ah dan pengusiran komunitas Syi‘ah adalah dalam rangka tetap mempertahankan otoritas kepemimpinan keagamaan kyai-kyai Sunni/NU. (ahmadie, dimuat di majalah WAHDA edisi Ramadhan 1422/2012, terbitan PUI)



Share:

Tidak ada komentar: