Aris Prasetyo: Berbagi Mimpi Melalui Film



JAMINAN materi dari jasa pembuatan video pernikahan tak mengikis panggilan jiwa Aris Prasetyo (35) untuk mengabdi di sekolah pelosok di antara ceruk perbukitan Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Lewat media sinema, dia terbangkan angan dan cita bocah-bocah kampung yang semula tak mengenal bangku sekolah.

Oleh Gregorius Magnus Finesso

Awal 2008, Aris kaget mendapati tempat dia mengajar sebagai guru di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 4 Satu Atap Karangmoncol, Purbalingga, hanya punya dua ruang kelas dan 39 siswa. Lebih kaget lagi dia kala di sepanjang jalan di Desa Tanjungmuli, lokasi sekolah itu, banyak anak usia sekolah petentengan di jalanan.

"Setelah berbincang dengan guru lain, ternyata hampir 70 persen lulusan SD di sini tak melanjutkan ke SMP. Banyak siswa membantu keluarga menderes nira, merantau, dan yang perempuan, ya, menikah," ujar Aris.

Tunjungmuli terletak sekitar 20 kilometer timur laut pusat kota Purbalingga. Wilayah itu dikepung perbukitan di lereng Gunung Slamet. Akses jalan menuju desa itu buruk, terbentang jalan berbatu curam sepanjang lebih dari 5 kilometer.

Selain itu, latar belakang orangtua, yang umumnya penderes nira kelapa dan buruh pembuat bulu mata palsu berupah rendah, membuat anak-anak berpikir sekolah hanya buang waktu. Kondisi ini berlangsung sampai saat SMPN 4 Satu Atap didirikan pada 2007. SMP itu disebut "satu atap" karena menyatu dengan SD Negeri 2 Tunjungmuli.

Mendapati tantangan berat, Aris, lulusan Fakultas Seni Rupa Murni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, sempat berpikir ulang sebagai guru. Apalagi dia mempunyai usaha jasa pembuatan video pernikahan yang relatif laris di Purbalingga. Namun, dorongan istrinya, Ngafifah (31), guru Madrasah Ibtidaiyah di Tunjungmuli, melecut semangatnya. Apalagi ayahnya pun pensiunan guru.

Ayo bersekolah
Aris memantapkan tekad. Selain menjadi guru seni budaya dengan status wiyata bakti, dia merangkul anak-anak di sekitar sekolah. Berbekal kemampuan di bidang pengambilan dan sunting gambar video, dia mengusulkan sekolah mengadakan ekstra kurikuler (ekskul) film. Ia berharap film bisa menarik minat bocah di kampung itu bersekolah.

Setelah menjaring beberapa murid untuk bergabung, mereka langsung menggarap proyek film pendek. Dengan handycam dan laptop pribadi, Aris membimbing generasi pertama ekskul film SMPN 4 Satu Atap. Mereka membuat film pendek bermuatan pesan pentingnya bersekolah

"Di sini saya masukkan prestasi siswa kami. Saat itu tak banyak orang tahu bahwa ada siswa yang meraih juara pertama lomba lukis se-Purbalingga. Ada juga film pendek tentang ekskul film."

Begitu film berdurasi tak lebih dari 15 menit itu siap tayang, dia memasang layar tancap di lapangan seberang sekolah. Ternyata respons warga positif. Film "dadakan" ini mampu mendoktrin warga dan menyadarkan mereka pentingnya bersekolah.

Efeknya langsung terasa. Pada tahun ajaran berikutnya, jumlah siswa yang masuk SMPN 4 Satu Atap melonjak menjadi 129 siswa. Banyaknya peminat membuat ruang guru dijadikan kelas.

Sebagian anak mendaftar ke SMPN 4 Satu Atap karena ingin bergabung dengan ekskul film. Seperti Sakhirin (14), siswa kelas X yang mengatakan, "Dulu, aku mau sekolah biar bisa main film. Kan, enak dilihat banyak orang."

Namun, Aris menyeleksi ketat siswa yang masuk ekskul film. Salah satu syaratnya, berprestasi di kelas. "Pernah pada satu angkatan yang mendaftar 60 siswa, tetapi hanya tersisa 15 orang," tutur ayah dari Muhammad Faza Abdurrahman (5) dan Mahya Maryam Mayada (3 bulan) ini.

Dia pun menggandeng sejumlah guru untuk membantu. Kendati mahir membuat video pernikahan, ia mengaku tak menguasai ilmu sinematografi dan penyuntingan. Dia belajar bersama beberapa teman yang lalu membentuk Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga, komunitas insan perfilman lokal.

Prestasi
Tak hanya pikiran dan tenaga, peralatan yang digunakan untuk praktik membuat film juga diusahakan swadaya. Kurang puas dengan gambar hasil handycam, dia membeli kamera panggul seharga Rp 9 juta. Namun hasilnya belum optimal. Dia lalu meminjam kamera yang biasa dipakai untuk bisnis video pernikahan.

Ia terus mendorong anak asuhnya berprestasi. Pada 2009 dua film pendek dapat diselesaikan. Ide cerita, sutradara, pemeran, hingga penggarapan film berjudul Baju buat Kakek dan Sang Patriot itu dikerjakan para siswa.

Film Baju buat Kakek menyabet penghargaan Film Terbaik di ajang Festival Film Anak (FFA), sedangkan Sang Patriot menjadi juara harapan III pada Festival Film Remaja (FFR).

"Saya tekankan kepada anak-anak untuk mengangkat tema sehari-hari, dan mereka berhasil menemukannya," kata Aris.

Sejak dirintis tahun 2008, lebih dari 34 penghargaan film nasional dan internasional dikoleksi SMPN 4 Satu Atap. Ekskul ini juga melahirkan sutradara remaja berbakat, seperti Eko Junianto yang tak hanya bisa menyutradarai film pendek, tetapi juga membuat film animasi. Eko meraih anugerah Ki Hajar Award 2014 dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan.

Dari ekskul film pula perhatian publik datang. Mereka bisa memiliki gedung sekolah sendiri meski kondisinya belum optimal. Sekolah baru memiliki tiga ruang kelas dan satu ruang guru yang difungsikan sebagai kelas.

Ironis, karena saat awal membuka ekskul, Aris berharap siswa bertambah banyak. Namun, saat jumlah siswa membeludak, ruang kelasnya tak ada.

Aris yang berstatus guru wiyata bakti itu masih memiliki pekerjaan rumah, terutama karena biaya melanjutkan ke SMA relatif mahal bagi mereka. "Film hanya media, muaranya tetap pada peningkatan pengetahuan dan kualitas pendidikan siswa."

Dia pun mendorong anak-anak asuhnya menyisihkan sebagian uang hadiah kompetisi film untuk ditabung. Ia berharap tabungan beserta bunganya nanti bisa membantu saat siswa hendak masuk SMA.

"Sayang, jika bakat mereka musnah hanya karena tak bisa sekolah," kata Aris yang berusaha melatih siswa kreatif, inovatif, dan berani bermimpi.

—————————————————————————
Aris Prasetyo
* Lahir: Purbalingga, Jawa Tengah, 4 Juli 1979
* Pendidikan: S-1 Seni Rupa Murni ISI Yogyakarta 
* Pekerjaan: Guru  SMPN 4 Satu Atap Karangmoncol, Purbalingga 
* Penghargaan antara lain:
- Megawati Soekarnoputri Award  kategori Pahlawan Muda Bidang Seni dan Budaya
- Penghargaan untuk Ekskul Film SMPN 4 Satu Atap antara lain untuk  "Langka Receh" sebagai Film Pendek Terbaik Ke-2 Kids International Film Festival 2012, Penghargaan Khusus Festival Film Indonesia (FFI) 2012, dan ASEAN International Film Festival Awards  2013
- "Pigura" sebagai Film Pendek Terbaik Festival Film Remaja 2010 dan Penghargaan Khusus Dewan Juri FFI 2010
- "Baju buat Kakek  " sebagai Film Pendek Terbaik Festival Film Anak  2009
- "Sugeng Rawuh Pak Bupati" sebagai Film Pendek Terbaik Festival Video Edukasi 2014, Saga Movie Festival 2014, Ki Hajar Award 2014.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010546657

Share:

Tidak ada komentar: