Kekhawatiran Ideologis Kaum Wahabi Indonesia terhadap Kesepakatan Nuklir Iran


​Al Chaidar*


Kesepatakan Nuklir Iran telah dicapai di Wina, Austria, pada 14 Juli 2015. Kesepakatan ini adalah hasil panjang diplomasi yang akhirnya dimenangkan oleh Iran setelah banyak ilmuwan nuklirnya terbunuh. Kesepakatan ini akan mengubah komposisi geopolitik dunia. Kekuatan dunia telah mencapai kesepakatan dengan Iran dalam mengurangi kegiatan nuklir negara itu dengan imbalan pencabutan sanksi atau embargo ekonomi internasional yang telah berlangsung tiga dekade. Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengatakan dengan kesepakatan tersebut, semua senjata nuklir Iran telah diputus bagi Iran sehingga kekuatan nuklir Timur Tengah tetap dipegang secara militer oleh Israel. Bagi Presiden Iran, Hassan Rouhani, hal ini membuka "bab baru" hubungan Iran dengan dunia, sebuah peluang yang telah lama ditunggu-tunggu wangsa Persia ini. Perundingan antara Iran dan enam kekuatan dunia (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Cina, Rusia plus Jerman) dimulai pada tahun 2006. Negara-negara P5+1 menginginkan Iran mengurangi kegiatan nuklir yang merupakan isu krusial untuk memastikan negara tersebut tidak bisa membuat senjata nuklir.

Kekhawatiran ideologis (ideological anxiety) kaum Wahabi —yang akhir-akhirnya ini menguat setelah munculnya Al Qaeda dan ISIS sebagai wakil dari kedigdayaan Wahabi— adalah kekhawatiran kultural yang serius akan dunia Islam yang terpecah. Garber (1997) membuktikan bahwa kepentingan personal yang sangat ideologis pun akan menghasilkan kecemasan kultural yang akut. Pastilah kepentingan komunal Wahabi di Indonesia sangat besar atas menguatnya Iran secara politik dan kultural. Lihatlah situasi dimana kekuatan Iran yang dibenci oleh kaum Wahabi di Indonesia selalu mengundang kecemasan kultural yang menyesakkan dada para pencari surga ini. Iran, yang menginginkan sanksi internasional yang melumpuhkannya dicabut, selalu mengatakan kegiatan nuklirnya untuk tujuan damai. Kondisi ini tidak lantas membuat kaum agamawan Suni bersimpati dengan Iran yang nota-bene adalah negara pengusung ideologi Syiah. Pun, terdapat penolakan keras dari kelompok konservatif baik di Iran maupun Amerika Serikat. Kongres AS memiliki waktu selama 60 hari untuk mempertimbangkan kesepakatan itu, meskipun Obama mengatakan akan menveto usaha untuk menggagalkan.
 
Kaum Wahabi di Indonesia mengalami kegamangan dalam melihat perkembangan diplomasi Iran di dunia dan juga di Indonesia. Pada tataran dunia, perundingan nuklir Iran dengan kelompok P5+1, yaitu lima negara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, dan Cina) plus Jerman serta Komisaris Tinggi Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa akhirnya menemukan titik final setelah 22 bulan berjalan. Pada tataran nasional, kalangan Suni pada umumnya terhenyak dengan kemajuan pembukaan isolasi Barat terhadap Iran. Kesepakatan mengenai program nuklir Iran dicapai di Wina, Austria, (14/7/2015) untuk mengatasi kecurigaan Barat terhadap program yang dinyatakan Iran bertujuan damai tersebut, dan dengan demikian sanksi terhadap Iran dicabut, tetapi mempertahankan embargo senjata dan larangan teknologi rudal balistik.  Kecurigaan Barat dan kecurigaan Suni selama ini menemukan titik kait yang kuat, namun setelah kesepakatan ini, jalan cerita akan sedikit berbelok. Ideologi Syiah akan semakin meraja-lela, apa lagi setelah organisasi Nahdlatul Ulama juga dipegang kembali oleh tokoh-tokoh yang disinyalir mendukung poros Iran dan menolak dominasi poros Arab Saudi. Kesepakatan ini ditetapkan dengan komitmen yang mengindahkan "garis merah" yang telah ditentukan Iran. Mengenai poin-poin yang menguntungkan Iran dalam kesepakatan itu, sebagai sebuah perkembangan yang mengkhawatirkan, secara geopolitik dan ideologis.  

Implikasi yang sangat mencemaskan kaum Wahabi adalah terpilihnya Haedar Nashir dalam Muktamar Muhammadiyah baru-baru ini yang dipandang tak menaruh rasa kasihan dan pembelaan pada ekstrimisme. Ekstrimisme yang selama tiga dekada lalu disematkan kepada Iran, akan mengubah peta ideologi tidak hanya di Timur Tengah. Negara-negara besar mengakui program nuklir tujuan damai Iran serta menghargai hak nuklir bangsa Iran dalam kerangka undang-undang dan konvensi internasional. Iran telah mengalami keadaan ketidakadilan yang diberlakukan Barat selama ini, semacam teror yang kemudian mengubah perilaku dan orientasi ideologisnya. Penelitian Echebarria Echabe & Fernández Guede (2006) menunjukkan pengaruh terorisme pada perilaku dan orientasi ideologis seseorang atau kelompok organisasi secara signifikan. 

Perilaku politik internasional Iran mungkin akan berubah dengan kesepakatan nuklir ini. Program nuklir Iran yang semula didistorsi sebagai ancaman bagi perdamaian dan keamanan dunia diluruskan menjadi obyek kerjasama Iran dengan komunitas internasional sesuai standar global. Dewan Keamanan Perserikatan Bang-Bangsa (DK-PBB) mengakui Iran sebagai negara berkekuatan nuklir tujuan damai, termasuk di bidang daur ulang bahan bakar nuklir dan pengayaan uranium. Telah terjadi perubahan fundamental dalam pola interaksi DK PBB dengan Iran setelah keluarnya resolusi DK PBB di bawah pasal 25 Piagam PBB, sembari mengingat pasal 41 dan terutama lagi pasal-pasal berkenaan dengan pencabutan sanksi sebelumnya terhadap Iran. Semua fasilitas nuklir Iran tetap beroperasi, dan tak ada satupun yang dihentikan ataupun dibekukan sebagaimana yang diinginkan sebelumnya oleh pihak lawan runding Iran. Pengayaan uranium Iran tetap dilanjutkan, dan demikian keinginan untuk menghentikan pengayaan uranium tidak terpenuhi.

Dunia keilmuan dan penelitian teknologi akan menjadikan Iran daya tarik baru bagi kalangan muslim, selain eksotisme feminisnya. Fasilitas infrastruktur nuklir Iran tetap dipertahankan, dan tidak ada satupun sentrifugal yang disingkirkan. Aktivitas penelitian dan pengembangan semua sentrifugal utama dan mutakhir tetap dilanjutkan. Instalasi nuklir untuk produksi air berat tetap dipertahankan dan terus dikembangkan serta ditambah dengan perlengkapan, teknologi, ujicoba dan instalasi terkini melalui kerjasama dengan pihak-pihak lain yang memiliki teknologi mutakhir di bidang ini. Iran sebagai salah satu produsen bahan bakar nuklir, terutama uranium yang diperkaya dan air berat, akan mengakses pasar internasional. Dengan demikian maka sanksi dan pembatasan terhadap ekspor dan impor bahan bakar nuklir yang sebagian di antaranya sudah berjalan selama 35 tahun menjadi tidak berpengaruh.

Iran dan semua perangkat ideologisnya akan mengalami liberalisasi. Semua embargo ekonomi, finansial, perbankan, migas, petrokimia, perdagangan, suplai dan transportasi yang diterapkan oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat sebagai sanksi atas program nuklir Iran akhirnya dicabut sekaligus. Tuntutan penghentian program rudal Iran, khususnya balistik, dikendurkan menjadi pembatasan terhadap kebijakan Iran berkenaan dengan rudal-rudal yang dapat membawa hulu ledak nuklir. Embargo senjata terhadap Iran dicabut dan diganti dengan beberapa ketentuan pembatasan. Iran diperkenankan mengimpor ataupun mengekspor sebagian produk persenjataan. Sanksi berkenaan dengan bahan berfungsi ganda dicabut, dan dengan demikian kebutuhan Iran di bidang ini akan dipenuhi melalui komisi bersama Iran dan P5+1. Mahasiswa Iran tidak lagi dikenai sanksi akademik di bidang-bidang sains yang berhubungan dengan energi nuklir.

Liberalisasi teknikal juga sama masifnya dengan liberalisasi ekonomi dan militer yang diberikan Barat. Iran bisa mengganti ideologi senjata dengan pembukaan isolasi. Embargo pesawat sipil yang sudah berjalan tiga dekade dicabut, dan dengan demikian Iran juga dapat mengakses suku cadang untuk upgrade hingga memenuhi standar keamanan. Pencairan aset keuangan Iran di luar negeri sebesar milyar dolar Amerika Serikat yang telah dibekukan dan diblokir selama beberapa tahun terakhir akibat sanksi. Bank Central Iran, perusahaan pelayaran, perusahaan minyak nasional, perusahaan transportasi minyak dan perusahaan-perusahaan lain yang bernaung di bawahnya, maskapai penerbangan Iran, dan banyak lembaga dan instansi perbankan (sekitar 800 orang dan perusahaan) dinyatakan keluar dari daftar sanksi. Banyak kalangan Wahabi di Indonesia tak paham dengan semua 'berkah' yang didapatkan Iran dan semakin sulit untuk mengandalkan teori konspirasi sebagai penjelasan tunggal atas kemajuan diplomasi nuklir ini.

Apa yang telah diberikan Barat kepada Iran adalah suatu yang di luar perkiraan negara-negara Timur Tengah. Iran mendapat peluang lebih besar untuk andil di pasar dan sektor-sektor perdagangan, teknologi, keuangan dan energi. Pembatasan kerjasama ekonomi Iran di semua bidang, termasuk investasi di sektor industri migas dan petromikian, dicabut. Indonesia juga sumringah dengan hasil kepakatan nuklir Iran di Wina ini. Akan terbuka peluang kerjasama luas semua pihak dengan Iran di level internasional di sektor energi nuklir tujuan damai serta pembangunan pembangkit listrik, reaktor untuk riset dan penyediaan teknologi nuklir terkini.

Implikasi politik dari perjanjian itu mencakup aturan mengenai pengawasan lokasi fasilitas nuklir di Iran sehingga pengawas PBB dapat meninjau lokasi militer, namun Iran bisa saja menentang pemberian akses. Sebagai gantinya, PBB mengatakan embargo senjata dan sanksi rudal hanya akan berlaku dalam lima dan delapan tahun lagi. Namun, apabila Iran melanggar perjanjian, penjatuhan sanksi akan diberlakukan dalam 65 hari. Resolusi PBB ini akan mendukung kesepakatan yang juga akan memutuskan satu mekanisme agar seluruh sanksi Dewan Keamanan bisa secara otomatis berlaku kembali jika Iran melanggar kesepakatan itu.

Kesepakatan Wina ini mengatur bahwa enam negara adidaya, Iran dan Uni Eropa akan membentuk satu Komisi Bersama untuk menangani pengaduan jika ada pelanggaran. Jika negara yang mengadu itu tidak puas dengan keputusan Komisi, negara tersebut bisa membawa keluhannya ke Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan PBB kemudian harus mengambil suara untuk resolusi untuk tetap memberlakukan embargo dan sanksi terhadap Iran. 

Implikasi Ideologis
Kesepakatan program nuklir yang disetujui oleh Iran dan enam negara adidaya ini membuat Arab Saudi khawatir pengaruh Iran akan semakin menguat di kawasan Timur Tengah. Bagi Arab, kesepakatan ini akan mengubah orientasi ideologis mereka dan juga sikap politik serta sikap kultural mereka terhadap Barat dan China. Implikasi ideologis akan tetap terasa, tanpa disadari. Tidak ada satu pun organisasi atau masyarakat atau bahkan bangsa yang terbebas atau netral secara ideologis. Ideologi menggerakkan vibrasinya pada berbagai situasi, mulai dari Revolusi Amerika (Baylin, 1992), ke organisasi yang non-ideologis sekalipun (Czarniawska-Joerges,1988), dari diagnosa medis (Gartner,  Harmatz, Hohmann, Larson,  & Gartner, 1990), atau ketika kita mengkonsumsi suatu produk (Treise, Weigold, Conna,  & Garrison, 1994), hingga ke soal-soal anggaran (Wilensky, 1974). Hampir semua kegiatan manusia memiliki aspek ideologis, baik itu berbentuk motif maupun kecemasan atau ketakutan. Ketakutan masyarakat Nusantara terhadap hantu kuntilanak atau sundel-bolong juga bisa dilihat dari aspek orientasi ideologi, pun demikian halnya dengan hantu-hantu vampir atau zombie di masyarakat Barat. Bagi masyarakat Nusantara vampir terlihat menggairahkan, terutama vampir perempuan. Zombie terlihat lucu dan tampak bisa dipermainkan. Mungkin dalam orientasi ideologis masyarakat Barat kuntilanak terlihat sangat eksotis dan menggemaskan. Sementara sundel-bolong mungkin terlihat menggemaskan, menghibur dan jenaka.

Kecemasan atas kesepakatan nuklir Iran mungkin terasa di beberapa negara jazirah Arab. Namun dalam persepsi ideologis umat Islam Suni di Indonesia, kesepakatan nuklir Iran ini dilihat secara berbeda. Apa yang dipersepsikan sebagai hantu yang menakutkan di Arab mungkin berbeda dengan hantu eksotis di Indonesia. Kesepakatan Iran secara ideologis diprediksi akan menjadikan Timur Tengah menjadi "kawasan yang lebih berbahaya" jika kesepakatan tersebut terlalu menguntungkan bagi Iran. Saudi dan negara-negara sekutunya di kawasan Teluk khawatir bahwa kesepakatan yang akan berujung pencabutan sanksi ekonomi Iran akan berakibat pada meningkatnya dukungan Iran terhadap negara-negara rival Saudi di Timur Tengah. Analisis tambahan menunjukkan bahwa jalur ideologis yang menghubungkan kecemasan, persepsi berbahaya di dunia memiliki dampak kuat pada keseluruhan diri penempatan kiri-kanan dari jalur yang menghubungkan tindakan menghindari, dan munculnya persepsi kompetitif di tengah belantara ketidakpastian. Kalangan Suni, dan kalangan Wahabi pada khususnya, merasakan hantu Iran menggemaskan dan bisa mengarah ke tindakan serious offence.

Kesepakatan Nuklir Iran ini menimbulkan kecemasan eksistensial bagi ideologi Wahabi yang semakin hari semakin disudutkan oleh Barat dan oleh kalangan Muslim tradisional semakin kuat membenci Wahabi sebagai kaum ekstrimis dan pelaku tindakan yang berlebih-lebihan. Teori Greenberg, Solomon, & Pyszczynski (1997) menganggap otoritarianisme dan konservatisme sebagai sumber ideologi bagi munculnya motif kolektif (untuk merobek pandangan pengaturan sosial sebagai stabil, adil dan dapat diprediksi) dan motif pribadi (untuk mengatasi kecemasan eksistensial). Otoritarianisme dan konservatisme Wahabi akan semakin dipermalukan dengan kesepakatan nuklir Iran di Wina ini.

Saudi, yang mayoritas penduduknya merupakan Muslim Sunni, dan Iran yang mayoritas Syiah telah lama menjadi rival di kawasan Timur Tengah. Konflik di Yaman,  menjadi ajang pertempuran antara Saudi yang mendukung Presiden Yaman dan pemberontak Syiah Houthi yang didukung oleh Iran. Pengaruh ideologis dari kesepakatan nuklir ini selanjutnya akan menyumbang bagi membesarnya konflik. Motivasi bagi munculnya ideological rigidity dan konflik sosial bahkan bisa muncul dalam dunia manajemen yang sempit (Peterson  & Flanders, 2002), apatah lagi dalam dunia politik dan keagamaan (Jost, Napier, Thorisdottir, Gosling, Palfai,  & Ostafin, 2007). Konflik Syiah Houthi di Yaman akan semakin melebar dan membesar dan semakin membuat Saudi terjepit. Sebagai tetangga Iran dalam empat dekade terakhir, kaum Wahabi di Arab belajar bahwa kebaikan (terhadap Iran) hanya akan membuat mereka menanggung konsekuensinya. Politik tanpa belas kasihan akan terjadi terhadap kaum Syiah dimana pun sebagai akibat dari konstelasi politik yang tidak sepadan yang diberikan oleh Barat melalui kesepakatan nuklir bagi Iran di Wina ini. Situasi menysakkan ini tentu akan mengakibatkan kaum Wahabi pun tidak tinggal diam dan akan bereaksi secara ekstrim dengan memainkan kekerasan keagamaan di Indonesia.

Ancaman dan ketersudutan akan mengakibatkan bangkitnya motivasi reaktif yang berlebihan (Nash,  McGregor, & Prentice, 2011). Para pejabat dan masyarakat Iran mengaku mendukung kesepakatan ini, meski menyatakan bahwa Iran tidak dapat dipercaya untuk menepati kesepakatan tersebut. Selain konflik di Yaman, Riyadh juga menganggap Iran mendukung Presiden Suriah, Bashar al-Assad dan Hizbullah di Libanon. Saudi menilai, hal ini merupakan bukti bahwa Iran ingin memperlebar kekuasannya ke negara sekutu Syiah di Timur Tengah. Di Indonesia, ketersudutan ini memang belum terasa sekarang, namun beberapa tahun kedepan akan ada reaksi ekstrim apabila pemerintah menjalin hubungan politik dan dagang yang semakin mesra dengan Iran.
 
Selama ini kaum Wahabi sangat asertif dalam menolak eksistensi ideologi Syiah di berbagai kawasan, termasuk di Indonesia. Abu Jibriel (2015) sangat aktif menyerang Syiah sebagai bukan Islam dan menyebarkan politik eksklusi yang serius terhadap Syiah yang tak pernah ditunjukkan sebelumnya oleh kaum Suni manapun di Nusantara. Kesepakatan nuklir telah menuai kritikan dari wartawan, ulama dan pakar di Saudi, utamanya karena sekutu utama Riyadh, Washington kini berbagi dukungan dengan rival mereka di Tehran. Iran membuat kekacauan di dunia Arab dan hal ini akan terus terjadi setelah kesepakatan nuklir. Negara Suni d kawasan teluk mungkin  akan mengurangi kepercayaan mereka terhadap Amerika dan mengubah fokus mereka ke Rusia yang kelihatannya mulai memberikan tempat bagi tumbuhnya politik Islam di bagian timur Eropa. Namun tidak demikian halnya di Indonesia. Mereka bisa saja membenci Syiah, namun suka dengan sisi feminim Iran yang sangat eksotik.

Kalangan Wahabi Indonesia pun saat ini sedang menghadapi perpecahan internal yang tak terperikan dengan munculnya isu ISIS (Islamic State of Iraq and Syam) yang telah menguras darah dan keringat serta finasial mereka dalam menghadapi perang sesama Wahabi yang melelahkan ini. Komitmen ideologi memang senantiasa dipertaruhkan di antara risiko dan faktor yang melindungi suatu kaum (Laor,  Wolmer, Alon, Siev,  Samuel,  & Toren, 2006), maka ada kemungkinan reaksi ekstrim akan terjadi terhadap kalangan Syiah di beberapa kawasan yang hostile khususnya di Indonesia. Negeri ini memiliki reputasi buruk dalam hal perlindungan terhadap kaum Syiah dengan munculnya berbagai kasus intoleransi dan bentrokan berdarah yang menyedihkan dimana banyak anak-anak dan orang tak berdaya terlempar ke tempat-tempat penampungan transito yang tak manusiawi dan tak bisa pulang ke rumahnya selama bertahun-tahun.

Kesepakatan nuklir Iran ini akan muncul dalam bentuk-bentuk kultural yang dominan selain kontestasi ideologis di Indonesia. Jika kemenangan ideologis Iran terjadi di Indonesia, maka kalangan Suni yang mayoritas akan mempersepsikan hal ini sebagai imperialisme kultural. Imperialisme kultural dan kecemasan masyarakat akan mengakibatkan munculnya perubahan hukum dan ideologi (ideological realignment) secara signifikan (Peller, 1997). Saya memprediksikan bahwa akan adanya perubahan ideologi kaum Wahabi di Indonesia dalam menyesuaikan dirinya dengan kemajuan yang dicapai oleh wangsa Persia modern saat ini di Iran. Ilmu pengetahuan dan teknologi akan tersembur dari Iran secara masif dengan terbukanya isolasi Iran ini. Kaum Wahabi yang saat ini mengalami kekalahan yang akut dan tak pernah menang dalam setiap upaya perebutan kekuasaan akan berpikir ulang dan menyesuaikan gairah kekuasaannya dengan perhitungan ideologis dalam manajemen pergerakan mereka. Ideological realignment ini akan menuntut kaum Wahabi untuk menurunkan tensi ekstrimismenya atau akan terancam hilangnya pendukung tradisionalnya dari kalangan Suni di Nusantara yang beragam dan kosmopolit ini. 

Kepakatan nuklir Iran ini dipandang oleh kaum Wahabi sebagai cara Amerika dan Barat untuk menghapus citra positif Turki yang diyakini akan membangkitkan the glory of the past khilafah. Bagi kaum Wahabi di Indonesia, citra Arab Saudi bersifat kurang baik dibanding Turki, mesi mereka membela Saudi dalam hal pemberontakan Syiah Hauthi di Yaman. Sebagaimana terlihat melalui media Arrahmah.com yang mengutip artikel penulis Yordan, Ihsan Al Faqih, 26 Desember lalu pada media Achahed. Produk Domestik Nasional Turki di tahun 2013 mencapai 100M dolar Amerika, menyamai pendapatan gabungan 3 negara dengan ekonomi terkuat di Timur Tengah; Arab Saudi, Uni Emirat arab, Iran, dan ditambah dengan Yordan, Suriah dan Libanon.

Posisi Turki dengan ketokohan Erdogan telah berhasil membawa negerinya melakukan lompatan ekonomi yang besar, dari rangking 111 dunia ke peringkat 16, dengan rata-rata peningkatan 10 % pertahun, yang berarti masuknya Turki kedalam 20 negara besar terkuat (G-20) di dunia. Tahun 2023 merupakan tahun pembangunan Negara Turki Modern yang sudah dicanangkan oleh Erdogan, yang ditargetkan adalah Turki menjadi kekuatan politik dan ekonomi nomer 1 di dunia! Airport Internasional Istambul adalah bandara terbesar di Eropa yang menampung 1260 pesawat setiap harinya, ditambah Bandara Shabiha yang menampun 630 pesawat setiap hari. Turkish Airline, yang sering dinaki oleh para mujahidin ketika akan ke Afghanistan atau ke Suriah, meraih peringkat maskapaipenerbangan terbaik di dunia dalam 3 tahun berturut-turut.

Dalam kurun 10 tahun, Turki telah menanam 770 juta pohon Harjia dan berbuah.
Untuk pertama kali Turki di masa modern ini memproduksi sendiri Tank baja, pesawat terbang dan pesawat tempur tanpa awak, serta satelit militer modern pertama yang multi fungsi.

Dalam dunia ilmu pengetahuan, Erdogan dalam 10 tahun pemerintahannya telah mendirikan 125 universitas baru, 189sekolah baru, 510 rumah sakit baru dan 169.000 kelas baru yang modern, sehinggarasio siswa perkelas tidak lebih dari 21 orang. Ketika krisis ekonomi menimpa Eropa dan Amerika, universitas-universitas Eropa dan Amerika menaikkan uang kuliah. Sedangkan Erdogan membebaskan seluruhbiaya kuliah dan sekolah bagi rakyatnya dan menjadi tanggungan negara. Dalam 10 tahun terakhir, pendapatan perkapita penduduk Turki yang dahulunya hanya 3500 dolar pertahun, meningkat pada tahun 2013 menjadi 11.000 dollar pertahun, lebih tinggi dari perkapita penduduk Prancis. Dan Erdogan naikkan nilai tukar mata uang Turki 30 kali lipat! Hal ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan Iran.  Di Turki, negara sedang mengupayakan dengan sungguh-sungguh membiayai 300.000 ilmuwan melakukan penelitian ilmiah untuk menuju tahun 2023. 

Posisi Turki secara geopolitik juga menjadi harapan besar bagi kaum Wahabi di Indonesia. Di antara keberhasilan politik terbesar Turki adalah keberhasilan Erdogan mendamaikan dua bagian Cyprus yang bertikai. Ia juga melakukan pembahasan damai dengan partai Buruh Kurdistan untuk menghentikan pertumpahan darah,dan meminta maaf kepada Armenia, sehingga menyelesaikan permasalahan yang sudah menggantung sejak 6 dasawarsa. Di negara Turki, gaji dan upah meningkatmencapai 300%. Dan gaji pegawai baru meningkat, dari 340 lira Turki menjadi 957 lira. Dan jumlah pencari kerja menurun dari 38% menjadi 2%. Di Turki, anggaran pendidikan dan kesehatan, mengungguli anggaran pertahanan, dan gaji guru sebesar gaji dokter. Hal inilah yang membuat kunjungan Presiden Turki, Erdogan, disambut histeris oleh kalangan Wahabi di Indonesia dan mereka mencemooh Jokowi yang tidak bersedia menerimanya untuk shalat jumat bersama di Masjid Istiqlal Jakarta awal Agustus 2015. 

Jika dibandingkan dengan Iran yang memiliki banyak ilmuwan nuklir, maka Di Turki telah dibangun 35 ribu laboratorium IT dan data base modern yang melatih pemuda-pemuda Turki. Erdogan menutupi defisit anggaran yang mencapai 47 milyar dolar. Sebelumnya cicilan terakhir hutang Turkike IMF adalah 300juta dolar pada Juli lalu. Bahkan Turki meminjami IMF yang jelek namanya itu sebesar 5 milyar dolar.Disamping itu Erdogan juga menambah cadangan devisa negara sebesar 100 milyar dolar. Jika sepuluh tahun lalu, ekspor Turki hanya 23 milyar dolar. Sekarang meningkat menjadi 153 milyar dolar, mencapai 190 negara. Yang paling banyak adalah mobil,yang kedua peralatan elektronik. Setiap 3 perangkat elektronik di Eropa, satunya adalah produk Turki. 

Dalam hal lingkungan hidup yang sustainable, Pemerintah Erdogan mengawali pengolahan sampah menjadi pembangkit tenaga listrik, yang digunakan oleh sepertiga penduduk Turki. Dan energi listrik sudah dinikmati 98% penduduk Turki. Erdogan pernah duduk berhadapan dengan seorang anak perempuan yang usianya masih 12 tahun, tampil dalam siaran langsung televisi, berdebat dan berdiskusi tentang pembangunan Turki masa depan. Beliau hormati kecerdasan dan semangat anak tersebut. Sekaligus beliau didik anak-anak Turki keteladanandalam berdebat dan berdiskusi serta membaca masa depan. Erdogan adalah teman Israel, begitu menurut kaum sekuler Arab. Erdogan berikan tamparan keras kepada Israel, dan dia paksa Israel meminta maaf karena kasus kapal Marmara yang ditembak Israel. Dan Turki berikan syarat pencabutan embargo Gaza untuk menerima permintaan maaf tersebut. Erdogan berikan kritikan tajam terhadap orang-orang yang bertepuk tangan terhadap pidato Simon Perez dalam pertemuan Ekonomi dunia, dan beliau berkata sebelum keluar ruangan dan pulang ke Turki: "Memalukan kalian bertepuk tangan terhadap pidato ini, padahal Israel telah membantai ribuan anak dan wanita di Gaza…"

Dalam dunia yang semakin demokratis, kaum Wahabi melihat Erdogan dengan penuh harapan. Erdogan menyemprot para demonstran penentangnya dengan air. Tidak menembak mereka dengan pesawat tempur, atau rudal atau bom-bom molotov. Erdogan menolak anak gadisnya membuka hijab saat sekolah. Maka beliau kirim anaknya sekolah di Eropa agar tetap berhijab, sebelum hijab dibolehkan di kampus-kampus Turki. Kebangkitan Turki yang demikian dahsyat ini membuat harapan akan bangkitnya khilafah menjadi sesuatu yang niscaya bagi kaum Wahabi Jihadi di Indonesia. Wahabi jihadi adalah kaum yang berbeda dengan Wahabi Shururi atau Wahabi Takfiri. Bagi kaum Wahabi Jihadi, khilafah Abubakar Ibrahim Al-Baghdadi (ISIS) bukanlah khilafah yang sebenarnya. Itu adalah khilafah palsu, dan Turki akan bangkit (kembali) menjadi khilafah yang sebenarnya.

Dalam diplomasi dunia, Erdogan satu-satunya kepala negara bersama istrinya mengunjungi Burma dan bertemu dengan kaum Muslimin di sana dari kawasan Myanmar yang dapat bencana. Keberanian Turki ini telah memuaskan rasa terzhalimi yang dialami Mulsim Rohingya. Erdogan menghidupkan kembali pengajaran Al Quran dan Hadits di sekolah-sekolah negeri, setelah hilang selama hampir 90 tahun, dihilangkan pemerintah sekuler. Erdogan menetapkan kebebasan berhijab di kampus-kampus Turki dan di parlemen. Erdoganlah pemimpin muslim yang membuat lampu di jembatan gantung terbesar di dunia di pantai laut hitam dengan penerangan yang sangat besar bertuliskan "Bismillahirrahmanirrahim.." Padahal, salah satu negara Arab membuat pohon natal terbesar di dunia dengan menelan dana mencapai 40 juta dolar. Rasa respek kaum Wahabi jihadi di Indonesia terhadap Arab musnah sudah.

Bagi kaum Wahabi jihadi di Indonesia, Turki adalah harapan baru di ufuk kebangkitan modern Islam. Erdogan mengembalikan pembelajaran bahasa Ustmaniyah yang berhuruf Arab di sekolah-sekolah negeri. Erdogan melepas pawai 10 ribu anak-anak muslim yang berumur 7 tahundi jalan-jalan Istambul, dengan penuh bangga anak-anak tersebut akan memulai kewajiban shalat berjamaah dan menghafal Al Quran. Keadaan seperti inilah yang dirindukan oleh Wahabi Jihadi di Indonesia.  

--------------------
*Al Chaidar, pengajar pada Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.


Referensi

Bailyn, B. (1992). The ideological origins of the American Revolution. Harvard University Press.
Czarniawska-Joerges, B. (1988). Ideological control in nonideological organizations. Praeger Publishers.
Echebarria Echabe, A., & Fernández Guede, E. (2006). Effects of terrorism on attitudes and ideological orientation. European Journal of Social Psychology, 36(2), 259-265.
Garber, M. B. (1997). Vested interests: Cross-dressing and cultural anxiety. Psychology Press.
Gartner, J., Harmatz, M., Hohmann, A., Larson, D., & Gartner, A. F. (1990). The effect of patient and clinician ideology on clinical judgment: A study of ideological countertransference. Psychotherapy: Theory, Research, Practice, Training, 27(1), 98.
Jibriel AR, Abu Muhammad. (2015). Fakta Syiah Bukan Islam. Jakarta: Arrahmah Publishing.
Jost, J. T., Napier, J. L., Thorisdottir, H., Gosling, S. D., Palfai, T. P., & Ostafin, B. (2007). Are needs to manage uncertainty and threat associated with political conservatism or ideological extremity?. Personality and social psychology bulletin, 33(7), 989-1007.
Laor, N., Wolmer, L., Alon, M., Siev, J., Samuel, E., & Toren, P. (2006). Risk and protective factors mediating psychological symptoms and ideological commitment of adolescents facing continuous terrorism. The Journal of nervous and mental disease, 194(4), 279-286.
Nash, K., McGregor, I., & Prentice, M. (2011). Threat and defense as goal regulation: from implicit goal conflict to anxious uncertainty, reactive approach motivation, and ideological extremism. Journal of personality and social psychology, 101(6), 1291.
Parry‐Giles, Trevor. (1994). "Ideological anxiety and the censored text: Real lives—at the edge of the union 1." Critical Studies in Media Communication 11.1 (1994): 54-72.
Peller, G. (1997). Cultural imperialism, white anxiety, and the ideological realignment of Brown. Race, Law, and Culture: Reflections on Brown Vs. Board of Education, 190-220.
Peterson, J. B., & Flanders, J. L. (2002). Complexity management theory: Motivation for ideological rigidity and social conflict. Cortex, 38(3), 429-458.
Punamäki, Raija Leena. "Can ideological commitment protect children's psychosocial well being in situations of political violence?." Child development 67.1 (1996): 55-69.
Treise, D., Weigold, M. F., Conna, J., & Garrison, H. (1994). Ethics in advertising: Ideological correlates of consumer perceptions. Journal of Advertising, 23(3), 59-69.
Weber, C., & Federico, C. M. (2007). Interpersonal attachment and patterns of ideological belief. Political Psychology, 28(4), 389-416.
Wilensky, H. L. (1974). The welfare state and equality: Structural and ideological roots of public expenditures (Vol. 140). Univ of California Press.

Share:

Tidak ada komentar: