Tirakat Pak Zar dan Monumen Sejarah Unida yang Dikenang Ratusan Tahun

Oleh ERDY NASRUL

Pada tahun 1980-an, putra keempat KH Imam Zarkasyi (1910-1985), KH Amal Fathullah Zarkasyi, melanjutkan studi magister ke Al-Azhar Mesir. Saat mendaftarkan diri untuk belajar di sana, ternyata ada masalah. Ijazah sarjana muda yang diraihnya dari Institus Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya belum diakui pihak Al-Azhar. 

Tak tinggal diam, Amal mengurus persamaan (mu'adalah) ijazah sarjana muda IAIN Sunan Ampel dan Institut Pendidikan Darussalam (Sekarang Universitas Darussalam/Unida Gontor). Hasilnya, ijazah sarjana Fakultas Ushuluddin keduanya diakui. Sejak itu Amal diterima menjadi mahasiswa magister di dua perguruan tinggi tersebut. 

Pada tahun 1982, Amal dinyatakan lulus ujian tulis. Pihak Al-Azhar juga memperluas mu'adalah sarjana muda IPD. Selain di studi Filsafat Islam, sarjana muda IPD juga bisa melanjutkan studi magister jurusan tafsir-hadis, akidah-filsafat Islam pada tingkat magister Fakultas Ushuluddin.

Capaian itu dia laporkan kepada sang ayah. Kiai Imam Zarkasyi merespons laporan Amal dengan tulisan. "Sekarang banyak orang berkata bahwa Amal di Mesir itu bukan hanya sekolah, tetapi juga memperjuangkan IPD. Dan alhamdulillah, Amal bisa lulus dengan ijazah itu. Maka peristiwa ini merupakan monumen sejarah IPD yang akan dikenang ratusan tahun oleh generasi mendatang...," tulis Pak Zar.

Meski dipisah jarak 13 ribu kilometer, Pak Zar seperti merasa dekat dengan Amal. Trimurti pendiri Gontor yang termuda itu menyembelih dua ekor lembu sebagai tanda kesyukuran. Seekor untuk Amal yang lulus ujian tulis dan memu'adalahkan ijazah IPD. Lainnya untuk (alm) Nashrulloh Zainal Muttaqin yang berhasil masuk Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. "Tetapi Amal perlu mengetahui, bahwa kesyukuran kami yang sebenarnya bukan (hanya) itu, tetapi dengan shalat sunnah 400 rakaat," tulis Pak Zar.

Sungguh luar biasa tirakat tersebut. Seorang ayah melakukan mujahadah sebegitu keras untuk kebaikan anak, keluarga, dan pesantren yang dipimpinnya. Riyadhah yang tidak sekali atau dua kali dilakukan. Shalat sunnah 400 rakaat ini adalah kelanjutan dari membiasakan diri melaksanakan shalat sunnah sejak lama. 

Bagi orang awam, membiasakan shalat sunnah tidaklah mudah. Pasti ada pergolakan batin. Ada rasa jenuh yang muncul, sehingga tergoda untuk meninggalkan amalan sunnah ini, dan menggantinya dengan kebiasaan lain. 

Namun, kesungguhan dan kemantapan hati, seperti yang dialami Pak Zar, mematahkan godaan itu. Bisikan malas beribadah berganti menjadi optimisme dan kejernihan batin memandang masa depan kehidupan dunia dan akhirat yang cerah. Masa depan itu, dalam pandangan putra bungsu Kiai Santoso Anom Besari (abad ke 19-20) adalah kebermanfaatan anak-anaknya dan pesantren yang dia dan dua orang kakaknya: KH Ahmad Sahal (1905-1977) dan KH Zainuddin Fananie (1908-1967) wakafkan. 

Gontor terus tumbuh. Santrinya bertambah hingga kini lebih dari 30 ribu orang dari berbagai kawasan. IPD berkembang menjadi Institut, kemudian Universitas Darussalam (Unida) Gontor dengan ribuan mahasiswa di dalamnya. Alumnusnya beterbaran. Ada yang bergelar pahlawan nasional, kalangan birokrat, profesional, dan dunia usaha. Semua itu adalah jawaban Allah atas usaha dan doa yang banyak.

Buah perjuangan ini dibangun dari dasar optimisme kepada Allah, sebagaimana dicontohkan Nabi Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim untuk selalu yakin dengan kasih sayang Allah, meskipun dia 'dicoba' dengan anak kesayangannya, Nabi Yusuf, yang dizalimi para saudaranya (Yusuf: 87). Kalau yakin Allah menyayangi kita, maka kasih sayang itu benar-benar akan dilimpahkan kepada kita. Yang Mahakuasa juga akan meyakini kita akan sungguh-sungguh menyembah-Nya dan lebih banyak beribadah kepada-Nya, seperti yang dialami Nabi Ya'qub dan Pak Zar.

Tirakat Pak Zar dengan memperbanyak shalat sunnah adalah 'pecutan' untuk kita semua selaku orang tua yang diberikan amanah oleh Allah untuk mendidik anak. Orang tua dan guru wajib mengajarkan anak – anak dengan keteladanan akhlak mulia, menanamkan nilai dan ilmu ke dalam hati. Sejak dini mereka ditunjukkan bagaimana bersabar di tengah 'ujian' keterbatasan dan derita hidup, berdoa dan beribadah sebanyak mungkin meski ada banyak rintangan hidup, dan bertawakkal kepada Allah atas apa yang sudah diusahakan. Juga keteladanan dalam memuliakan orang tua, tamu, tetangga, dan melestarikan lingkungan. Dan keteladanan menuntut ilmu, yaitu dengan ketekunan membaca buku, menghormati guru dan mendengarkan penjelasannya, tadabbur alam, dan waktu yang panjang (thuluz zaman), seperti yang dijelaskan Az-Zarnuji (abad ke-12 M) dalam Ta'limul Muta'allim fi Thariqit Ta'allum, dan Hadhratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari (1871-1947) dalam Adabul 'Alim wal Muta'allim.

Tapi tak hanya itu. Orang tua dan guru sangat dianjurkan banyak mendoakan dan 'menirakati' mereka. Orang tua dan guru harus memperbanyak berpuasa, shalat, zikir sampai ribuan, bahkan puluhan ribu kali, dan berdoa kepada Allah. Semua itu ditujukan untuk anak dan murid yang sedang berjuang menuntut ilmu. Tanpa doa, anak atau murid akan seperti pengembara tersasar di hutan yang lebat. Berjalan tak terarah, dan bisa jadi, mati kehabisan bekal.

Mendoakan anak dan cucu adalah tradisi mulia. Rasulullah (570-632) mendoakan menantunya Ali bin Abi Thalib (599-623) dan anaknya Fatimah az-Zahra (605-632) agar diberkahi Allah dan mengumpulkan keduanya dalam kebaikan. Nabi Muhammad juga mendoakan kedua cucunya, Hasan (624-670) dan Husein (626-680) agar Allah melindungi mereka dari segala setan, hewan melata, dan berbagai pandangan jahat (HR Bukhari).

Dalam kisah Alawiyyin, Habib Ahmad bin Ja'far Assegaf (abad ke-19) selalu mendoakan cucunya, Habib Alwi bin Syekh Assegaf (1865-1949). "Semoga cucuku selamat dan diberi rezeki yang penuh barokah serta diberikan keturunan yang banyak," kata Habib Ahmad, sebagaimana ditulis Habib Zen bin Umar bin Sumaith (1950-2022) dalam bukunya //Rangkaian Mutiara 99 Tokoh Ulama Dzuriyat Rasulullah dari Masa ke Masa//. 

Doa itupun terkabul. Meski sempat hidup dalam keterbatasan, Habib Alwi kemudian membangun usaha yang memberikan sejuta manfaat kepada masyarakat. Legasinya yang sampai saat ini masih terlihat adalah Kompleks Assegaf di Sumatera Selatan. Dari situ dia memberikan banyak manfaat kepada masyarakat luas.

Masih banyak lagi doa-doa yang menyentuh hati, seperti dalam Ratib al-Idrus karangan Imam Habib Abdullah bin Abu Bakar al Idrus al-Akbar (1409-1461), Ratib al-Attas Imam Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas (1584-1661), dan Ratib al-Haddad Imam Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad (1634-1720). Juga kumpulan doa karangan Syekh Abdul Qadir al-Jailani (1077-1166), aneka hizib yang disusun Imam Abu Hasan as-Syadzili al-Hasani (1196-1258), dan doa-doa Pak Sahal, Pak Fananie, Pak Zar, serta guru-guru kita yang lain.

Doa selalu menjadi senjata orang beriman (shilahul mu'minin), sebagaimana disabdakan Rasulullah. Melalui doa, banyak malaikat akan tertegun mendengarkan rintihan kekasih Allah yang bersungguh-sungguh untuk dekat dengan Yang Mahamengabulkan doa (mujibud da'awat). Mari sama-sama kita doakan anak dan keturunan kita dengan segala harapan terbaik, seperti yang dilakukan Rasulullah dan para keturunannya di atas.
Share:

Tidak ada komentar: