Banyu Udan Antioksidan Mengalir hingga Antikorupsi

Magelang, Antara Jateng - Gerakan "budaya banyu udan antioksidan" dengan aliran berujung kepribadian kukuh manusia Indonesia antikorupsi, barangkali menjadi slogan yang menemukan momentum tepat terkait dengan perseteruan yang membelit Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian saat ini.

Tim Laboratorium Udan Antioksidan dengan para pegiat, antara lain Romo Vincensius Kirjito, Joko Sutrisno, Agus Bima Prayitno, dan Raka Setiaji, mengembangkan gerakan pengelolaan air hujan melalui penelitian, percobaan, dan membuat sendiri, tanpa membeli, termasuk mengembangkan alat sederhana dan berbiaya murah untuk kepentingan pribadi. "Udan" artinya hujan.

Tim dengan laboratorium sederhana untuk mengembangkan penelitian air dan salah satu tempat utama untuk lokakarya air antioksidan itu, "bermarkas" di Pusat Pelayanan Pastoran Sanjaya Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Setidaknya, selama tiga tahun terakhir, mereka mengembangkan pencarian air dari berbagai sumber, seperti air sumur, air sungai, air bersih yang dipasok perusahaan air minum daerah, air mineral, dan air hujan untuk mendapatkan air yang dianggap paling bersih dan bermanfaat untuk tubuh, termasuk kesehatan.

Sebenarnya, secara turun-temurun masyarakat di beberapa desa di lereng Gunung Merapi kawasan timur di wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, memanfaatkan air hujan dengan cara menampung di tempat memadai, untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, dan peternakan, karena daerah itu nisbi minim air.

Secara lebih lengkap, slogan gerakan budaya banyu udan antioksidan yang disampaikan tim tersebut kepada siapa saja, antara lain "Bersih pangkal sehat, tidak sehat sama dengan tidak bersih, tidak bersih sama dengan kotor, kotor sama dengan asam", "Tubuhku hari ini bukan tempat sampah", "Bersih berbasis sehat, sehat basis cerdas, cerdas basis jujur. Jujur basis antikorupsi".

Hingga saat ini, cukup banyak orang menjalani lokakarya di laboratorium tim itu, lalu meneliti sendiri dan mengelola air dengan alat sederhana yang dikembangkan tim, hingga mendapatkan kandungan air asam dan basa dengan takaran tertentu.

Tim juga merekomendasikan kandungan air basa yang layak untuk mereka manfaatkan, terutama untuk kesehatan tubuh, sesuai dengan standar WHO (World Health Organization), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk kesehatan.

Standar air bersih yang disarankan oleh tim itu dengan mengacu kepada ketentuan WHO adalah TDS ("Total Dissolved Solid") atau jumlah zat padat terlarut 50 ppm (part per million) dan air basa dengan pH (potential of Hydrogen) 8-9, sedangkan kandungan oksigen lebih dari 4 ppm.

"Potential of Hydrogen" merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu zat. Larutan netral dengan pH 7, larutan asam dengan pH kurang dari 7, dan larutan basa dengan pH lebih dari 7.

Alat sederhana yang mereka kembangkan untuk melakukan elektrolisis air tergolong sederhana, mudah dibuat, berbiaya murah, dan telah terbukti bermanfaat, antara lain dua "toples" plastik kerupuk, "sock drat pvc", bejana setrum dari bahan stenlis, keran air minum, dan penyearah AC/DC 270 volt.

Butuh waktu sekitar enam jam penyetruman untuk mendapatkan air basa dengan pH 8-9. Tim itu juga memberi nama hasil elektrolisis terhadap air sebagai "Banyu Setrum". Air yang mengandung unsur basa tersebut, bermanfaat menetralkan sampah metabolisme dalam tubuh.

Bukan pengobatan
Selama rangkaian kegiatan mereka yang bernama "Display Budaya Banyu Udan Antioksidan" di kompleks Pusat Pelayanan Pastoran Sanjaya Muntilan pada 24-25 Januari 2015, dengan peserta berbagai kalangan yang berdatangan dari sejumlah tempat, seperti Muntilan, Magelang, Yogyakarta, Klaten, Solo, Purworejo, Surabaya, Jakarta, Semarang, dan Bandung, tim menekankan bahwa gerakan tersebut bukan semata-mata sebagai mencari air untuk pengobatan.

Kegiatan itu menyuguhkan, antara lain pameran foto budaya air hujan oleh masyarakat Merapi timur dan barat, lokakarya air hujan, performa "Yang Hilang" oleh perupa Bandung Arahmayani dan kelompok Gadung Mlati lereng Gunung Merapi pimpinan Ismanto. Selain itu, pentas teater, tari, dan tembang oleh kelompok komedi perempuan dari Solo, Sahita.

Selain itu, peluncuran buku "Doa Tanah", sarasehan budaya air hujan, pentas gending-gending "palaran" oleh kelompok Edukasi Gubug Selo Merapi Desa Mangungsoka, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, performa tembang jawa dan tabuhan gamelan serta rebana oleh kelompok Santi Suara dari Pondok Pesantren Sunan Kalijaga Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten pimpinan Gus Susilo.

Banyak di antara mereka yang telah melakukan penelitian terus-menerus dan percobaan untuk diri sendiri, menyampaikan testiomoni tentang manfaat air basa dalam ukuran tersebut, antara lain menyembuhkan berbagai penyakit seperti asam urat, masuk angin, jantung, rambut rontok, diabetes, tekanan darah tinggi, dan sembelit, serta berbagai keluhan tubuh yang mengganggu aktivitas sehari-hari.

Seorang peserta kegiatan, Sukadi dalam kesempatan berbagi pengalaman di hadapan puluhan siswa yang menghadiri acara itu, menyatakan manfaat banyu setrum yang membuat dirinya yang berusia 70 tahun itu, lebih nyaman melanjutkan aktivitas mengajar di sejumlah lembaga pendidikan di Yogyakarta.

Ia juga menyatakan pentingnya gerakan tersebut karena mengajak setiap orang untuk meneliti air secara mandiri dan terus-menerus, serta memanfaatkan hasilnya untuk diri sendiri, sehingga orang tidak terlalu tergantung kepada produk air dari industri atau pabrikan.

Tetapi Romo Kirjito menyatakan bahwa gerakan budaya air hujan antioksidan bukan terutama untuk pengobatan, namun mendorong setiap orang melakukan penelitian dan percobaan secara mudah, murah, mandiri, untuk mendapatkan bukti air yang dianggap paling bersih.

"Ini bukan pengobatan," ucapnya, saat lokakarya di ruang terbuka kompleks Pusat Pelayanan Pastoran Sanjaya Muntilan dengan peserta berbagai kalangan, seperti masyarakat umum, pemuka agama, ahli farmasi, dokter, pegiat kesenian, petani, pengusaha, guru, dan pedagang.

Pada kesempatan itu, ia mengemukakan tentang sejumlah data mengenai hasil penelitiannya melalui pengukuran air hujan dan air sumur yang diperoleh di kompleks tersebut, dengan hasil bahwa air hujan nisbi lebih bersih.

Hasil pengolahan air dengan elektrolisis juga menunjukkan kadar zat besi dari air hujan lebih rendah ketimbang air dari sumber lainnya. Namun, penggunaan alat ukur yang dikenal dengan mudah sebagai "TDS meter" dan "pH meter" juga harus dikritisi.

"Zat besi dan yang asam terkumpul di bejana positif dan yang negatif menjadi basa. Air hujan diteliti ternyata rendah zat besi, air hujan itu air suling alam," kata Kirjito yang merintis semangat masyarakat cinta air di kawasan Gunung Merapi sejak sekitar 2003.

Ia mengatakan air dengan kandungan basa bermanfaat menetralisasi sampah metabolisme dalam tubuh. Disebutkan sejumlah tanda-tanda timbunan sampah metabolisme dalam tubuh yang secara mudah bisa dikenali, antara lain mulut bau, keringat bau, urin pesing, feces bau menyengat, rambut rontok, dan berketombe.

Semakin orang berusia tua, semakin banyak menumpuk sampah metabolisme, yang antara lain ditandai dengan kerja organ tubuh terganggu, banyak keluhan seperti mudah pusing, lelah, mengantuk, batuk, dan penuaan organ tubuh secara dini.

"Makin tua, sisa-sisa dalam tubuh makin banyak. Ini menjadi indikasi tubuh kotor. Coba amati sendiri-sendiri, kalau betul, amati ada keluhan, kalau banyak keluhan karena tubuh kotor, maka betul bahwa bersih itu sehat. Kalau tubuh kotor bukan diobati tetapi dibersihkan."
"Pertanyaannya membersihkan pakai apa? Banyak orang mencoba membuktikan dengan air yang basa. Teliti dan ukur. Semangat meneliti diri sendiri itu yang ingin kita bangun," tuturnya.

Seorang anggota tim yang juga warga lereng Merapi timur dari Kabupaten Klaten, Bima mengatakan warga desa di Gunung Merapi memiliki keberanian untuk melakukan penelitian dan percobaan pengolahan air hujan antioksidan, meskipun dengan kondisi yang terbatas.

Warga Merapi berani praktik, tidak mengandalkan lisensi. Misalnya, kalau air hujan jatuh di genting, lalu bandingkan dengan air tanah. Yang dari atas ada debu, kalau hujan sudah 10 menit apa tidak berkurang debunya.

"Kita ingin berdialog membuka daya intelektual. Kami berani berbuat karena berani praktik, mencoba 'trial and error'. Memang dibutuhkan masyarakat, kreator, ilmuwan, dan pengayom. Kalau belum ketemu maka ada dimensi 'ngulur budi' (sikap budaya bersabar dan tekun, red.)," tukasnya.

Di antara tim itu juga menularkan kelakar mereka kepada siapa saja bahwa "gerakan budaya banyu udan antioksidan" sebagai usaha membangun surga dengan tidak menunggu kematian.

"Ada mimpi agak gila. Surga tidak perlu menunggu kita mati. Sekarang susah, sakit, korupsi. Surga kita mulai dari sekarang, mulai dari air. Saya membahasakan air asam dan basa menjadi semboyan bersih pangkal sehat. Sehat pangkal cerdas, cerdas basis jujur, jujur basis antikorupsi. Saya mengajak tidak percaya sebelum diteliti dan dibuktikan," kata Romo Kirjito.

Editor: M Hari Atmoko
Sumber: Antara

Keterangan foto:
Sejumlah pelajar memperhatikan cara pembuatan instalasi alat pembuat air antioksidan dengan teknologi elektrolisis sederhana di Pusat Pelayanan Pastoran Sanjaya Muntilan, Magelang, Jateng, Sabtu (24/1). Kegiatan pelatihan pembuatan air antioksidan yang diberi nama "Banyu Strum" bertajuk "Display Budaya Banyu Udan Antioksidan" yang diselenggarakan Tim Laboratorium Udan Antioksidan tersebut bertujuan untuk membudayakan masyarakat agar mampu mengolah air sehingga bisa menjadi lebih bermanfaat terutama bagi kesehatan tubuh. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/ss/pd/15

Share:

Tidak ada komentar: