Laboratorium Hujan di Bunder

MAWAR KUSUMA

Lereng Merapi Tua yang menjadi tempat hidup warga Dusun Bunder, Jatinom, Klaten, Jawa Tengah, tak mungkin memancurkan air. Secara turun-temurun mereka mengonsumsi air hujan. Pada awalnya air hujan dianggap tak berharga, tetapi kini air dari langit itu dipercaya sebagai air murni yang berkualitas paling baik.

Warga mengolah air hujan menggunakan alat elektrolisis di Kampus Kandang Udan, Dusun Bunder, Desa Bandungan, Jatinom, Klaten, Jawa Tengah. Rumah itu menjadi pusat pengembangan dan penelitian pemanfaatan air hujan untuk peningkatan kualitas kesehatan masyarakat setempat.

Posisi air hujan makin berharga sejak warga berduyun-duyun menggunakan teknik elektrolisis dengan teknologi sederhana, yaitu disetrum dengan aliran listrik, sejak dua tahun terakhir. Karena mengonsumsi air berkualitas yang telah terionisasi menjadi bersifat basa dan lebih banyak mengandung oksigen, pelan-pelan warga merasa kesehatan mereka membaik.

Darmo Suwito (57), yang akrab disapa Mbah Jelam, sempat putus asa hingga dua kali mencoba bunuh diri karena penyakit kencing batu menahun yang diidap sejak remaja. Ia pernah mencoba gantung diri dengan lilitan selimut rumah sakit sebelum kepergok perawat. Usaha bunuh diri kedua kali dilakukan di rumahnya, tetapi diselamatkan tetangga. Keputusasaan menghinggapi Mbah Jelam. Ia sudah menjalani enam kali operasi batu ginjal dan bolak-balik memeriksakan diri ke rumah sakit rutin satu pekan sekali. Ketika dijumpai di rumahnya yang berlantai tanah, tak ada jejak putus asa. Semangat hidupnya malah meluap-luap.

"Saya biasanya ke Apotek Klaten tiap minggu, beli obat. Kemarin, petugasnya tanya, kok, lama enggak ke sini? Saya jawab, sudah sembuh setelah minum air hujan yang disetrum," katanya.

Sejak setahun terakhir, Mbah Jelam menyaring air hujan sebelum dielektrolisis. "Setelah kenal air setrum. Saya enggak pernah beli obat lagi, sudah pulih," tambah Mbah Jelam yang memakai air setrum untuk masak, menanak nasi, hingga mandi.

Bagi warga, kesembuhan dianggap sebagai efek samping setelah mengonsumsi air minum berkualitas, bukan obat. Ketika racun di tubuh terlarutkan oleh air ionisasi, beragam penyakit pun turut sembuh. Warga mengamini logika sederhana bahwa bersih pasti pangkal sehat.

Karmi (50) juga terbebas dari penyakit jantung, diabetes, hingga asma. Karena komplikasi penyakit, ia pernah dua kali rawat inap di rumah sakit hanya dalam waktu satu bulan. "Saya opname di rumah sakit sampai 10 kali. Punya anak sapi hasil nggaduh (bagi hasil) terpaksa langsung dijual buat berobat," ujar Karmi.

Setahun setelah mengonsumsi air setrum, penyakit Karmi tak pernah kambuh. Paling-paling kini ia hanya menghabiskan uang Rp 15.000 per bulan untuk membeli cadangan obat asma.

Laboratorium desa

Tak hanya membawa kesembuhan, manfaat air setrum ternyata sangat luas. Suami Karmi, Karno (60), merasa tubuhnya makin bugar. Bahkan, rambut di kepalanya yang sempat botak tumbuh lagi. Semangatnya bekerja di ladang, memelihara sapi, dan membuat kerajinan kurungan ayam pun terdongkrak.

Intelegensia anak-anak konsumen air ionisasi terbukti meningkat. Anak dari pasangan Supriyono (47) dan Marni (37), menanjak prestasi belajarnya dari peringkat ke-19 menjadi peringkat ke-5. Ketika anaknya terkena sengatan tarantula, Supriyono bereksperimen merendam luka dengan larutan asam dari air setrum dan ternyata membaik.

Berkat air setrum, adik Karno, Sunarno (50) yang dulunya penjudi berat memilih "bertobat". Kecanduan pada konsumsi minuman instan penambah stamina juga hilang. Sunarno pun menggunakan air ionisasi untuk menghilangkan bau kotoran sapi yang biasanya melekat berhari-hari. "Air itu fungsinya untuk bersih-bersih. Enggak hanya tubuh, tetapi juga pikiran," katanya.

Saking cintanya pada air hujan, rumah Sunarno yang terdiri dari satu ruangan untuk tidur dan menerima tamu, semarak dengan hiasan botol stok air hujan. Di rumah tersebut terdapat dua dipan beralas tikar, satu dipan untuk tidur Sunarno dan satu lagi menjadi wadah botol-botol air hujan. Di rumah yang menyatu dengan kandang sapi itulah Sunarno mencoba hidup sehat dengan air setrum.

Selain bereksperimen sebagai konsumen, mereka aktif meneliti sebagai produsen di laboratorium yang mereka kelola secara mandiri. Gaya mereka seperti MacGyver dalam serial televisi yang digandrungi pada 1980-an itu. Jika MacGyver yang diperankan aktor Richard Dean Anderson piawai merakit senjata dari benda sederhana berbekal pisau lipat serta pengetahuan fisika dan kimia, warga Bunder, hanya mengandalkan ilmu elektronika setara pendidikan SMP.

Laboratorium Kampus Kandang Udan yang bermarkas di rumah pinjaman milik mantan kepala desa itu menjadi sarana warga untuk terus belajar. Di lab tersebut, warga seperti Wono (31) yang hanya jebolan kelas III sekolah dasar aktif meneliti air hujan sekaligus membuat bejana elektrolisis hingga larut malam.

Naik kasta

Dengan teknologi sederhana, warga menciptakan kemandirian produksi air minum sendiri. Teknik elektrolisis diterapkan menggunakan dua bejana berhubungan yang dialiri listrik searah (DC). Molekul air kemudian terurai menjadi ion bermuatan negatif dan ion positif. Ion yang bersifat basa dengan PH >8 yang kemudian dikonsumsi warga.

Kepala Dusun Bunder Giyanto selalu membawa alat pengukur keasaman dantotal dissolved solid (TDS) untuk mengecek kualitas air baku. Saat ditemui di Kampus Kandang Udan, ia sedang sibuk mengukur kandungan mineral terlarut (TDS) dalam air embung. Angka TDS dari air embung setelah diendapkan adalah 16 mg/l, masih memenuhi standar laik minum maksimum 500 mg/l versi Standar Nasional Indonesia (SNI) 2006.

Warga rata-rata memiliki bak tampungan air hujan berukuran besar yang dibuat tahun 1970-an. Jika musim kemarau berkepanjangan, mereka membeli 4-5 tangki air berisi 5.000 liter per tangki seharga Rp 100.000. Jalur pipa air minum sudah dipasang, tetapi tak sanggup mengalirkan air dari sumur dalam karena debit airnya yang terlalu kecil, 0,5 liter per detik. Padahal, biaya pengadaan paralon saja sudah mencapai Rp 800 juta dan menjadi mubazir tanpa aliran air.

"Disebut Kandang Udan karena semua warga di sini punya kandang. Tempatpanggulawentah rajakaya. Sekarang harta bendanya, ya, air hujan," kata Agus Bimo Prayitno (56), seniman yang pertama kali memperkenalkan teknologi elektrolisis bersama rohaniwan V Kirdjito Pr di Dusun Bunder.

Sejak mulai mengonsumsi air hujan yang disetrum pada 2013, 80 persen dari total 162 keluarga di Dusun Bunder dan Dusun Jarakan perlahan mulai bangga dengan konsumsi air hujan. Dulu, mereka malu menyuguhkan air hujan bagi tamu. "Sekarang air hujan dieman-eman, disisakan untuk musim kemarau. Air tangki dipakai buat minum ternak," kata Gunawan (42).

Pakar Gizi Medis Dr dr Saptawati Bardosono, MSc, menegaskan, belum ada bukti ilmiah berbasis penelitian tentang manfaat air hujan terelektrolisis untuk penyembuhan penyakit. "Semua air minum layak konsumsi mempunyai manfaat kesehatan karena akan menggantikan cairan yang hilang sehingga dapat membantu metabolisme dan reaksi kimia yang terjadi di dalam sel tubuh untuk fungsi fisiologis semua organ tubuh," katanya.

Elektrolisis, katanya, merupakan salah satu cara untuk melakukan disinfeksi atau menghilangkan bakteri penyebab penyakit dalam air hujan yang banyak diteliti sampai sekarang.

Terlepas dari dampak kesembuhan yang diperoleh, kegigihan warga untuk meneliti dan memproduksi air minumnya sendiri patut diacungi jempol. Kemandirian air yang memunculkan para "MacGyver" dari Lereng Merapi.

Sumber: Kompas
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Juni 2015, di halaman 1 dengan judul "Laboratorium Hujan di Bunder".

Keterangan foto:
Warga mengolah air hujan menggunakan alat elektrolisis di Kampus Kandang Udan, Dusun Bunder, Desa Bandungan, Jatinom,  Klaten, Jawa Tengah. Rumah itu menjadi pusat pengembangan dan penelitian pemanfaatan air hujan untuk peningkatan kualitas kesehatan masyarakat setempat.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Share:

Tidak ada komentar: