Adakah Dendam Lama PDIP pada Islam

Berikut tulisan Banjar Chaeruddin, mantan redpel koran Jayakarta, yang dikirim ke salah satu grup WA oleh Djoko Edy S. Perlu disimak bagi yang mau baca sejarah. Silahkan:

Dalam kongres ke-8 Partai Rakyat Demokratik (PRD), terlihat wajah Ajianto Dwi Nugroho, kader Kasebul (Kaderisasi Sebulan) lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, berada di arena kongres.

Memang itu kongres terbuka sehingga siapa saja bisa hadir. Tapi pertanyaan perlu diajukan: mengapa ia sampai mengusahakan dirinya muncul di arena kongres PRD? Sebatas kebetulan? Atau ada tujuan lain?

Sepertinya kader-kader fundamentalis Katolik Indonesia didikan Pater Beek seperti Ajianto mulai resah. PRD yang selama ini anggotanya ada dari kalangan Kasebul, mulai berdekatan dengan Islam politik seperti Partai Keadilan Sejahtera. Ini tentu tidak mereka inginkan.

Mereka berharap PRD tetap menjadi partai Liberal. Sementara itu, keresahan juga ditunjukkan kalangan fundamendalis Kristen seperti Weby Warouw (faksi PRD dari unsur fundamentalis Kristen).

Sampai-sampai ia meminjam mulut Wibowo Arif –yang dilabelinya sebagai budayawan. kita tak pernah tahu dia budayawan apa– untuk menyerang posisi PRD yang berdekatan dengan PKS. Sementara dari kalangan anarko Pajeksan juga tak terima dengan langkah PRD tersebut.

Pengantar tulisan di muka untuk memperlihatkan kekhawatiran kalangan fundamentalis Katolik dan Kristen terhadap bangkitnya Islam politik. Secara lebih luas, mereka sekarang berkumpul di sekitar PDIP dan Jokowi.

Ini tentu berbahaya karena PDIP dan Jokowi sekarang sedang berkuasa. Dengan begitu mereka akan dengan gampang menebaskan pedang kekuasaan untuk memenggal umat Islam.

Kedekatan PDIP dengan kalangan fundamentalis Katolisk sudah lama. Dalam memoar Jusuf Wanandi disebutkan hubungan dekat Jendral Leonardus Benjamin Moerdani dengan keluarga Ir. Soekarno.

Tertulis di situ: "Benny menikah dengan Hartini pada tahun 1964. Hartini adalah kemenakan kawan dekat Soekarno di Bandung Technische Hogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung). Perkawinan ini dilaksanakan di Istana Bogor dengan Bung Karno sebagai wali."

Kedekatan itulah yang membuat Benny melindungi Megawati Soekarnoputri dari serangan Suharto pada 1996. Benny berharap bahwa PDIP bisa menjadi rumah bagi kader-kader Kasebul setelah mereka tersingkir dari Golkar.

Perlu dijelaskan sekilas, pada awal Orde Baru, kader-kader Kasebul banyak terdapat di Golkar. Bahkan Ali Murtopo adalah orang penting di balik Golkar. Dan, CSIS Indonesia merupakan lembaga pemikir yang ikut merumuskan strategi Golkar untuk memenangkan Pemilu.

Banyaknya kader fundamentalis Katolik sempat diprotes tokoh-tokoh Islam. Salah satu kritik berasal dari KH Hasbullah Bakry yang menulis kritiknya di 'Harian Kami' edisi 9 dan 17 Agustus 1973. Menurutnya, sepertiga dari pengurus pusat Golkar beragama Katolik dan Kristen. Sementara, kalangan Islam tak diberi tempat. Padahal pemilih Golkar hampir 95% adalah umat Islam.

Kedekatan Golkar dengan fundamentalis Katolik mulai retak mendekati tahun 90-an. Pada periode ini ada 2 peristiwa penting. Pertama, Alamsyah Ratu Perwiranegara dkk, merintis berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).

Inilah yang menandai bangkitnya Islam politik. Ke-2, dalam Pemilu 1987, PDI mampu memobilisasi 1 juta massa di hari kampanye terakhir di Jakarta. Gambar Sukarno diarak keliling Jakarta oleh simpatisan PDI. Ketua Golkar saat itu, Sudharmono, mencium keberhasilan PDI mengerahkan massa yang besar karena dukungan Benny yang saat itu Panglima ABRI.

Dari 2 peristiwa inilah hubungan Golkar dan kalangan fundamentalis Katolik mulai renggang. Dalam perkembangan berikutnya, Golkar kemudian banyak diisi oleh aktivis Islam, terutama dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan PMII.

Setelah Golkar dirasakan tidak lagi enak dijadikan rumah, pelan-pelan kader fundamentalis Katolik hijrah ke PDIP. Hijrah ini semakin memuncak pasca Peristiwa 27 Juli 1996. Secara terang-terangan Jendral Benny dan kliknya (AM Hendropriyono, Agum Gumelar, Sutiyoso, Theo Syafei, dll), mendukung Megawati.

Situasi PDIP yang didominasi kaum fundamentalis Katolik disadari kalangan tokoh-tokoh Islam. Peristiwa ini terjadi pada pemilihan presiden pada 1999. Pada waktu itu PDIP menang Pemilu.

Megawati kandidat kuat presiden. Inilah yang menjadi kekhawatiran tokoh-tokoh Islam bahwa Megawati akan menjalankan Nationalism yang akan mengorbankan umat Islam. Maka dibentuklah Poros Tengah, suatu aliansi politik gabungan antara partai-partai Islam dan Golkar.

Pada saat itu Ketua Golkar adalah Akbar Tandjung, mantan Ketua HMI. Pada akhirnya Poros Tengah berhasil mengganjal Megawati. Dari sinilah dendam Mega/PDIP terhadap partai-partai Islam dan Golkar.

Tentu Mega butuh waktu lama untuk membalas dendam. Ketika ia jadi presiden, posisinya belum kuat sehingga masih membutuhkan dukungan partai Islam dan Golkar.

Setelah SBY jadi presiden, dendam Mega sementara diarahkan pada SBY yang dianggap telah mempermalukan dirinya. Dendam itu masih diperam sampai sekarang. Setelah sekarang berkuasa lagi dengan Jokowi sebagai bonekanya, Mega mulai melancarkan balas dendamnya terhadap partai-partai Islam dan Golkar.

PDIP sekarang memang kental aroma kader-kader fundamentalis Katolik dan Kristen. Hasto Kristiyanto, pjs Sekjen, merupakan kader Kasebul lulusan Fakultas Teknik UGM, senior Ajianto. Orang banyak mengira dia alumnus GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia), padahal ia dulunya aktivis PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Kantolik Republik Indonesia).

Ia digembleng di PMKRI selama mahasiswa. PMKRI didirikan pada 25 Mei 1947. Hari itu dipilih karena bertepatan dengan Pantekosta, yaitu hari turunnya Roh Kudus ke muka bumi. Inilah yang dijadikan simbol bahwa Roh Kudus turun ke bumi guna merestui mahasiswa Katolik yang sedang berkumpul untuk berjuang berlandaskan ajaran Katolik.

Pimpinan PMKRI yang menonjol antara lain Jusuf Wanandi dan Sofjan Wanandi. Di PDIP, Hasto berhasil menyingkirkan kader-kader yang berasal dari GMNI. Hasto pula yang digunakan untuk menyerang pimpinan KPK yang berasal dari aktivis Islam, Abraham Samad.

Sebelum jadi Ketua KPK, Samad merupakan pengacara yang dekat dengan aktivis Islam yang digolongkan radikal.

Juga menguat di PDIP anggota yang berasal dari kalangan Kristen fundamentalis. Mereka merupakan didikan Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Parkindo merupakan salah satu partai selain PNI dan Murba yang berfusi membentuk PDI.

Kader Parkindo yang menonjol sekarang adalah Maruar Sirait, setelah bapaknya, Sabam Sirait, mulai mundur dari politik. Dikabarkan dia dekat dengan Puan Maharani, salah satu orang terkuat di PDIP setelah Megawati. Sementara kader Parkindo yang baru muncul adalah Adian Napitupulu.

Dengan anatomi seperti itu tak mengherankan kalau Mega/PDIP lewat tangan Jokowi berusaha menghancurkan umat Islam. Pas sekali, Jokowi sendiri dikelilingi orang-orang yang anti-Islam.

Sebut saja di antaranya Luhut Binsar Pandjaitan. Walaupun sering berseberangan dengan Hendropriyono, Luhut merupakan salah satu kader terbaik Benny. Ia sudah lama dipersiapkan untuk menduduki jabatan strategis.

Seandainya Luhut Islam, kata Sintong Panjaitan, ia bisa jadi presiden. Ada Andi Wijayanto, anak Theo Syafei. Seperti yang telah diungkapkan tadi, Theo termasuk orang Benny. Awalnya, Theo beragama Katolik, agar tak mencurigakan ketika menyusup ke PDIP, ia pindah beragama Islam.

Bagi kader-kader fundamentalis Katolik, guna menjalankan tugas penyusupan, tak masalah kemudian pindah agama. Kalau mereka ditanya mereka akan bilang, "Lihat, KTP saya Islam." Persis yang sering dikatakan Ajianto ketika didesak apakah dia kader Kasebul.

Bila mencermati perpecahan PPP, maka ada kesamaan modus dengan perpecahan Parmusi (Partai Muslim Indonesia) pada 1973. Saat itu Ali Moertopo, seorang intelejen didikan Pater Beek, memunculkan Djaelani Naro untuk mempekeruh Parmusi sehingga memunculkan kepemimpinan ganda.

Taktik ini dipakai dalam memecah PPP. Dzan Farid dijadikan bidak agar PPP terbelah. Dan, berhasil. Sampai sekarang PPP masih dilanda kisruh yang belum jelas ujung penyelesaiannya.

Pembelahan Golkar serupa. Kenapa Golkar ikut dibelah padahal bukan partai Islam? Selain kedekatannya dengan Prabowo Subianto, Golkar sekarang didominasi aktivis Islam. Ketua Fraksi Golkar, Ade Komarudin, adalah aktivis HMI, sementara sekretaris fraksi, Bambang Soesatyo, juga aktivis HMI.

Sekjen Golkar, Idrus Marham, merupakan alumni PMII. Pengurus Golkar yang lain seperti Ali Mochtar Ngabalin menduduki jabatan sebagai Ketua BKPRMI, sebuah wadah bagi remaja masjid.

Bahkan ketua DPR, Setyo Novanto, kini telah memeluk agama Islam. Dengan kondisi seperti itu, tentu Golkar merupakan ancaman bagi kaum fundamentalis Katolik. Maka diperlukan Yorrys Raweyai, seorang Katolik, untuk mengacak-ngacak Golkar.

Memecah partai Islam dan Golkar merupakan target jangka panjang Mega/PDIP, khususnya dalam menghadapi Pilkada. Fakta yang ada selama ini, banyak kepala daerah yang berasal dari kalangan partai Islam dan Golar.

Seringkali PDIP kesulitan bila berhadapan dengan gabungan partai Islam dan Golkar dalam Pilkada. Sebagai contoh di Jabar dan Sumut, PDIP kalah dengan PKS dan koalisinya.

Sementara ketika unsur-unsur Islam dan Golkar yang menjadi kepala daerah, mereka pro terhadap umat Islam. Ini tentu dianggap mengkhawatirkan oleh rezim Jokowi yang didukung PDIP, fundamentalis Katolik/Kristen, serta jendral-jendral yang anti-Islam.

Guna mematahkan dominasi partai Islam dan Golkar, maka soliditas partai-partai tersebut harus dihancurkan. Dan, usaha itu sekarang telah dimulai.

Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Itulah yang sekarang dilakukan rezim Jokowi dan PDIP. Saat wadah umat Islam berupa parpol diacak-acak, rezim Jokowi sekaligus juga menebarkan Islamophobia. Islam dimunculkan kembali sebagai ancaman terhadap keamananan.

Maka, didukung kaum fundamentalis Katolik/Kristen, jendral anti Islam dan sekolompok Liberal Islam yang bernaung dalam Jaringan Islam Liberal/Komunitas Salihara, melakukan pemblokiran terhadap situs-situs Islam.

Dalih-dalih klise dipakai rezim Jokowi, PDIP dan pendukungnya untuk memenggal kebebasan bicara umat Islam. Tentu tujuan jangka panjangnya adalah membuat umat Islam demoralisasi. Ketika sudah demoralisasi maka akan dengan mudah dikendalikan rezim Jokowi.

Sekarang pertanyaannya, mampukah umat Islam di Indonesia menumbangkan 2 musuh pokoknya itu: Jokowi dan PDIP? Kalau mampu, umat Islam akan selamat. Kalau tidak mampu, tinggal tunggu waktu umat Islam diinjak-injak seperti zaman Orba dan Benny Moerdani.

Share:

Tidak ada komentar: