Pak Rifai tentang Khazanah Pemikiran Syiah

Berikut tanggapan Wakil Ketua Majelis Syura PUI H. Ahmad Rifai terhadap posting saya sebelum ini mengenai luar biasa kayanya khazanah pemikiran Syiah. Jika mengambil pemikiran mereka terlalu beresiko, mungkin memang lebih aman kalau "mewacanakan agar kita mulai menoleh pada karya keislaman Turki dan ulama India/Pakistan." 
  1. Budaya kehidupan intelektual Syiah memang tidak bisa dibantah, bukan hanya dari segi jumlah karya tetapi juga dari sisi bobot. Hal itu konon buah dari sikap mereka terhadap filsafat sebagai sistim dan metode berfikir. Sementara otoritas sunni lama dan masih ditandai dengan sikap 'memusuhi filasafat' (dampak dari 'Tahafatul Falasifah ' Alghazali ?) . Otoritas ulama Syiah bersikap sebaliknya, bahkan mereka tidak segan untuk mewacanakan pandangan2 non Islam (Persia, Urdu, Greko Yunani). Akibatnya ya itu, selama berabad, budaya intelektual sunni tertidur lelap berselimutkan taklid dan khurafat (obscurantisme). Syukurlah masa kegelapan kehidupan intelektual Sunni itu mulai berakhir, ditandai dengan munculnya pemikir2 dengan karya2 pencerahan seperti Tafsir Al Manar (Abduh, Rasyid Ridho dsb) yang disusul oleh karya2 lainnya yang muncul di berbagai negara seiring dengan lepasnya penjajahan Barat. Dalam hubungan ini saya pernah mewacanakan agar kita mulai menoleh pada karya keislaman Turki dan ulama India/Pakistan. Seperti diketahui pemikiran ulama yang berasal darinegara Arab selama ini lebih mendominasi pemahaman agama kita. (Kita sering lupa Imam Bukhari bukan orang Arab). Turki dan India selama berabad memimpin peradaban islam, yang pasti melahirkan karya2 unggul.
  2. Sewaktu saya mengunjungi perpustakaan masjid nabawi madinah, saya melihat kekayaan koleksi buku2 klasik dari ulama berbagai madzhab, phenomena dari zaman keemasan kehidupan intelektual Muslim. Saya tidak tahu apa disana ada juga hasil karya ulama Syiah, kecuali mungkin 1 kitab Tafsir yang banyak dibaca di pesantren2 kita yang konon ditulis ulama Syiah (Zamaksyari?). Tentang banyaknya kitab2 'Sunni' dalam kepustakaan Syiah, tidak perlu heran, karena posisi kaum syiah sebagai 'sempalan' yang harus berposisi 'menyerang' pemikiran mainstream sunni. Hal ini paling tidak terkesan dari nada-nada tulisan dari buku2 syiah di tanah air kita.( contoh, buku debat Syiah-Sunni, terbitan awal Mizan). Meski demikian sudah pasti saya tidak setuju untuk menyebutkan Syiah bukan Islam, karena itu bertentangan dengan realita dan logika publik dunia. Kerajaan Saudi saja tidak berani melarang orang Syiah berhaji.
  3. Selepas subuh tadi di masjid dekat rumah saya bicara2 dengan imam rawatib Ustadz Komarudin, dan Asep seorang angg jamaah, guru SMA negeri. Kita menyinggung betapa rendahnya budaya baca di kalangan ustad2/muallim di kampung. Betapa sempit dan dangkalnya pemahaman keagamaan mereka, padahal mereka adalah 'pekerja terdepan' (front runner) keagamaan ummah. Grassroot . Sebagian mereka tidak lagi membaca kitab (juga Al Quran, apalagi hadist) yang sebagian sempat mereka baca waktu dulu belajar di pesantren. Mereka terjebak pada issue2 kecil khilafiyah yang itu ke itu. Yang lebih parah lagi, mereka sangat tertutup untuk berwacana. Setiap upaya dialog buntu dengan stigma wahabi dan sikap ' tapi ini ajaran guru saya'. Titik. Kemandegan serupa terjadi di kalangan warga PUI. Hampir tidak ada majlis bahtsul masail di kalangan PUI. Tidak ada lagi karya2 tulis sesudah puluhan karya KH AHMAD SANUSI & KH ABDUL HALIM. Oleh karena itu, saya berpikir pentingnya 'distinksi' program HIMA PUI dengan PEMUDA PUI. HIMA harus lebih didorong untuk lebih banyak berwacana daripada aksi-aksi sosial kemasyarakatan. Tentu saja perlu terus dirintis dan didorong upaya2 lain untuk menggerakkan budaya intelektual di kalangan warga PUI. Sayang sampai sejauh ini Dewan Pakar dan Syariah masih sedikit bergerak.
Wallahu a'lam.
Wassalam

Posted via email from ahmadie thaha

Share:

Tidak ada komentar: