Tarekat Ittiba' al-Sunnah


Ketika membahas paham tarekat wihdat al-syuhud yang merupakan bagian dari wihdat al-wujud, dalam al-Maktubat karyanya Imam Badiuzzaman Said Nursi mengungkap kelebihan dan kekurangan paham tersebut. Menurut Said Nursi,wihdat al-wujud boleh saja dianut secara personal oleh para elit sufi, tapi bisa berbahaya kalau itu diajarkan ke kalangan umum dengan sejumlah alasan.
Karena itu, ia mengajukan solusi tarekat yang paling layak. Katanya: "Di antara seluruh tarekat kewalian yang paling indah, paling lurus, paling kaya, dan paling cerdas, adalah mengikuti sunnah mulia (ittiba' al-sunnah al-saniyyah). Yakni, hendaknya seseorang menjalankan sunnah di semua amal kegiatan dan gerak-geriknya, mengikutinya, dan menirunya; hendaknya ia menjalankan hukum-hukum syariat di seluruh mualamat dan tingkah lakunya; serta menjadikan sunnah sebagai pembimbingnya.

Dengan mengikuti dan menjalankan sunnah, seluruh perilaku sehari-hari, hubungan biasa, dan tindakan alaminya, berubah menjadi ibadah. Bersamaan dengan itu, setiap laku perbuatannya mendorongnya untuk mengingat sunnah dan syariat, sehingga berikutnya akan membuatnya mengingat hukum syariat, dan ingatan ini pun akan mendorongnya untuk mengingat si pemangku syariat. Adapun ingatan ini akan mengingatkan seseorang kepada Allah, dan ingatan yang ini pun akan menimbulkan semacam hudhur. Dengan demikian, seluruh detik usia mungkin akan berubah menjadi ibadah dalam hudhur terus-menerus.

Jalan (jadah) besar inilah jalan para sahabat dan salaf shalih yang merupakan para wali besar dan para pewaris nubuwah."

Kita mungkin sudah pernah memahami atau sering mendengar penjelasan yang dikemukakan Said Nursi tersebut. Namun, kita tak pernah menyebut pemahaman semacam itu sebagai suatu aliran tarekat. Lebih dari itu, formulasi tarekat Ittiba' al-Sunnah yang dikemukakannya begitu sempurna, meski hanya dalam beberapa alinea.
Share:

Tidak ada komentar: