Upaya Menyelamatkan Anak-anak Papua

Menerobos kebuntuan untuk memajukan pendidikan Papua hanya butuh cara yang sederhana. Kebijakan pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi anak-anak Papua, lalu tawarkan layanan pendidikan yang tidak kaku dan birokratis.



Ketika langkah ini ditempuh Sergius Womsiwor (45), salah satu pendidik inovatif di Tanah Papua, berangsur-angsur anak-anak Papua kembali ke
bangku sekolah. Dia menggagas model pendidikan terintegrasi formal-nonformal gratis berpola asrama di lingkungan SMP-SMA Negeri Plus Satu Atap 1 di Kampung Wasur, Kabupaten Merauke, Papua.

Model pendidikan ini terbukti mampu menghalau kendala sulitnya bersekolah bagi anak-anak Papua. Di sekolah ini Sergius membolehkan anak yang belum bisa membaca, menulis, dan menghitung (calistung) bersekolah.

Bahkan, mereka diberi hak memakai seragam sekolah seperti anak sekolah formal. Mereka disiapkan lewat program keaksaraan fungsional (pendidikan nonformal). Jika sudah siap, mereka bisa beralih ke sekolah formal SMP-SMA satu atap.

Di sekolah ini, banyak anak usia SMP dan SMA yang melampaui usia di jenjangnya, tetapi tetap diterima. Sergius juga membolehkan perempuan remaja yang hamil di luar nikah bersekolah di sini. Demikian juga anak-anak miskin dan anak-anak bermasalah pun disambut dengan tangan terbuka untuk bersekolah.

Mereka yang rumahnya jauh dari sekolah, bisa tinggal di asrama. Namun, karena baru ada satu unit asrama yang daya tampungnya terbatas, siswa harus rela tidur tersebar, mulai dari gudang sekolah, ruang kepala sekolah, ruang guru, perpustakaan, hingga laboratorium.

"Hal yang penting, anak-anak mau bersekolah. Mereka bisa sekolah untuk belajar calistung," ujarnya.

Meskipun uang makan anak-anak belum tentu tersedia dari pemerintah, Sergius teguh dengan komitmennya memelihara anak-anak didik. Tak hanya mencari bantuan dari pihak lain, dia rela memakai gajinya untuk membeli beras ala kadarnya agar siswa bisa makan.

Dia juga pernah menghadang Bupati Merauke demi mendapatkan jatah beras orang miskin bagi anak-anak di asrama.

Atasi persoalan
Menurut Sergius, banyak anak-anak di Papua yang putus sekolah atau tidak sekolah sama sekali. Akibatnya, generasi muda Papua tak bisa menguasai calistung dengan baik. Kondisi ini memperburuk masa depan generasi penerus bangsa di Tanah Papua.

Beragam kendala menyebabkan anak-anak Papua tidak atau putus sekolah.
Ada yang karena kendala ekonomi sehingga harus ikut membantu orangtua
bekerja. Ada juga karena orangtuanya berpindah-pindah, mengadu nasib
dari kampung ke kota, tetapi tetap dibelit kemiskinan. Ada pula karena
mereka tinggal di daerah tertinggal, terpencil, terisolasi (3T).

Selain itu, sarana-prasarana sekolah dan guru yang terbatas, membuat
layanan pendidikan buruk. Bersekolah menjadi tak menarik dan kemampuan
dasar calistung pun sulit dikuasai siswa. Siswa tak naik kelas dan
tidak lulus ujian nasional karena kemampuan calistung yang rendah.

Hati Sergius pedih melihat anak yang putus atau tidak sekolah di Merauke menjadi pemulung, anak jalanan, anak pecandu narkoba/menghirup lem, hingga anak muda yang melakukan seks bebas. Dia juga menemukan banyak anak yang tak bisa calistung, meski memiliki ijazah.

"Dengan memberikan layanan pendidikan, yang bisa mengatasi persoalan di lapangan, berarti menghadirkan peran negara dalam masyarakat. Dengan pemikiran inilah saya berani menawarkan ide untuk terobosan dalam dunia pendidikan di Merauke," kata Sergius yang mendapat anugerah inovator pendidikan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Jauh sebelum mewujudkan pendidikan formal-nonformal terintegrasi, dia sudah peduli dengan masalah buruknya kemampuan calistung anak muda di Merauke. Dia mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dengan program pemberantasan buta aksara dan pendidikan kesetaraan Paket A (SD), Paket B (SMP), dan Paket C (SMA). Namun, minat belajar warga setempat tetap rendah.

Jumlah siswa menurun
Sergius menuturkan, di Kampung Wasur didirikan sekolah reguler hingga jenjang SMP pada 2006. Awalnya, jumlah siswa 100 orang. Tetapi dalam perjalanannya, tiap tahun jumlah siswa bukannya bertambah, tetapi menurun. Pada tahun ajaran 2009/2010 hanya tersisa 23 siswa.

Ketika diangkat menjadi kepala SMP, dia melakukan terobosan. Dia aktif mendekati tokoh adat, tokoh masyarakat, dan orangtua untuk menyadarkan pentingnya pendidikan. Bagi kalangan gereja, misalnya, dia mengatakan pentingnya membaca agar jemaat bisa membaca Alkitab.

Dengan pendekatan proaktif dan sosialisasi lewat radio ataupun ajakan dari mulut ke mulut, Sergius menyampaikan pesan agar anak-anak Papua mau bersekolah. Dia meniadakan syarat administrasi yang menyulitkan. Berangsur-angsur anak putus sekolah pun bersemangat kembali bersekolah.

Ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh berkunjung ke Kampung Wasur, Sergius menyampaikan harapan warga untuk didirikan SMA. Pesan itu disambut baik dengan diwujudkannya SMP-SMA satu atap. Apalagi Kemdikbud menaruh perhatian pada kemajuan pendidikan di daerah 3T.

Dia juga tanpa henti menyemangati para guru di sekolah untuk sepenuh hati melayani anak didik. Dia menyebut salah satu guru PNS berdedikasi yang mendukung langkahnya adalah Tiambun Silalahi, yang menjadi koordinator program terintegrasi/pengajar pendidikan anak usia dini dan keaksaraan fungsional. Bahkan, pendidikan untuk memperkuat calistung bagi anak tak beruntung juga dikembangkan di sebuah gereja.

Meski pengembangan pendidikan formal-nonformal terintegrasi ini tak selalu mulus, Sergius bersuka hati melihat anak Papua yang bersekolah semakin banyak. Kini, jumlah siswa formal dan nonformal meningkat drastis, hampir 1.000 orang.

Di sisi lain, dia masih berjuang untuk tambahan guru. Sergius juga berharap agar kendala administratif pada data pokok pendidikan secara online ataupun kendala birokratis, jangan menghambat model pendidikan inovatif yang menyelamatkan anak-anak Papua di Merauke. (Ester Lince Napitupulu/Kompas 25/8/2014)

Sergius Womsiwor

♦ Lahir: Mamoribo, Papua, 27 September 1968
♦ Istri: Rosita Ningsi Lanipi (40)
♦ Anak: - Irsaliline Wosnabor Womsiwor
- Charles Womsiwor
♦ Pendidikan: - SD YPK Mamoribo
- SMPN Biak Barat- SPG YPK Biak
- S-1 Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, IKIP Manado
- S-2 Administrasi Pendidikan, Universitas Cendrawasih, Jayapura, 2013
♦ Penghargaan: - Anugerah Peduli Pendidikan dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2012
- Nomine Inovator Anugerah Prestasi Insani sebagai Pemimpin Luar Biasa, 2013
- SCTV Award, Inspirator Pendidikan untuk Semua, 2014
♦ Organisasi antara lain:- Wakil Ketua Forum Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat Merauke, 2009-2011
- Wakil Sekretaris Persatuan Guru Republik Indonesia Merauke, 2010-kini
♦ Pekerjaan:- Guru SMP Edera, 1999
- Guru SMPN 2 Merauke, 2000-2010
- Aktif di Pendidikan Luar Sekolah, 2003-kini
- Kepala Sekolah SMP-SMA Negeri Plus Satu Atap terintegrasi
Formal-Nonformal Gratis Berpola Asrama di Merauke.
Share:

Tidak ada komentar: